Aku, suami beserta Mama dan Papa, terkejut mendengar suara hantaman yang entah sumbernya dari mana. Kami yang tengah mengobrol serius, tiba-tiba diam dan saling pandang. "Apa itu tadi, Pah? tanya Mama, seraya melirik ke arah luar. Papa dan Mas Rendra berdiri, keluar dari rumah untuk mencari tahu suara apa yang tadi kami dengar. Karena penasaran, aku beserta Mama pun turut pergi mendekati Papa dan Mas Rendra yang berdiri di samping mobil milik ayahku. "Astaghfirullah ... siapa yang melakukan ini?" ujar Papa geram. Langkah aku percepat, dan akhirnya nampaklah pemandangan yang membuat kening mengkerut. Bodi mobil bagian belakang milik Papa, penyok. Seperti ditabrak atau dihantam benda dengan keras. Mas Rendra lari ke luar gerbang, mencari sekiranya ada seseorang di sekitar sini yang berkemungkinan menjadi pelakunya. Sayang, suamiku menggelengkan kepala, mengatakan tidak ada siapa pun disekitar rumah Mama. "Ini pasti si peneror itu, Pah. Sekarang dia menyerang rumah kita, karena
"K–kenal dia?" kataku tergagap. "Enggaklah, Pah. Kenal dari mana, coba?" "Barusan kamu bilang, wanita itu stres. Stres gimana maksudnya?" Kali ini Mama yang bertanya. "Ya ... stres, Mah. Coba, deh Mama pikir, mana ada wanita waras yang membuang bayinya? Meskipun dikata anak itu dari hasil yang gak bener, pasti dijaga kalau dia punya otak yang waras. Bener, kan?" kataku seraya melihat Mama dan Papa bergantian. "Iya, sih. Kamu bener, Tsa."Aku tersenyum puas karena jawabanku diterima Mama. Papa pun tidak lagi bertanya tentang ibu dari anakku, dan lebih mengalihkan pembahasan pada pabrik dan kebun teh. Menyimak obrolan kedua orang tuaku, aku ikut senang karena kebun teh milik Papa menghasilkan banyak daun teh berkualitas, dan sudah pasti mendatangkan pundi-pundi rupiah dari hasil jualnya. Itulah kenapa, syukuran Ayu dan Kak Anna kemarin ditanggung Papa. Bisa dibilang, orang tuaku saat ini sedang banyak uang. Aku dan Mas Rendra sebagai orang tua Ayu, hanya membeli satu ekor kambing
"Gimana kabarmu, Tsa? Dania ada ganggu kamu lagi?" Aku menyesap teh yang sudah terlanjur menyentuh bibir ketika Sabrina bertanya. Melihatku yang belum memberikan jawaban, wanita karir yang belum menemukan tambatan hati itu pun menyeruput teh miliknya, yang aku suguhkan sesaat dia tiba di rumahku. "Tidak ada, Na. Rasanya duniaku damaaaai banget. Aku jadi lebih tenang, lebih bahagia juga setelah tidak ada lagi teror Dania," ujarku akhirnya. Kepala Sabrina manggut-manggut. "Syukurlah kalau gitu. Tapi, apa kamu enggak penasaran sama dia? Apa yang terjadi, kenapa dia tidak neror kamu lagi? Rendra tidak mencari keberadaannya, gitu? Secara ... dia, kan kakaknya." Sabrina memberikan beberapa pertanyaan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Memang sudah satu minggu lamanya aku maupun Mas Rendra tidak lagi mendapatkan gangguan dari Dania. Teror ringan maupun berat, ancaman ataupun tekanan. Karena terlalu menikmati kedamaian, tidak terpikirkan olehku dan Mas
"Loh, kok ngomongnya gitu, Na?" ujarku seraya memperhatikan wajah Sabrina yang masih ditekuk. Sepertinya dia sangat sedih karena Ayu tidak nyaman digendongnya. "Aku kecewa aja, Tsa. Kenapa, sih aku gak seperti kamu yang bisa membuat semua orang nyaman. Perkara nenangin anak kecil aja, aku tidak bisa. Gimana mau jadi ibu, kan?" Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan, lalu duduk kembali di tempatku semula. Dan Ayu tidak menangis sama sekali. "Bukan tidak bisa, tapi belum. Kalau kamu nikah dan punya anak, nanti juga bisa dengan sendirinya, kok. Jangan baper sama anak bayi, ah. Makanya, jangan buka kafe terus, tapi buka hati juga buat para pria yang deketin kamu."Sabrina berdecak, lalu bibirnya komat-kamit dengan tidak jelas. Dia menggerutu, menanggapi candaanku yang menyuruhnya segera mengakhiri masa gadisnya. Sudah biasa. Jika membahas tentang menikah, Sabrina akan seperti dukun yang baca mantra. Bibirnya maju mundur, tapi entah apa yang dia ucapkan. Dan aku sudah pasti tertawa me
