"Mas!" Aku berteriak histeris setelah sambungan telepon terputus sebelum aku menjawab ucapan Ibu. Gegas aku lari ke kamar, menggedor pintu kamar mandi seraya memanggil Mas Rendra. "Apa, Tsa? Kebelet? Pake kamar mandi di belakang, kan bisa?" ujar Mas Rendra dari dalam. "Bukan!" Aku berteriak lagi. "Gawat, Mas! Ini gawat!""Gawat kenapa? Kalau ngomong jangan putus-putus, Tsa!" "Ibu ke sini! Dia sedang dijalan! Katanya, dia akan memberikan bayi Dania ke Mama dan Papa!" Pintu kamar mandi langsung terbuka, menampakkan tubuh Mas Rendra yang masih berbusa. Matanya tajam melihat ke arahku yang menatapnya khawatir. "Kamu serius, Tsa?" ucapnya kemudian. "Serius, Mas. Cepetan kelarin mandinya, terus kita susul Ibu sebelum dia sampai di rumah Mama. Ayo, Mas, cepetan!" Mas Rendra masuk lagi ke dalam kamar mandi, lalu terdengar suara air yang jatuh pada lantai. Aku duduk di ujung ranjang dengan terus meremas jari-jari tangan. Demi Tuhan, saat ini aku tengah merasa takut. Aku khawatir, j
"Bu .... Astaghfirullahaladzim ...!" Mas Rendra mengusap wajah dengan kasar seraya tatapan tajam mengarah pada ibunya. Saat ini, kami sudah berada di rumahku. Rumah yang tadinya sepi, kini sedikit berisik karena bayi yang ada dalam gendongan Ibu, terus menangis. Mungkin dia kaget karena barusan Mas Rendra berucap cukup keras, hingga membangunkan bayi mungil yang baru berusia beberapa hari itu. "Dia pasti kelelahan, Bu." Suamiku kembali berucap. "Diamlah, Rendra. Ibu lagi berusaha mendiamkannya," ujar Ibu seraya berdiri. Ibu mertuaku mengayun cucunya, berharap bayi itu akan diam dan tidur kembali. Sayangnya, tidak sama sekali. Malah semakin kencang menangis, membuatku khawatir membuat tetangga datang karena curiga ada suara bayi di sini. "Bu, bawa susunya, nggak?" tanyaku kemudian. "Ada di tas." Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu mengambil kunci mobil dan pergi ke luar. Aku mengambil perlengkapan bayi yang Ibu bawa dari rumahnya. Termasuk susu formula yang menjadi makanan
"Karena Mama dan Papa, pasti meminta aku berpisah dari Mas Rendra, saat tahu kebohongan kalian," ujarku dengan tanpa mengalihkan pandangan dari ibu mertua. Wanita dengan keriput di beberapa bagian wajahnya itu mendengkus kesal. Dia membuang pandangan ke lain arah, menghindari tatapan tajam dariku. "Lagian, aku itu bingung sama Ibu. Kenapa harus bohong segala tentang Dania? Kenapa tidak bilang dari awal, jika Mas Rendra punya adik dan dibawa ayahnya?Sesimpel itu sebenarnya, tapi Ibu malah mempersulitnya.""Kamu tidak tahu apa-apa, Tsania. Bisakah kita membahas tentang anak ini, bukan tentang masa lalu kami?" ujar Ibu mertua merasa tersinggung. Aku diam seraya manggut-manggut. Bicara dengan orang tua, sepertinya aku akan selalu salah. Ibu paling benar. Dalam kesalahannya pun, dia masih merasa paling benar. Ah, capek! "Bu, pokoknya Ibu ikuti saja rencana Rendra dan Tsania. Ibu sayang, kan sama aku? Ibu tidak mau kan, aku dan Tsania berpisah? Jadi tolong, Bu. Jangan katakan apa pun s
"Barusan, Bu. Ini, aku mau titip Ayu. Aku pengen mandi bentar."Ibu buru-buru mengambil bayi itu dari gendonganku. "Sana mandi, biar dia Ibu yang pegang dulu."Aku mengangguk pelan seraya menatap dua wajah orang dewasa yang ada di ruangan ini. Aku merasa, seperti ada yang mereka sembunyikan dariku. Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Ibu? Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Tubuh terasa lebih ringan setelah bersentuhan dengan air dingin yang menyegarkan. Aku langsung berpakaian dan berhias tipis sebelum keluar dari kamar dan menghampiri suamiku. "Sudah ada sarapan, rupanya? Ibu yang masak?" tanyaku, kemudian duduk di kursi yang berada di samping suamiku. "Iya. Tadi Ibu buat nasi goreng saja. Biar cepat. Soalnya, Ibu harus kembali ke Jakarta sekarang juga. Dan ... sekali lagi, Ibu titip cucu Ibu padamu, ya?" Tatapan Ibu mengarah padaku. Aku berdehem, lalu mengangguk mengiyakan permintaan ibu mertua. "S
