"Bu .... Astaghfirullahaladzim ...!" Mas Rendra mengusap wajah dengan kasar seraya tatapan tajam mengarah pada ibunya. Saat ini, kami sudah berada di rumahku. Rumah yang tadinya sepi, kini sedikit berisik karena bayi yang ada dalam gendongan Ibu, terus menangis. Mungkin dia kaget karena barusan Mas Rendra berucap cukup keras, hingga membangunkan bayi mungil yang baru berusia beberapa hari itu. "Dia pasti kelelahan, Bu." Suamiku kembali berucap. "Diamlah, Rendra. Ibu lagi berusaha mendiamkannya," ujar Ibu seraya berdiri. Ibu mertuaku mengayun cucunya, berharap bayi itu akan diam dan tidur kembali. Sayangnya, tidak sama sekali. Malah semakin kencang menangis, membuatku khawatir membuat tetangga datang karena curiga ada suara bayi di sini. "Bu, bawa susunya, nggak?" tanyaku kemudian. "Ada di tas." Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu mengambil kunci mobil dan pergi ke luar. Aku mengambil perlengkapan bayi yang Ibu bawa dari rumahnya. Termasuk susu formula yang menjadi makanan
"Karena Mama dan Papa, pasti meminta aku berpisah dari Mas Rendra, saat tahu kebohongan kalian," ujarku dengan tanpa mengalihkan pandangan dari ibu mertua. Wanita dengan keriput di beberapa bagian wajahnya itu mendengkus kesal. Dia membuang pandangan ke lain arah, menghindari tatapan tajam dariku. "Lagian, aku itu bingung sama Ibu. Kenapa harus bohong segala tentang Dania? Kenapa tidak bilang dari awal, jika Mas Rendra punya adik dan dibawa ayahnya?Sesimpel itu sebenarnya, tapi Ibu malah mempersulitnya.""Kamu tidak tahu apa-apa, Tsania. Bisakah kita membahas tentang anak ini, bukan tentang masa lalu kami?" ujar Ibu mertua merasa tersinggung. Aku diam seraya manggut-manggut. Bicara dengan orang tua, sepertinya aku akan selalu salah. Ibu paling benar. Dalam kesalahannya pun, dia masih merasa paling benar. Ah, capek! "Bu, pokoknya Ibu ikuti saja rencana Rendra dan Tsania. Ibu sayang, kan sama aku? Ibu tidak mau kan, aku dan Tsania berpisah? Jadi tolong, Bu. Jangan katakan apa pun s
"Barusan, Bu. Ini, aku mau titip Ayu. Aku pengen mandi bentar."Ibu buru-buru mengambil bayi itu dari gendonganku. "Sana mandi, biar dia Ibu yang pegang dulu."Aku mengangguk pelan seraya menatap dua wajah orang dewasa yang ada di ruangan ini. Aku merasa, seperti ada yang mereka sembunyikan dariku. Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Ibu? Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Tubuh terasa lebih ringan setelah bersentuhan dengan air dingin yang menyegarkan. Aku langsung berpakaian dan berhias tipis sebelum keluar dari kamar dan menghampiri suamiku. "Sudah ada sarapan, rupanya? Ibu yang masak?" tanyaku, kemudian duduk di kursi yang berada di samping suamiku. "Iya. Tadi Ibu buat nasi goreng saja. Biar cepat. Soalnya, Ibu harus kembali ke Jakarta sekarang juga. Dan ... sekali lagi, Ibu titip cucu Ibu padamu, ya?" Tatapan Ibu mengarah padaku. Aku berdehem, lalu mengangguk mengiyakan permintaan ibu mertua. "S
"Bayi kita?" Mama mengulang dua kata yang diucapkan Mas Rendra. Entahlah, apa yang harus kukatakan saat mata Mama mengarah padaku. Bibirku terasa kaku, lidah pun kelu dan tak mampu mengucapkan apa-apa. Kedatangan Mama di luar prediksi. Aku yang belum siap mengatakan tentang Ayu pada Mama, kini malah kepergok tengah memomong bayi oleh wanita yang telah melahirkanku itu. "Rendra, Tsania, tolong jelaskan pada Mama, itu anak siapa? Kenapa barusan Rendra mengatakan bayi itu anak kalian, Tsa?" Mama kembali memberikan pertanyaan. Aku berdehem untuk menetralkan perasaan. Kaki Mama melangkah mendekati kami, membuat degup jantung pun kian berdebar kencang. "Iya, Mah. Ini anak aku dan Tsania. Kami ... mengadopsi bayi." Mas Rendra berucap."Adopsi? Apa-apaan ini, Tsania? Kalian mengadopsi bayi, tapi tidak berunding dulu dengan keluarga?" "Mah, Mama sebaiknya duduk dulu, nanti aku jelaskan dengan rinci mengenai siapa bayi ini dan kenapa aku dan Mas Rendra memutuskan untuk mengadopsinya." Aku
