"Ada apa, Tsa?" Mas Rendra bertanya. "Kata Ibu, Dania pergi lagi dari rumah, Mas.""Astaghfirullahaladzim .... Ke mana lagi, dia?" ucap Mas Rendra terdengar frustrasi. Setelah mengatakan putrinya tidak ada di rumah, Ibu langsung menutup telepon. Dan aku saling pandang dengan Mas Rendra. Entah apa yang sedang dipikirkan suamiku, tapi yang pasti Dania memenuhi kepalaku saat ini. Ke mana dia? Pergi ke sini kah? Atau jangan-jangan ... dia mendatangi rumah Bang Ben? Mataku langsung membulat mengingat ke sana. Gawat! Benar-benar kacau jika Dania menemui Bang Ben. Aku yakin, saat ini di rumah kakakku masih ada mertuanya. Dan apa yang akan terjadi jika Dania dengan tanpa dosa mengatakan pada mereka tentang dirinya dan Bang Ben. "Mas, tolong pegang dulu Ayu," kataku, meminta Mas Rendra mengambil alih bayi yang sedang aku gendong. Dengan cepat tanganku mencari kontak Bang Ben, lalu meneleponnya dengan segera. Satu kali panggilan, tidak diangkat. Aku tidak menyerah dan mencobanya untu
"Apa kataku, Mas. Dia ada di sini, kan?" Mas Rendra tidak menjawab. Tatapannya fokus pada wanita yang sedari tadi dicarinya. Dania, dia benar-benar ada di rumah Bang Ben. Ah, tidak. Bukan di rumah kakakku, tapi di depan rumah. Tepatnya dia tengah memantau istana Bang Ben dengan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di sekitar sana. Nekad! Dania benar-benar membahayakan keluarga kakakku. Mas Rendra membuka pintu mobil. Dia hendak menghampiri adiknya, tapi aku tahan. Bukan apa-apa, tapi posisi dia parkir masih sedikit jauh dari rumah kakakku. Dan jika Mas Rendra memaksa Dania untuk masuk, itu akan memakan waktu."Maju dikit lagi, Mas." Aku memberikan instruksi. Mas Rendra menurut. Kini, mobil sudah berada lebih dekat dengan rumah Bang Ben, juga Dania. Suamiku membuka mobil, lalu berjalan mengendap menghampiri adiknya. Dengan satu gerakan tangan, suamiku berhasil membekap mulut Dania dari arah belakang, juga memeluknya agar Dania tidak bisa berontak. Aku turun dari mobil, lalu m
"Saya pengasuh Ayu, Bu." Mataku langsung menoleh pada Dania yang baru saja menjawab pertanyaan Mama. Raut terkejut bukan hanya terlihat dari wajah Mama, tapi juga Mas Rendra dan Ibu. Aku pun sama. Aku tidak menyangka Dania akan menjawab seperti itu. "Pengasuh?" ucap Mama. "Kamu mau pakai pengasuh, Tsa?" Tatapan Mama kini beralih padaku. Kadung berbohong. Akhirnya aku pun menjawab pertanyaan Mama dengan hanya menganggukkan kepala. "Kenapa pake pengasuh?" tanya Mama lagi. "Emh .... Karena ... kadang aku merasa lelah, Mah. Lagipula, dia mengasuh hanya di malam hari saja, biar aku enggak kurang tidur. Sedangkan siang, dia akan bekerja mengurus rumah."Sekarang mata Dania lah yang membulat. Mungkin dia keberatan dengan ucapanku yang mengatakan akan memperkerjakan dirinya di siang hari. Untuk yang itu, aku memang tidak berbohong. Itu rencanaku jika Dania sungguh-sungguh akan tinggal di sini. Enak saja dia ongkang-ongkang kaki sedangkan di hatinya memiliki niat buruk pada keluargaku
"Dra, gimana ini? Dania tetep tidak mau pulang. Dia bahkan mengancam akan bunuh diri jika dipaksa pulang ke Jakarta."Napas aku embuskan kasar saat mendengar Ibu yang tengah bicara pada Mas Rendra. Setelah bangun tidur beberapa waktu yang lalu, kepalaku sedikit lebih baik. Akan tetapi, sekarang sudah kembali diserang dengan kabar yang semakin menyesakkan dada. Oh, Dania .... Haruskah aku berbuat kasar dengan mengirimmu ke neraka agar masalah hidupku sirna? Rasanya itu terlalu jahat. Tadinya aku berniat untuk pergi ke dapur. Mencari makanan, karena perut terasa lapar setelah tidur satu jam lamanya. Namun, urung aku lakukan, dan lebih memilih kembali ke kamar. "Sayang ...." Aku mencolek sedikit pipi Ayu, yang ternyata sudah bangun saat aku kembali. "Nak, maafin Bunda, ya? Bunda, tuh gak suka sama mama kamu. Bunda, sebel sama dia. Gimana, kalau kita pergi saja, yuk? Kita pergi berdua aja ...." Ayu menggeliat, kemudian tersenyum seolah-olah mengerti dengan apa yang aku ucapkan. "