"Bayi kita?" Mama mengulang dua kata yang diucapkan Mas Rendra. Entahlah, apa yang harus kukatakan saat mata Mama mengarah padaku. Bibirku terasa kaku, lidah pun kelu dan tak mampu mengucapkan apa-apa. Kedatangan Mama di luar prediksi. Aku yang belum siap mengatakan tentang Ayu pada Mama, kini malah kepergok tengah memomong bayi oleh wanita yang telah melahirkanku itu. "Rendra, Tsania, tolong jelaskan pada Mama, itu anak siapa? Kenapa barusan Rendra mengatakan bayi itu anak kalian, Tsa?" Mama kembali memberikan pertanyaan. Aku berdehem untuk menetralkan perasaan. Kaki Mama melangkah mendekati kami, membuat degup jantung pun kian berdebar kencang. "Iya, Mah. Ini anak aku dan Tsania. Kami ... mengadopsi bayi." Mas Rendra berucap."Adopsi? Apa-apaan ini, Tsania? Kalian mengadopsi bayi, tapi tidak berunding dulu dengan keluarga?" "Mah, Mama sebaiknya duduk dulu, nanti aku jelaskan dengan rinci mengenai siapa bayi ini dan kenapa aku dan Mas Rendra memutuskan untuk mengadopsinya." Aku
"Mirip Rendra. Jangan-jangan ini memang anak kamu, Dra?" cetus Mama, membuatku membulatkan mata, lalu tertawa."Ah, Mama ngaco. Mana ada mirip aku?" Mas Rendra bereaksi. "Tahu, nih Mama. Mirip Mas Rendra dari mananya, sih?" ucapku, menimpali ucapan Mas Rendra. Mama mengedikkan bahu seraya menatap wajah mungil Ayu. Sesekali dia mengusap pipi bayi itu, lalu menaikan selimut yang membungkus tubuh kecilnya. "Anak siapa pun itu, lahir dari rahim wanita mana pun, Papa harap keberadaan dia tidak membuat hubungan rumah tangga kalian renggang. Justru sebaliknya, niat mulia kalian untuk merawat bayi itu mudah-mudahan Allah balas dengan kebahagiaan yang luar biasa nantinya.""Aamiin .... Ah, sayang banget, deh sama Papa." Aku merengsek mendekati Papa, lalu memeluk lelaki cinta pertamaku itu. Sekitar pukul delapan malam kedua orang tuaku pulang. Banyak sekali wejangan yang mereka tinggalkan untuk kami yang sekarang sudah berstatuskan sebagai orang tua. Papa dan Mama juga memintaku untuk sege
"Kak Anna?" Aku menyebut nama wanita yang sekarang berjalan mendekatiku. "Kok, salam Kakak enggak dijawab?" Aku mengerjapkan mata, lalu tersenyum hambar pada kakak iparku itu."Wa–waalaikumsalam." Aku tergagap. Ada rasa gugup dalam diri ini ketika Kak Anna semakin dekat denganku, dan tangannya terulur menyentuh pipi Ayu. Senyum Kak Anna terlihat seperti seringai yang membuat dadaku berdebar kencang. Entah rasa apa ini. Kenapa aku begitu panik dengan kedatangan Kak Anna yang tiba-tiba? Padahal, ini bukan kali pertama Kak Anna datang berkunjung ke rumahku. Sudah sering, bahkan kami pun beberapa kali pergi bersama meskipun hanya untuk nongkrong di kafe saja. "Tsa? Kok, malah bengong, sih? Apa kedatanganku mengganggumu?""Eh, tentu saja tidak!" kataku cepat, lalu berdehem menetralkan perasaan. Aku mempersilahkan Kak Anna masuk, kemudian mempersilakan kakak iparku untuk duduk. "Kak Anna datang ke sini sendiri? Bang Ben, mana?" tanyaku seraya melihat ke arah pintu. Mungkin ini per
"Ma–masa, sih, Kak? Ha ha ha, ada-ada saja, Bang Ben." Aku tertawa sumbang, menanggapi ucapan Kak Anna. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Berulang kali aku melakukan itu untuk menetralkan perasaan terkejut, juga gugup akibat pesan yang dikirim Bang Ben kepada istrinya. Ternyata menjadi seorang pembohong itu tidak semudah yang aku kira. Banyak serangan mendadak yang membuat jantung berdetak sangat cepat. Setelah Ayu tidur, Kak Anna pamit pulang. Katanya, dia sudah ada janji dan teman-temannya sedang menunggu dia di sebuah kafe. "Kak Anna, jangan banyak beraktivitas di luar rumah, ah. Takutnya kenapa-kenapa sama kandungan, Kakak," kataku seraya berjalan beriringan bersama wanita hamil itu. "Enggak sering, kok, Tsa. Hanya sesekali saja. Itu juga lokasinya gak jauh dari tempat kerja Bang Ben. Tenang aja, aku akan baik-baik saja."Kak Anna tersenyum lembut padaku, kemudian dia pamit untuk segera pergi. Kulihat tubuh kakak iparku yang sekarang sedikit b
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan