"Alhamdulillah .... Acaranya berjalan lancar." Papa mendesah seraya menjatuhkan bokongnya pada sofa ruang tengah. Aku beserta beberapa orang lainnya pun mengikuti, ikut duduk bersama pemilik rumah. Acara hari ini memang sudah selesai tanpa kendala. Tamu yang datang pun sudah pulang, termasuk anak yatim yang Papa undang. Sekarang, tinggal keluarga dan kerabat dekat saja yang berada di rumah, membantu beres-beres karena tentunya rumah sangat berantakan. "Pah, makasih, ya, sudah membiayai syukuran akikahnya Ayu. Padahal, dia bukan—""Jangan bicara yang tidak-tidak, Tsania." Papa memotong ucapanku seraya membuka kacamata yang bertengger di hidungnya. "Jika dia sudah jadi bagian darimu, maka dia juga bagian dari keluarga Papa. Stop, bilang dia bukan cucu Papa atau semacamnya. Karena itu akan jadi kebiasaan, dan pasti membuat dia sakit hati jika mendengarnya.""Iya, Pah. Maaf," kataku seraya menundukkan kepala. Mas Rendra yang duduk di sampingku, mengusap-usap punggung ini seolah-olah
"Hai, Tsania," katanya seraya menatapku dengan seulas senyum. Beberapa detik kami saling memandang dengan ekspresi yang jauh berbeda. Dia dengan tatapan dinginnya, sedangkan aku sebaliknya. Jantungku berdebar kencang, rasa takut tiba-tiba mengerang melihat wanita itu berada di kamarku seraya mengendong Ayu. Dania. Iya, wanita itu adalah Dania. Entah dari mana dia datang dan tiba-tiba bisa berada di kamarku? Jika lewat pintu utama, kurasa tidak mungkin. Masih ada beberapa sanak saudara di depan sana, dan pastinya akan memberitahukan kedatangan dia kepadaku ataupun Mama. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengenalinya selain aku. "Kenapa wajahnya tegang, Kakak Ipar? Apa aku ini terlihat seperti hantu?" Dia kembali berucap, seraya tersenyum ke arah Ayu. "Untuk apa kamu ke sini, Dania? Dan ... gimana caranya kamu bisa di sini? Bukannya kamu di rumahku?" Rentetan pertanyaan aku berikan, membuat dia menyeringai. Aku semakin takut. Dia yang katanya depresi, bisa saja melakukan hal ta
"K–kok, bisa, Mas? Dania ke mana?" tanyaku, pura-pura tidak tahu. "Aku juga gak tahu dia ke mana. Haduh ... cari ke mana, coba?" Mas Rendra terdengar frustrasi. Lirikan mataku pada Dania membuat dia tersenyum penuh arti. Bayi yang sedari tadi dia gendong, disimpannya ke atas kasur. Kemudian dia mengambil ponsel dari tanganku. Dengan sengaja, Dania mematikan sambungan telepon dari Mas Rendra, lalu menonaktifkan ponselku. "Dania, apa yang kamu lakukan?" ujarku, benar-benar tidak suka dengan kelakuannya. "Kita belum selesai bicara Tsania. Sudahlah, abaikan saja dulu Mas Rendra dan Ibu, kita kembali pada pembahasan awal.""Apa yang harus dibahas? Bang Ben? Atau keinginan konyolmu itu?" Dania menatapku tajam, terlihat tidak suka dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Aku benar-benar muak pada dia. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu semaunya, berbuat hal yang akan membuatku jelek di mana Mas Rendra. Bisa saja suamiku menganggapku tidak berempati pada dia yang sedang kehilangan adik, p
Drama kepulangan Dania membuat jantungku berdetak tak karuan. Bagaimana tidak, aku dan di harus berjalan mengendap-endap agar orang rumah tidak ada yang memergoki kami. Di luar, sudah ada Mas Rendra yang menunggu adiknya, lalu membawa dia kembali ke rumahku. "Ukhuk ukhuk!" Aku menghentikan langkah, memejamkan mata karena kaget mendengar suara orang batuk. Dari dalam kamar Papa. "Cepat lari, Dania." Aku memberikan instruksi agar adik iparku segera keluar dari pintu yang aku buka sedikit. Dengan langkah tergesa, Dania pun keluar, diiringi dengan seseorang yang keluar dari kamarnya. "Tsania, kamu sedang apa, Nak?" "Emh ... ini, Pah. Aku kira tadi suara mobil Mas Rendra, tapi ternyata bukan.""Rendra belum datang?" tanya Papa lagi. "Belum, Pah. Aku khawatir, takutnya mobil dia mogok lagi kayak waktu itu. Eh, Papa, kenapa bangun? Aku ganggu tidur, Papa?" Aku menjauh dari pintu utama, mendekati Papa yang berdiri tepat di ambang pintu penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah.