"Tsa, ini bagus, gak?" Aku mengangkat kepala, melihat pada Kak Anna yang memamerkan satu stel pakaian bayi padaku. "Bagus, Kak," jawabku. "Tapi motifnya cowok, Tsa.""Emangnya, anak yang kakak kandung berjenis kelamin perempuan?" Kak Anna menutup mulut seraya melebarkan mata, membuatku mengerutkan kening melihatnya. Sepertinya, kakak iparku itu kelepasan dalam berucap. Dia mengatakan sesuatu yang mungkin saja belum mau dia bagi dengan kami. Yaitu mengenai jenis kelamin anaknya. "Aduh, Tsa .... Tolong jaga rahasia ini, ya? Aku diminta Bang Ben untuk tidak mengatakan pada siapa pun tentang jenis kelamin anak kami. Pliiiiiss, jangan bilang siapa-siapa," ujar Kak Anna seraya menangkupkan tangan di bawah dagunya. Mata bulat Kak Anna melirik ke sana kemari, memastikan jika suaminya tidak mendengar percakapan kami. "Emangnya kenapa harus ditutupi, Kak? Kan, kita ikut seneng kalau tahu jenis kelamin si jabang bayi. Kita juga bisa menyiapkan kado yang sesuai nantinya," kataku menanggap
"Mama, kenal?" tanya Kak Anna seraya menunjuk wanita yang masih berdiri mengamati situasi di meja kami. Bersamaan dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Kak Anna, reaksi Bang Ben membuatku langsung mengalihkan pandangan padanya. Abangku itu terbatuk, seperti tersedak makanan yang tengah dikunyahnya. Dia pasti mengenali wanita itu. Wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya hingga ada Ayu di dunia ini. "Dia ini—""Sebaiknya kamu pergi dari sini!" ujarku seraya berdiri. Mama yang hendak mengatakan siapa dia, diam seketika ketika aku memotong ucapannya. Dania tamu yang tidak diundang dalam acara makan siang ini tersenyum penuh arti. Dia merasa senang karena aku ketakutan dengan kehadirannya yang tidak diprediksi."Aku akan pergi, tapi tidak sendiri. Aku akan membawa anakku.""Ayu bukan anakku!" sergahku cepat. Tangan Dania yang terulur hendak menyentuh Ayu, aku tepis dengan kasar. Jika saja dia waras dan tidak punya maksud lain dari keinginannya mengambil Ayu, mungkin ak
Tiga pertanyaan dari tiga orang yang berbeda membuatku kelimpungan mencari jawaban. Lidahku seperti terkunci, tidak dapat mengucapkan satu kata pun yang bisa menenangkan mereka. "Tsania, apa sekarang kamu mulai bisu? Katakan. Apa maksud dari ucapan wanita itu yang mengatakan aku adalah ayah dari Ayu?"Suara Bang Ben mengalihkan pandangan dari Mama dan Kak Anna, tapi masih tidak bisa membuka bibirku yang terkunci ini. Bingung. Entah jawaban apa yang harus aku katakan kepada mereka. Dan kenapa semuanya jadi menuntut jawaban dariku? Bukankah yang seharusnya memberikan penjelasan adalah Dania? "Tsa, kamu kenapa diam saja? Jawab, dong!" Kak Anna mulai menuntutku bicara. Namun, aku masih tetap membisu. Kulirik Dania yang tersenyum penuh kemenangan. Dia puas karena sudah membuka rahasia yang selama ini kujaga. Sia-sia. Rencana yang kususun serapi mungkin, malah berakhir dengan seperti ini. Menyedihkannya lagi, ini terjadi di tempat umum, hingga kami jadi pusat perhatian banyak orang.
"Anak Dania dan Bang Ben.""Ben ...?""Astaghfirullah, Abang ...."Papa dan Kak Anna langsung bereaksi ketika aku mengatakan kejujuran tentang Ayu.Air mata Kak Anna tak bisa lagi dibendung. Dia tersedu di sampingku dengan begitu pilu. "Kekonyolan apa ini, Tsania? Kamu bekerja sama dengan wanita tadi untuk memfitnahku?!" ujar Bang Ben, tidak terima. "Aku tidak memfitnah, Abang. Aku mengatakan yang sebenarnya. Ayu, memang anak Abang. Anak yang tidak Abang sadari kehadirannya.""Enggak. Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah tidur dengan wanita itu!" ujar Bang Ben lagi. "Sayang, semua yang dikatakan Tsania, tidak benar. Dia bicara asal," lanjut Bang Ben, berlutut di depan istrinya. Kak Anna tidak mempedulikan suaminya. Dia terus menangis hingga hijab bagian depannya basah oleh air mata. Tidak mendapatkan respon dari istrinya, kini mata Bang Ben kembali mengarah padaku. Dia menatapku tajam dengan rahang yang mengeras, membuatku takut dengan sorot matanya itu."Apa maumu, Tsania? Berapa
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan