"Telepon Mama yang pengen Tsania akhiri, capek banget aku, Mah. Ngantuk juga," kataku, mengalihkan pembahasan. "Oh ... Mama pikir apa. Yasudah, kamu istirahat, ya?"Aku mengangguk, meskipun Mama tidak melihatnya. Sambungan telepon pun aku akhiri. Pandangan ini lurus ke depan, lebih tepatnya ke atas. Pada plafon yang hanya ada satu lampu di sana. Bayangan-bayangan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini padaku membuat dada terasa sesak. Dimulai dari kecurigaanku pada Mas Rendra, hingga akhirnya sesuatu yang tidak pernah aku sangkakan, menjadi kabar paling buruk dalam hidupku. Aku masih belum bisa menerima jika anak Dania adalah darah daging Bang Ben. Aku juga tidak membayangkan bagaimana reaksi Kak Anna, jika tahu suaminya berkhianat hingga menghasilkan keturunan. "Astagfirullahaladzim ...." Aku beristighfar seraya mengusap wajah. Tubuh yang lelah, aku paksa untuk bangun dan pergi ke kamar mandi. Mungkin, air yang mengalir dari shower bisa sedikit mendinginkan pikiran. Tidak lama
"Aku kecewa sama kamu, Mas. Aku merasa dibohongi sejak awal kita menikah. Kamu mengaku anak tunggal, tapi nyatanya ada adik. Kamu juga tidak jujur soal Dania dari enam bulan yang lalu. Coba saja waktu itu kamu bilang sama aku, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini, Mas.""Yakin, tidak akan seperti ini?" tanyanya. "Iyalah.""Aku tidak yakin, Tsa. Seperti sekarang, mungkin sikapmu akan sama jika aku mengatakan tentang Dania enam bulan yang lalu. Kamu tahu kenapa? Karena semua ada hubungannya dengan kakakmu."Aku bungkam. Ucapan Mas Rendra membuatku tidak punya kata untuk menjawab ucapannya. Memang benar. Jika aku pikir-pikir lagi, tindakan Mas Rendra merahasiakan keberadaan Dania hanyalah untuk mengulur waktu saja, bukan menyelesaikan masalah. Sekarang semuanya sudah terjadi. Menyalahkan Mas Rendra pun percuma. Dia tidak tahu bagaimana caranya membuat semua kembali seperti semula. Dan sikapku pun tidak akan lagi sama terhadap dia dan ibunya. Aku sangat kecewa pada mereka yang
Segera aku masuk setelah menoleh sebentar ke arah Mas Rendra, lalu menutup pintu dengan kasar menghindari dia yang tersenyum padaku. Tidak menunggu nanti, aku pun langsung mengguyur tubuh dengan air agar semua ingatan tentang Mas Rendra hilang dari benakku. Meskipun dia suamiku, saat ini aku enggan melakukan kewajiban sebagai seorang istri pada umumnya. Jujur, rasa kecewa masih begitu menggunung, walaupun cinta untuknya memang tetap ada. Aku mengembuskan napas kasar seraya keluar dari kamar mandi. Kulihat, Mas sudah tidak ada lagi di kamar ini. "Dia sudah berangkat kali, ya?" kataku, kemudian melongok ke jendela kamar, melihat mobil di halaman yang sudah tidak ada di sana. Itu artinya, Mas Rendra memang sudah berangkat ke pabrik. Usai memakai pakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar untuk mulai membereskan rumah dan memasak. Akan tetapi, ternyata semuanya sudah bersih dan rapi. Bekas makan kami semalam pun sudah tidak ada di wastafel. "Mas Rendra masak?" kataku lagi, meliha
"Iya, Tsa. Makanya, hari ini Papa nyuruh Rendra datang pagi ke pabrik, untuk membahas itu."Punggung aku sandarkan pada sofa seraya mengembuskan napas pelan. Aku yang pernah ikut mengurus pabrik, merasa sedih dengan kabar ini. Pasalnya, mengembalikan kepercayaan pelanggan yang kecewa, lebih sulit daripada mencari pelanggan baru. Dan kerugiannya pun pasti besar. Apalagi jika pelanggan itu biasa mengambil teh dalam jumlah yang banyak. Sedangkan yang baru, belum tentu membeli dengan jumlah yang sama.Biasanya, pelanggan baru membeli teh dalam jumlah sedikit karena masih coba-coba. Tidak seperti pelanggan lama yang sudah tahu rasa dan kualitas produk kami. "Maafkan Mas Rendra, ya, Mah? Karena dia sering bolos, jadinya pelanggan kita pada pergi," kataku dengan sesal. "Gak apa-apa, Tsa. Palingan, nanti Rendra akan dibuat sibuk karena harus mencari konsumen baru, juga promosi sana sini. Pasti lelah, sih, tapi mau gimana lagi? Semua tindakan pasti ada konsekuensinya."Aku mengangguk kecil