"Ada apa, Tsa?" Mas Rendra bertanya. "Kata Ibu, Dania pergi lagi dari rumah, Mas.""Astaghfirullahaladzim .... Ke mana lagi, dia?" ucap Mas Rendra terdengar frustrasi. Setelah mengatakan putrinya tidak ada di rumah, Ibu langsung menutup telepon. Dan aku saling pandang dengan Mas Rendra. Entah apa yang sedang dipikirkan suamiku, tapi yang pasti Dania memenuhi kepalaku saat ini. Ke mana dia? Pergi ke sini kah? Atau jangan-jangan ... dia mendatangi rumah Bang Ben? Mataku langsung membulat mengingat ke sana. Gawat! Benar-benar kacau jika Dania menemui Bang Ben. Aku yakin, saat ini di rumah kakakku masih ada mertuanya. Dan apa yang akan terjadi jika Dania dengan tanpa dosa mengatakan pada mereka tentang dirinya dan Bang Ben. "Mas, tolong pegang dulu Ayu," kataku, meminta Mas Rendra mengambil alih bayi yang sedang aku gendong. Dengan cepat tanganku mencari kontak Bang Ben, lalu meneleponnya dengan segera. Satu kali panggilan, tidak diangkat. Aku tidak menyerah dan mencobanya untu
"Apa kataku, Mas. Dia ada di sini, kan?" Mas Rendra tidak menjawab. Tatapannya fokus pada wanita yang sedari tadi dicarinya. Dania, dia benar-benar ada di rumah Bang Ben. Ah, tidak. Bukan di rumah kakakku, tapi di depan rumah. Tepatnya dia tengah memantau istana Bang Ben dengan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di sekitar sana. Nekad! Dania benar-benar membahayakan keluarga kakakku. Mas Rendra membuka pintu mobil. Dia hendak menghampiri adiknya, tapi aku tahan. Bukan apa-apa, tapi posisi dia parkir masih sedikit jauh dari rumah kakakku. Dan jika Mas Rendra memaksa Dania untuk masuk, itu akan memakan waktu."Maju dikit lagi, Mas." Aku memberikan instruksi. Mas Rendra menurut. Kini, mobil sudah berada lebih dekat dengan rumah Bang Ben, juga Dania. Suamiku membuka mobil, lalu berjalan mengendap menghampiri adiknya. Dengan satu gerakan tangan, suamiku berhasil membekap mulut Dania dari arah belakang, juga memeluknya agar Dania tidak bisa berontak. Aku turun dari mobil, lalu m
"Saya pengasuh Ayu, Bu." Mataku langsung menoleh pada Dania yang baru saja menjawab pertanyaan Mama. Raut terkejut bukan hanya terlihat dari wajah Mama, tapi juga Mas Rendra dan Ibu. Aku pun sama. Aku tidak menyangka Dania akan menjawab seperti itu. "Pengasuh?" ucap Mama. "Kamu mau pakai pengasuh, Tsa?" Tatapan Mama kini beralih padaku. Kadung berbohong. Akhirnya aku pun menjawab pertanyaan Mama dengan hanya menganggukkan kepala. "Kenapa pake pengasuh?" tanya Mama lagi. "Emh .... Karena ... kadang aku merasa lelah, Mah. Lagipula, dia mengasuh hanya di malam hari saja, biar aku enggak kurang tidur. Sedangkan siang, dia akan bekerja mengurus rumah."Sekarang mata Dania lah yang membulat. Mungkin dia keberatan dengan ucapanku yang mengatakan akan memperkerjakan dirinya di siang hari. Untuk yang itu, aku memang tidak berbohong. Itu rencanaku jika Dania sungguh-sungguh akan tinggal di sini. Enak saja dia ongkang-ongkang kaki sedangkan di hatinya memiliki niat buruk pada keluargaku
"Dra, gimana ini? Dania tetep tidak mau pulang. Dia bahkan mengancam akan bunuh diri jika dipaksa pulang ke Jakarta."Napas aku embuskan kasar saat mendengar Ibu yang tengah bicara pada Mas Rendra. Setelah bangun tidur beberapa waktu yang lalu, kepalaku sedikit lebih baik. Akan tetapi, sekarang sudah kembali diserang dengan kabar yang semakin menyesakkan dada. Oh, Dania .... Haruskah aku berbuat kasar dengan mengirimmu ke neraka agar masalah hidupku sirna? Rasanya itu terlalu jahat. Tadinya aku berniat untuk pergi ke dapur. Mencari makanan, karena perut terasa lapar setelah tidur satu jam lamanya. Namun, urung aku lakukan, dan lebih memilih kembali ke kamar. "Sayang ...." Aku mencolek sedikit pipi Ayu, yang ternyata sudah bangun saat aku kembali. "Nak, maafin Bunda, ya? Bunda, tuh gak suka sama mama kamu. Bunda, sebel sama dia. Gimana, kalau kita pergi saja, yuk? Kita pergi berdua aja ...." Ayu menggeliat, kemudian tersenyum seolah-olah mengerti dengan apa yang aku ucapkan. "