"Ada. Itu Mas Rendra." Aku menoleh ke belakang, melihat suamiku yang masuk seraya tersenyum. Mas Rendra langsung menyalami Papa dan Mama. Kami pun duduk di tempat yang berbeda. Seperti anak yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan ibunya, aku terus saja bermanja pada Mama, memeluk tubuh rampingnya meski di usia yang tak lagi muda. Malah lebih langsing Mama daripada aku. "Kalian baik-baik saja, 'kan?" Pertanyaan Mama layangkan seraya melirikku dan Mas Rendra bergantian. "Baik, Mah. Kami baik-baik saja. Kenapa memangnya?" Suamiku balik bertanya. "Enggak apa-apa. Tumben aja kalian ke sini malam-malam. Terus ini, kayak anak bayi. Dari tadi ngendusin mamanya mulu."Aku menekuk wajah, mengerucutkan bibir enggan bicara. Karena jika aku menatap Mama, pasti air mata yang sudah menggenang akan keluar dengan sendirinya. Dan aku tidak mau itu terjadi. "Oh, iya, Pah. Abang, mana? Bukannya dia sama istrinya nginap di sini?" Aku memejamkan mata, memikirkan apa yang harus aku katakan pada
"Mama?" ucapku setelah pintu dibuka. "Boleh, Mama masuk?"Aku mengangguk. Mama pun melewatiku yang masih berdiri di ambang pintu, lalu ia duduk di pinggir ranjang. Sepertiku, Mama pun memindai kamar ini seraya menarik napas dalam. Kemudian pandangannya terpaku padaku yang berdiri bersidekap dada. "Duduk sini." Mama menepuk ranjang di sampingnya. Aku menghampiri. Menempelkan bokong dengan perasaan yang tiba-tiba gugup. Aku takut jika Mama membaca isi hatiku dan tahu permasalahan rumah tanggaku. Malu. Aku akan merasa bodoh di hadapan keluarga, karena telah salah memilih suami. Ternyata setia yang pernah Mas Rendra janjikan, yang dia berikan malah sebaliknya. Pengkhianatan. "Jadi, tadi pagi Mama dan Papa diundang Ben makan bersama di rumah mereka. Dan ... kami dapat kabar baik," tutur Mama memulai percakapan. Keningku sedikit berkerut mendengar kabar yang belum aku tahu apa. Namun, aku ikut bahagia jika kabar baik yang akan Mama sampaikan. "Kabar baik apa, Mah?" tanyaku akhirnya
Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas, kemudian melihat apa yang tadi dikatakan pria itu. Benar saja, aku hanya memakai lipstik di bibir bagian atas, dan tidak dengan bagian bawah. "Kenapa aku bisa seceroboh ini?" kataku, lalu mengoleskan lipstik pada bibir bagian bawah. Untungnya benda kecil itu selalu ada di tas. Jadi, aku tidak lagi merasakan malu yang berkepanjangan. Beberapa saat di kafe, aku pun memutuskan untuk pulang. Namun, tiba-tiba rasa ingin berkunjung ke pabrik teh mendorongku pergi ke sana. Aku pun memesan taksi online dan pergi ke tempat suamiku bekerja saat ini. Sebagai anak pemilik ladang dan juga pabrik teh, aku cukup dikenal di sekitar Lembang Bandung ini. Sebelum menikah, aku pun bekerja di pabrik milik Papa, dan akhirnya memutuskan berhenti ketika sudah bersuamikan Mas Rendra. Mata ini memindai ke seluruh kendaraan yang terparkir di depan pabrik, mencari mobil yang tak lain adalah milikku. Tidak ada. Mobil yang biasa digunakan Mas Rendra tidak ada di
"Serius, Bu. Nanti saya lihat dari kejauhan saja."Setelah menimbang tawaran dari Dion, aku pun akhirnya memutuskan pergi bersama dia. Bodoh amat apa pun nantinya yang terjadi di sana, yang penting sekarang aku harus ke Jakarta dan memergoki Mas Rendra bersama wanita selingkuhannya itu. Setelah berada di dalam mobil, aku mengirimkan pesan pada Sabrina, memberitahukan dia jika aku sudah berangkat terlebih dahulu. Aku juga meminta dia untuk menyusul, dan pulang bersamaku. Tidak mungkin bukan, jika nanti aku akan kembali bersama Dion? Nanti yang ada Mas Rendra malah menuduhku yang tidak-tidak. "Siapa orang yang kamu suruh memata-matai rumah mertuaku?" Tanpa basa-basi dan permisi, aku langsung bertanya pada Dion yang tengah menyetir mobil. "Teman saya, yang kebetulan tinggal di sana," jawabnya. "Laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki, Bu. Dia teman SMA saya."Aku manggut-manggut. "Tolong tanyakan pada dia, sedang apa suami saya di sana. Apakah dia sedang tidur dengan wanita seling
"Apa-apaan ini, Mas? Siapa wanita itu?!" Aku menunjuk wanita hamil yang tengah meringis di atas ranjang. Sepertinya dia akan melahirkan. Wanita itu terlihat kesakitan seraya terus mengelus perut buncitnya. "Maaf, Bu. Jangan masuk ke sini. Ini ruang bersalin." Seorang wanita menarik tanganku dari arah belakang. Aku menepis kasar tangan wanita itu, lalu kembali menatap wajah Mas Rendra yang pucat pasi. Begitu juga dengan ibu mertua. Dia kebingungan antara bicara denganku, atau tetap bersama wanita hamil yang terus memegangi tangannya. "Jadi benar dugaannku selama ini, Mas. Kamu main gila dengan wanita itu hingga dia hamil?!" ujarku kembali berteriak. "Tsania, tolong jangan sekarang. Aku janji akan menceritakan semuanya padamu. Aku pasti mengatakan siapa dia dan hubungannya denganku. Tapi, tidak sekarang. Pulanglah dulu, Tsa. Kamu keluar dari sini." Mas Rendra mendorong tubuhku, memintaku meninggalkan dia bersama wanita itu. Namun, aku menolak. Aku menuntut penjelasan darinya saa
22"Kamu ingin tahu yang sebenarnya, bukan? Ayo, kita temui wanita yang kamu sangka selingkuhanku itu. Kamu tanyakan sendiri siapa dia, dan apa hubungannya denganku." Mas Rendra kembali berucap. Tangan yang dipegang Mas Rendra terasa kaku dan dingin. Sebenarnya aku tidak mau masuk, tapi rasa penasaran mendorongku untuk mengikuti langkah kaki Mas Rendra. Kuhirup udara dengan sangat banyak sebelum sampai di ruangan wanita tadi. Jantung semakin berdebar kencang saat pintu ruang bersalin sudah di depan mata. "Assalamualaikum," ucap suamiku yang langsung dijawab oleh ibu mertua. "Kok, Mas bawa dia? Bawa dia pergi dari sini, Mas! Aku nggak sudi melihat muka dia yang mirip dengan si brengsek itu!"Aku tercengang melihat reaksi wanita yang terbaring di atas ranjang, namun bibirnya berucap kasar. Iya, dia wanita yang diakui Mas Rendra sebagai adik, mengamuk tidak jelas saat aku masuk. "Dania, tenang. Kamu tenangkan dirimu, kamu baru saja melahirkan," ujar ibu mertua mencoba menenangkan.
"Tidak punya suami? Lalu lelaki yang menghamilinya?" tanyaku lagi. Mas Rendra mengusap wajahnya dengan kasar, lalu diam dengan tangan menyangga dagu. Tatapannya lurus ke arahku yang menunggunya bicara. Pandangan kami bertemu dan terus kutatap sepasang bola mata milik Mas Rendra. Sampai sejauh ini, aku masih belum menemukan jawaban yang pasti tentang wanita itu. Semuanya masih terlihat abu-abu, apalagi setelah mendengar pengakuan suamiku. Katanya dia adiknya, tapi kenapa disembunyikan? Dan, apa katanya tadi? Dania tidak punya suami? "Mas, siapa lelaki yang menghamili Dania? Apa dia diperkosa hingga hamil, atau pacaran yang terlalu berlebihan hingga melemahkan iman?" Aku kembali bertanya. "Sebaiknya kamu tidak harus tahu siapa laki-laki itu, Tsa. Yang terpenting, sekarang kamu tahu siapa Dania untukku.""Mana bisa seperti itu, Mas? Kamu menceritakan tentang dia, tapi tidak lengkap. Sama saja bohong, aku enggak akan percaya begitu saja tentang hubungan kalian. Kalau dia punya anak,
"Ini gak mungkin, Mas." Aku menyimpan kasar foto yang diperlihatkan Mas Rendra padaku. Pandangan aku lempar ke lain arah, menghindari gambar yang membuatku tidak percaya. Bagaimana mungkin itu benar Bang Ben dengan Dania? Dalam foto tersebut, Bang Ben duduk seraya memeluk Dania yang berada dalam pangkuannya. Menjijikkan. Aku bahkan malu melihat tubuh sintal Dania yang dibalut pakaian ketat nan mini. "Inilah kenapa aku tidak ingin mengatakan siapa pria itu, Tsa. Karena kamu akan kecewa. Kakak yang kamu banggakan, yang kamu anggap paling baik, nyatanya dia tidak sepolos itu. Dia bejad!""Cukup, Mas!" Aku menatap kedua mata Mas Rendra dengan tajam. "Jika benar Bang Ben ayah dari bayi yang Dania lahirkan, aku akan menyuruh dia membiayainya. Tapi, jangan harap dia akan menikahi Dania. Karena sekarang, Kak Anna pun sedang mengandung.""Kamu tidak kasian dengan Dania?" "Lalu aku harus mengorbankan kebahagiaan wanita lain untuk adikmu?" ujarku, menjawab pertanyaan Mas Rendra. Hening.