"Ada apa, Tsa?" Mama bertanya saat aku kembali ke meja makan."Tidak ada apa-apa, Mah.""Tidak ada apa-apa, kok wajahnya ditekuk kayak gitu?"Aku memaksakan tersenyum meskipun hati diliputi kebingungan. Ancaman Ibu lah yang membuatku tidak tenang. Benarkah dia akan membawa bayi itu ke sini jika Mas Rendra tidak datang ke rumahnya? Bahaya. Suamiku berada dalam persimpangan. Jika Mas Rendra menolak perintah ibunya, tentu saja masalah baru akan muncul. Apa yang harus aku katakan pada Mama dan Papa, jika ibu mertuaku benar-benar nekad membawa cucunya ke sini?Akan tetapi, jika Mas Rendra pergi ke Jakarta dan meninggalkan pabrik, itu pun akan membuat Papa marah. Apalagi dengan keadaan pabrik yang tidak baik-baik saja. "Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke Mama, Tsa. Jangan dipendam sendiri.""Enggak ada, Mah. Tadi, Ibu cuma nanyain resep obat yang kemarin aku dan Mas Rendra beli. Hampir saja tadi dia salah minum obat. Makanya, aku sampai istighfar karena kaget," ujarku bohong. Mama
"Rencananya, aku mau bawa bayi Dania ke sini.""Apa?!" ujarku terkejut. "Kamu gak salah, Mas? Nanti kalau Mama nanya—""Kita bilang aja itu bayi yang dibuang orang tuanya," ujar Mas Rendra dengan entengnya. Aku menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu. Tidak sesederhana itu mengatakan pada semua orang, jika kami mengadopsi bayi. Apalagi bayi itu memiliki orang tua. "Aku gak setuju, Mas.""Kamu tidak mau mengurus anaknya Dania? Dia keponakan kita, loh.""Ya, jelas aku tidak setuju. Bayi itu memiliki ibu dan ayah.""Jadi, kamu lebih memilih menyerahkan bayi itu pada Bang Ben? Dan membuat rumah tangganya dengan Kak Anna hancur?" Kali ini aku diam. Hatiku menolak membuat rumah tangga kakakku berantakan karena adanya bayi itu. Namun, untuk mengurusnya pun, aku tidak bisa. Tidak mau lebih tepatnya. Mas Rendra yang melihatku diam, dia jadikan kesempatan untuk menjelaskan rencana yang dia punya. Pikir Mas Rendra, dia bisa menyelematkan dua hubungan rumah tan
"Mas!" Aku berteriak histeris setelah sambungan telepon terputus sebelum aku menjawab ucapan Ibu. Gegas aku lari ke kamar, menggedor pintu kamar mandi seraya memanggil Mas Rendra. "Apa, Tsa? Kebelet? Pake kamar mandi di belakang, kan bisa?" ujar Mas Rendra dari dalam. "Bukan!" Aku berteriak lagi. "Gawat, Mas! Ini gawat!""Gawat kenapa? Kalau ngomong jangan putus-putus, Tsa!" "Ibu ke sini! Dia sedang dijalan! Katanya, dia akan memberikan bayi Dania ke Mama dan Papa!" Pintu kamar mandi langsung terbuka, menampakkan tubuh Mas Rendra yang masih berbusa. Matanya tajam melihat ke arahku yang menatapnya khawatir. "Kamu serius, Tsa?" ucapnya kemudian. "Serius, Mas. Cepetan kelarin mandinya, terus kita susul Ibu sebelum dia sampai di rumah Mama. Ayo, Mas, cepetan!" Mas Rendra masuk lagi ke dalam kamar mandi, lalu terdengar suara air yang jatuh pada lantai. Aku duduk di ujung ranjang dengan terus meremas jari-jari tangan. Demi Tuhan, saat ini aku tengah merasa takut. Aku khawatir, j
"Bu .... Astaghfirullahaladzim ...!" Mas Rendra mengusap wajah dengan kasar seraya tatapan tajam mengarah pada ibunya. Saat ini, kami sudah berada di rumahku. Rumah yang tadinya sepi, kini sedikit berisik karena bayi yang ada dalam gendongan Ibu, terus menangis. Mungkin dia kaget karena barusan Mas Rendra berucap cukup keras, hingga membangunkan bayi mungil yang baru berusia beberapa hari itu. "Dia pasti kelelahan, Bu." Suamiku kembali berucap. "Diamlah, Rendra. Ibu lagi berusaha mendiamkannya," ujar Ibu seraya berdiri. Ibu mertuaku mengayun cucunya, berharap bayi itu akan diam dan tidur kembali. Sayangnya, tidak sama sekali. Malah semakin kencang menangis, membuatku khawatir membuat tetangga datang karena curiga ada suara bayi di sini. "Bu, bawa susunya, nggak?" tanyaku kemudian. "Ada di tas." Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu mengambil kunci mobil dan pergi ke luar. Aku mengambil perlengkapan bayi yang Ibu bawa dari rumahnya. Termasuk susu formula yang menjadi makanan