"Mirip Rendra. Jangan-jangan ini memang anak kamu, Dra?" cetus Mama, membuatku membulatkan mata, lalu tertawa."Ah, Mama ngaco. Mana ada mirip aku?" Mas Rendra bereaksi. "Tahu, nih Mama. Mirip Mas Rendra dari mananya, sih?" ucapku, menimpali ucapan Mas Rendra. Mama mengedikkan bahu seraya menatap wajah mungil Ayu. Sesekali dia mengusap pipi bayi itu, lalu menaikan selimut yang membungkus tubuh kecilnya. "Anak siapa pun itu, lahir dari rahim wanita mana pun, Papa harap keberadaan dia tidak membuat hubungan rumah tangga kalian renggang. Justru sebaliknya, niat mulia kalian untuk merawat bayi itu mudah-mudahan Allah balas dengan kebahagiaan yang luar biasa nantinya.""Aamiin .... Ah, sayang banget, deh sama Papa." Aku merengsek mendekati Papa, lalu memeluk lelaki cinta pertamaku itu. Sekitar pukul delapan malam kedua orang tuaku pulang. Banyak sekali wejangan yang mereka tinggalkan untuk kami yang sekarang sudah berstatuskan sebagai orang tua. Papa dan Mama juga memintaku untuk sege
"Kak Anna?" Aku menyebut nama wanita yang sekarang berjalan mendekatiku. "Kok, salam Kakak enggak dijawab?" Aku mengerjapkan mata, lalu tersenyum hambar pada kakak iparku itu."Wa–waalaikumsalam." Aku tergagap. Ada rasa gugup dalam diri ini ketika Kak Anna semakin dekat denganku, dan tangannya terulur menyentuh pipi Ayu. Senyum Kak Anna terlihat seperti seringai yang membuat dadaku berdebar kencang. Entah rasa apa ini. Kenapa aku begitu panik dengan kedatangan Kak Anna yang tiba-tiba? Padahal, ini bukan kali pertama Kak Anna datang berkunjung ke rumahku. Sudah sering, bahkan kami pun beberapa kali pergi bersama meskipun hanya untuk nongkrong di kafe saja. "Tsa? Kok, malah bengong, sih? Apa kedatanganku mengganggumu?""Eh, tentu saja tidak!" kataku cepat, lalu berdehem menetralkan perasaan. Aku mempersilahkan Kak Anna masuk, kemudian mempersilakan kakak iparku untuk duduk. "Kak Anna datang ke sini sendiri? Bang Ben, mana?" tanyaku seraya melihat ke arah pintu. Mungkin ini per
"Ma–masa, sih, Kak? Ha ha ha, ada-ada saja, Bang Ben." Aku tertawa sumbang, menanggapi ucapan Kak Anna. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Berulang kali aku melakukan itu untuk menetralkan perasaan terkejut, juga gugup akibat pesan yang dikirim Bang Ben kepada istrinya. Ternyata menjadi seorang pembohong itu tidak semudah yang aku kira. Banyak serangan mendadak yang membuat jantung berdetak sangat cepat. Setelah Ayu tidur, Kak Anna pamit pulang. Katanya, dia sudah ada janji dan teman-temannya sedang menunggu dia di sebuah kafe. "Kak Anna, jangan banyak beraktivitas di luar rumah, ah. Takutnya kenapa-kenapa sama kandungan, Kakak," kataku seraya berjalan beriringan bersama wanita hamil itu. "Enggak sering, kok, Tsa. Hanya sesekali saja. Itu juga lokasinya gak jauh dari tempat kerja Bang Ben. Tenang aja, aku akan baik-baik saja."Kak Anna tersenyum lembut padaku, kemudian dia pamit untuk segera pergi. Kulihat tubuh kakak iparku yang sekarang sedikit b
"Oke, digabung pun tidak apa-apa. Aku setuju.""Beneran, Mas?" tanyaku, menanggapi jawaban Mas Rendra. "Iya, Sayang ...."Aku tersenyum seraya menghela napas lega. Dan setelah ini, aku harus menghubungi Mama dan Kak Anna, untuk menyampaikan kesediaan Mas Rendra mengenai acara syukuran itu. Mas Rendra yang baru saja pulang dari pabrik, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seraya menunggu Mas Rendra selesai mandi, aku pun menyiapkan makan untuk suamiku itu. Kebetulan, setelah minum susu, Ayu kembali tidur. Hem ... apa lagi kerjaan bayi kalau bukan makan dan tidur. "Sayang, kalau acara akikah Ayu minggu depan, itu artinya kita harus segera mencari kambing untuk disembelih. Kira-kira, di mana, ya?" Mas Rendra menghampiri dengan wajah segar dan tubuh wanginya. "Emh ... di tempat kamu beli kambing kurban waktu itu aja, Mas?" Aku mengingatkan. "Memangnya ada? Di sana, kan menjual kambing dan domba di saat musim kurban saja. Hari-hari biasa begini, mana ada?" sahutnya. "