"Dania?" kataku, menyebut satu nama. Meskipun si pengirim pesan tidak menyebutkan namanya, tapi dari keseluruhan kalimat yang aku baca, aku sangat yakin jika orang itu adalah Dania. [Di mana kamu, Dania? Jangan bersembunyi dan pergi begitu saja setelah apa yang kamu lakukan pada rumahku!] Aku membalas pesan tersebut. Sudah centang biru. Itu artinya, dia sudah membaca pesan yang aku kirimkan padanya. Beberapa menit aku memperhatikan ponsel, menunggu Dania membalas pesanku. Akan tetapi, tidak ada. Dia pun sepertinya sudah keluar dari aplikasi WhatsApp, yang kami gunakan untuk saling bertukar pesan. Tidak sabar menunggu pesan balasan dari Dania, aku pun menelepon nomor tersebut, untuk memastikan jika orang di balik pesan itu benar-benar adik iparku. Satu kali panggilan tidak dia jawab, aku mengulanginya beberapa kali hingga suara seorang wanita terdengar dari seberang sana."Kamu sepertinya merindukanku, ya, Kakak Ipar? Ada apa, kenapa kamu sangat ingin menghubungiku, hem ...?" Ak
"Oh ... jadi ini yang dilempar batu?" "Iya. Tuh, batunya masih ada," ujarku, seraya menunjuk batu yang dipakai Dania melempar kaca rumahku. Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang melemparkan batu itu ke rumah. Entah Dania sendiri yang melakukannya, atau dia menyuruh orang lain. Namun, aku tidak yakin jika Dania menyuruh orang untuk melakukan itu. Dia tidak punya uang. Dan tidak mungkin seseorang mau melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apalagi sebuah kejahatan. "Kamu yang sabar, ya, Tsa? Gak nyangka banget, deh, bakalan jadi serumit ini masalahnya," tutur Sabrina, seraya mengusap pundakku. Aku mengangguk, kemudian mengajak sahabatku itu masuk ke rumah. Sabrina datang tidak dengan tangan kosong. Dia membawa lontong sayur, karena tahu aku pasti kerepotan membuat sarapan. Ah, Sabrina memang teman paling baik. Dia selalu paham dengan keadaan sahabatnya ini. "Makasih banyak, loh, Na. Seneng banget dibawain sarapan," ucapku, "sebenarnya, tadi aku udah masak, sih. Telor dadar doangan tapi.
"Sedang apa? Tidak usah main tebak-tebakan," kataku, langsung mendahului ucapannya yang menggantung. Dania terbahak. Aku saling pandang dengan Sabrina yang sama-sama menyimak ucapan Dania. "Apanya yang lucu?" Aku kembali berucap. "Kamu yang lucu, Tsania. Suaramu menandakan ketakutan. Kamu takut, kalau aku bisa melakukan sesuatu padamu. Iya, kan? Buktinya, kamu akan pergi menghindariku. Kamu mau berlindung di rumah ibumu. Bukan begitu?"Mataku membulat mendengar tebakan Dania yang tidak meleset. Apakah dia ada di sekitar sini hingga tahu aku akan pergi?Mataku menyapu setiap sudut halaman rumah, mencari keberadaan Dania yang pasti ada di sekitarku. Tidak hanya aku yang melakukan itu, tapi Sabrina juga. Temanku sampai ke luar dari halaman rumah, melihat pada jalanan perumahan yang sepi. Sabrina kembali, dia menggelengkan kepala memberi isyarat jika tidak ada Dania di sekitar sini. Lalu, dari mana dia tahu aku akan pergi? "Berikan padaku," ujar suamiku. Mas Rendra yang tadi sudah
Aku, suami beserta Mama dan Papa, terkejut mendengar suara hantaman yang entah sumbernya dari mana. Kami yang tengah mengobrol serius, tiba-tiba diam dan saling pandang. "Apa itu tadi, Pah? tanya Mama, seraya melirik ke arah luar. Papa dan Mas Rendra berdiri, keluar dari rumah untuk mencari tahu suara apa yang tadi kami dengar. Karena penasaran, aku beserta Mama pun turut pergi mendekati Papa dan Mas Rendra yang berdiri di samping mobil milik ayahku. "Astaghfirullah ... siapa yang melakukan ini?" ujar Papa geram. Langkah aku percepat, dan akhirnya nampaklah pemandangan yang membuat kening mengkerut. Bodi mobil bagian belakang milik Papa, penyok. Seperti ditabrak atau dihantam benda dengan keras. Mas Rendra lari ke luar gerbang, mencari sekiranya ada seseorang di sekitar sini yang berkemungkinan menjadi pelakunya. Sayang, suamiku menggelengkan kepala, mengatakan tidak ada siapa pun disekitar rumah Mama. "Ini pasti si peneror itu, Pah. Sekarang dia menyerang rumah kita, karena