"Aduh, gimana ini? Siapa yang bisa aku mintai tolong?" Aku bertanya pada diri sendiri seraya mondar-mandir di dalam kamar. Dania pergi. Dan aku tahu tujuannya ke mana. "Jam segini Bang Ben masih di pabriknya. Kalau Dania ke rumah Bang Ben, yang dia temui pasti ... Kak Anna!" Aku menjentikkan jari, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi kakak iparku itu. Diangkat. Panggilanku dijawabnya dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. "Waalaikumsalam, Kak. Kak, Kak Anna sekarang di mana?" tanyaku. "Di rumah, Tsa. Kenapa? Kamu mau datang ke sini?" "Tidak, Kak. Tapi ...." Aku menggantung ucapan karena kebingungan apa kata yang tepat untuk mencegah dia tidak membukakan pintu jika Dania datang. "Tapi kenapa, Tsa? Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" Kak Anna kembali bertanya. "Emh ... i–iya, Kak." "Butuh apa? Bicara saja."Aku diam kembali. Demi Tuhan aku sangat kesulitan mencari cara agar Dania tidak bertemu dengan Kak Anna. Ketakutanku bukan hanya sebatas pertemuan antara mereka berdua,
Kukerjapkan mata berulang kali untuk memastikan apa yang aku lihat sekarang memanglah dia. Dania. Wanita yang aku hindari bertemu dengan Kak Anna, sekarang ada di sini. Dia berdiri di balik dinding kaca dengan tatapan dingin ke arahku. Sumpah demi Tuhan, aku merasa sedang diteror dan akan segera dihabisi oleh orang itu. Wajah Dania tanpa ekspresi, tapi mampu membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik tadi. "Tsa?" Kak Anna memanggil. "Eh, kenapa, Kak?" tanyaku, mengalihkan pandangan. "Lihat apa, sih? Ada yang kamu kenali di sini?" tanya Kak Anna lagi. Aku menoleh ke arah Dania berdiri tadi. Namun, wanita itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya. Mataku mencari ke sekeliling, tapi tak kutemukan dia. Dania pergi, dan entah ke mana. "Ada temanmu di sini?" Untuk yang ke sekalian kali, Kak Anna bertanya. "Ah, tidak ada, Kak. Cuma mirip aja, tali kayaknya bukan, deh. Kak Anna mau pesan apa?" Aku mengalihkan pembahasan, karena jujur saja saat ini aku semakin tidak t
Aku tidak bisa berkata-kata lagi selain menyebut nama Tuhan.Keadaan kamarku tak kalah parah dari ruang depan. Seprai, selimut, bantal dan segala macam yang berada di ruangan ini, tidak berada dalam tempatnya. Tidak hanya itu, semua pakaianku dan Mas Rendra pun berserakan di lantai. Semua, tidak terkecuali. "Ini perbuatan siapa?!" kataku geram. Mas Rendra menghampiri lemari, membuka laci yang kami isi dengan dokumen penting. Utuh. Semuanya masih ada, termasuk sertifikat rumah ini. "Di mana kamu menyimpan perhiasan, Tsa? Coba lihat, apa masih ada?" ujar Mas Rendra. "Di laci lemari pakaianku, Mas." Gegas Mas Rendra berpindah tempat dari lemarinya ke lemariku. Dia memeriksa laci yang aku maksud, dan ternyata ...."Ada, Tsa.""Apa?!" Aku menghampiri Mas Rendra, membuktikan perkataanya yang mencengangkan. Benar saja. Satu set perhiasan dan beberapa cincin serta kalung emas milikku masih utuh. "Kok, aneh, ya Mas? Kalau maling, pasti perhiasan ini diambil. Tapi ini ....""Kamu bena
"Kenapa dilempar, sih?" tanyaku lagi, seraya berjalan ke arah pintu balkon. "Biar cepet. Kelamaan kalau harus bawa lewat tangga. Buang-buang waktu," ujar Mas Rendra. Seraya menjawab pertanyaanku, dia terus melakukan hal yang sama, melempar plastik berisikan pakaian kotor ke bawah. Beberapa kali lemparan, kini sudah tidak ada satu pun plastik hitam di kamar ini. Aku melongok, melihat penampakan barang-barang yang tadi dijatuhkan suamiku. Tidak terlalu buruk, juga tidak membuat plastik hitam yang biasa aku gunakan untuk sampah itu sobek. Ide Mas Rendra lumayan bagus juga. "Sapu di mana, Tsa? Sekalian sama pelan juga."Aku mengalihkan perhatian dari plastik-plastik di bawah, pada Mas Rendra yang bertanya. Aku masuk kembali ke kamar, lalu menyimpan Ayu yang sudah tidur kembali. "Aku yang sapu, kamu yang pel, ya? Bentar, aku ambil dulu di bawah. Kamu istirahat aja sebentar," kataku kemudian. Tanpa menunggu jawaban dari Mas Rendra, aku pun turun ke lantai satu, mengambil sapu dan p