"K–kenal dia?" kataku tergagap. "Enggaklah, Pah. Kenal dari mana, coba?" "Barusan kamu bilang, wanita itu stres. Stres gimana maksudnya?" Kali ini Mama yang bertanya. "Ya ... stres, Mah. Coba, deh Mama pikir, mana ada wanita waras yang membuang bayinya? Meskipun dikata anak itu dari hasil yang gak bener, pasti dijaga kalau dia punya otak yang waras. Bener, kan?" kataku seraya melihat Mama dan Papa bergantian. "Iya, sih. Kamu bener, Tsa."Aku tersenyum puas karena jawabanku diterima Mama. Papa pun tidak lagi bertanya tentang ibu dari anakku, dan lebih mengalihkan pembahasan pada pabrik dan kebun teh. Menyimak obrolan kedua orang tuaku, aku ikut senang karena kebun teh milik Papa menghasilkan banyak daun teh berkualitas, dan sudah pasti mendatangkan pundi-pundi rupiah dari hasil jualnya. Itulah kenapa, syukuran Ayu dan Kak Anna kemarin ditanggung Papa. Bisa dibilang, orang tuaku saat ini sedang banyak uang. Aku dan Mas Rendra sebagai orang tua Ayu, hanya membeli satu ekor kambing
"Gimana kabarmu, Tsa? Dania ada ganggu kamu lagi?" Aku menyesap teh yang sudah terlanjur menyentuh bibir ketika Sabrina bertanya. Melihatku yang belum memberikan jawaban, wanita karir yang belum menemukan tambatan hati itu pun menyeruput teh miliknya, yang aku suguhkan sesaat dia tiba di rumahku. "Tidak ada, Na. Rasanya duniaku damaaaai banget. Aku jadi lebih tenang, lebih bahagia juga setelah tidak ada lagi teror Dania," ujarku akhirnya. Kepala Sabrina manggut-manggut. "Syukurlah kalau gitu. Tapi, apa kamu enggak penasaran sama dia? Apa yang terjadi, kenapa dia tidak neror kamu lagi? Rendra tidak mencari keberadaannya, gitu? Secara ... dia, kan kakaknya." Sabrina memberikan beberapa pertanyaan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Memang sudah satu minggu lamanya aku maupun Mas Rendra tidak lagi mendapatkan gangguan dari Dania. Teror ringan maupun berat, ancaman ataupun tekanan. Karena terlalu menikmati kedamaian, tidak terpikirkan olehku dan Mas
"Loh, kok ngomongnya gitu, Na?" ujarku seraya memperhatikan wajah Sabrina yang masih ditekuk. Sepertinya dia sangat sedih karena Ayu tidak nyaman digendongnya. "Aku kecewa aja, Tsa. Kenapa, sih aku gak seperti kamu yang bisa membuat semua orang nyaman. Perkara nenangin anak kecil aja, aku tidak bisa. Gimana mau jadi ibu, kan?" Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan, lalu duduk kembali di tempatku semula. Dan Ayu tidak menangis sama sekali. "Bukan tidak bisa, tapi belum. Kalau kamu nikah dan punya anak, nanti juga bisa dengan sendirinya, kok. Jangan baper sama anak bayi, ah. Makanya, jangan buka kafe terus, tapi buka hati juga buat para pria yang deketin kamu."Sabrina berdecak, lalu bibirnya komat-kamit dengan tidak jelas. Dia menggerutu, menanggapi candaanku yang menyuruhnya segera mengakhiri masa gadisnya. Sudah biasa. Jika membahas tentang menikah, Sabrina akan seperti dukun yang baca mantra. Bibirnya maju mundur, tapi entah apa yang dia ucapkan. Dan aku sudah pasti tertawa me
"Tsa, ini bagus, gak?" Aku mengangkat kepala, melihat pada Kak Anna yang memamerkan satu stel pakaian bayi padaku. "Bagus, Kak," jawabku. "Tapi motifnya cowok, Tsa.""Emangnya, anak yang kakak kandung berjenis kelamin perempuan?" Kak Anna menutup mulut seraya melebarkan mata, membuatku mengerutkan kening melihatnya. Sepertinya, kakak iparku itu kelepasan dalam berucap. Dia mengatakan sesuatu yang mungkin saja belum mau dia bagi dengan kami. Yaitu mengenai jenis kelamin anaknya. "Aduh, Tsa .... Tolong jaga rahasia ini, ya? Aku diminta Bang Ben untuk tidak mengatakan pada siapa pun tentang jenis kelamin anak kami. Pliiiiiss, jangan bilang siapa-siapa," ujar Kak Anna seraya menangkupkan tangan di bawah dagunya. Mata bulat Kak Anna melirik ke sana kemari, memastikan jika suaminya tidak mendengar percakapan kami. "Emangnya kenapa harus ditutupi, Kak? Kan, kita ikut seneng kalau tahu jenis kelamin si jabang bayi. Kita juga bisa menyiapkan kado yang sesuai nantinya," kataku menanggap