Aku dan Robi sudah siap untuk bersantap sarapan. Masih sama seperti kemarin, Ibu tetap saja menunjukkan sirat keriangan. Memang sangat aneh, padahal putra bungsunya baru saja meninggal dan ibu tak terlihat bersedih sama sekali.
Robi melirik kearahku. Sejak semalam pikiran kami masih saja terbayang tentang wallpaper ponsel yang ditemukannya di jok motor milik Bobi. "Ibu, gak kepasar?" Berusaha mencairkan suasana. "Kamu pengen ke pasar?" Tapi Ibu justru balik bertanya padaku. Aku yang ditanya begitupun, tersedak karena kaget. "Pengen beli apa emangnya?" "Hemmm... Si Robi katanya pengen dimasakin ikan kembung." Giliran Robi yang terkejut ditandai dengan batuk-batuk jarang tersebut. "Boleh juga tuh." Robi melotot padaku membuatku menahan tawa. Aku memang sengaja menjadikannya kambing hitam karena tak menyiapkan alasan terlebih dahulu. "Yaudah habis sarapan ibu ajak Nilna kepasar ya." Senyumnya mengembang. Mertuaku masih cantik, tapi entah kenapa aku justru menaruh banyak kecurigaan padanya kali ini. Benar saja, setelah memberekan sisa sarapan. Ibu langsung mengajakku untuk pergi kepasar. Aku yang terlanjur mengambil kunci sepeda motor justru ditahan. "Kita pakai mobil saja ya Nil. Ada sampah yang mau ibu buang." Ibu menenteng kresek hitam besar. Aku berusaha mengintip bagian celah atasnya tapi rupanya, ibu sudah menutupnya dengan lembaran koran sehingga aku tak bisa menebak isi dalam kantong tersebut. Akupun segera beranjak untuk duduk di kursi pengemudi. Padahal ibu bisa mengendarainya sendiri tapi entah kenapa malah memintaku untuk menyetirnya. "Mau dibuang kemana bu?" Padahal aku sangat penasaran kenapa kantong tersebut terlihat enteng sekali di bawa oleh ibu yang postur tubuhnya cukup ramping. "Dipembuangan sampah depan gang?" Ibu lantas menggeleng dengan cepat. "Jangan Nil, nanti sebelum belok ke pasar ada tempat pembuangan lagi." "Tapi emangnya boleh bu buang disana. Kan bukan warga sana." "Tenang aja, ibu udah kenal sama petugasnya." Ibu menoleh padaku dengan tersenyum. Sikap ibu saat ini membuatku semakin penasaran. Sampah apa rupanya yang harus dibuang jauh-jauh. Padahal di kompleks rumah ini pun sudah disediakan tersendiri. Dari pada mendebat ibu, aku memilih menurut saja seraya mengamati ibu dengan sesekali meliriknya sekilas. Ibu turun dari mobil, lalu tak lama setelahnya datang seorang pria dengan kaos hijau dan sepatu boots menghampirinya. Aku masih menyaksikan semuanya dari dalam mobil karena memang dilarang untuk ikut turun. Mereka berdua terlihat berbincang dengan serius. Dan akupun tak mau kehilangan momen ini dengan memotret sosok pria tersebut dengan kamera ponsel. Sekitar sepuluh menitan, ibu pun kembali untuk masuk kedalam mobil. Dan seperti biasa, dia akan tersenyum padaku sehingga akupun membalasnya. "Bahas apa sih bu, seru banget keliatannya?" Bertanya dengan sedikit menyindir. Bukannya menjawab, ibu malah tertawa dengan terbahak-bahak. Sialan sekali wanita ini. Dengan menahan kesal, akupun segera melajukan mobil agar segera tiba di pasar. "Nil, nanti kamu muter sendiri dulu cari ikan kembungnya ya. Disebelah gerbang belakang sana khusus untuk penjual ikan." "Ibu mau kemana?" Ibu membuka dompetnya lalu memberikanku dua lembar uang berwarna merah. "Lah bu, aku bawa uang sendiri." Kilahku saat ibu memaksaku untuk menerima saja pemberiannya. "Udah, kamu belanja terserah aja. Ibu mau ngurusi sisa pembayaran kue buat pengajian kemarin." Belum sempat reda kekesalanku karena ibu yang berlama-lama dengan petugas kebersihan. Sekarang ibu justru menambahinya dengan menyuruhku berbelanja sendiri. Sebenarnya bukan masalah, karena selama ini aku juga terbiasa berbelanja sendiri. Tapi sikap ibu yang membuatku kesal. Entah kenapa sejak kejadian memergoki ibu dikamar Bobi membuatku menaruh curiga tiada henti padanya. * Malam ini, hanya ada aku dan Robi dirumah. Sedang Ibu sudah pergi sejak sore. Sebenarnya bukan masalah besar dan suatu hal yang sangat biasa jika ibu pergi keluar dia malam hari. "Ibu aneh banget sih." Aku langsung saja mengajak bicara Robi selepas makan malam. Walaupun ibu pergi, tapi beliau sudah lebih dulu menyiapkan hidangan untuk kami berdua. Memang suatu keberuntungan ketika pulang kerumah ini. Karena ibu begitu pengertian dan menyambutku sangat baik sekalipun hanya seorang menantu. "Kayaknya yang dibuang ibu tadi pembalut si Bobi deh." Robi menoleh padaku yang baru saja selesai mencuci piring. "Kok kamu nebak begitu?" Walaupun belum yakin dengan tebakan Robi, tapu jika mengingat kantong tersebut yang terlihat ringan mungkin memang ada benarnya. "Sejak kalian pergi tadi, aku langsung mengecek kamar Bobi dan lacinya udah kosong." Mematikan kran wastafell dan langsung mendekat kearah Robi yang duduk dimeja makan dan dengan santainya memakan kacang kuaci. "Terus? Kamu cuma ngecek soal isi laci doang?" Robi menggeleng. "Aku nemuin beberapa aksesoris wanita. Tapi kenapa ya Bobi nyimpen barang begituan?" Kami berdua terdiam sejenak. "Apa Bobi sering ngajak nginep pacarnya ya? Dan ibu nyembunyiin itu dari kita." "Tapi masa' iya ibu diam aja kalau Bobi bawa wanita sampai masuk kamar?" Robi pun makin cepat mengupas setiap biji kuaci karena obrolan ini. "Tapi Ibu aneh gak sih Nil? Bobi baru aja meninggal tapi dia kayak gak ada sedih-sedihnya." Sebenarnya sudah dari tadi aku ingin mengatakan hal ini padanya tapi karena takut menyinggung perasaan Robi jadi aku mengurungkannya. Masih dalam diam karena menata jawaban yang pas untuknya. Tiba-tiba ponsel Robi menyala dan menunjukkan sebuah notifikasi pesan masuk. "Ibu gak pulang Nil. Katanya hujan lebat jadi nginep dirumah temannya." Aku mengerutkan kening mendengar Robi membaca pesan tersebut. "Ya Allah bu, anak baru saja meninggal udah kelayapan aja." gumam Robi kesal. "Mungkin emang ibu takut nyetir malam-malam kondisi ujan pula Rob." Berusaha menenangkannya. Padahal sama saja dengannya, akupun cukup kesal dengan sikap ibu seharian ini. Lantas aku mengajaknya untuk masuk kekamar saja. Tak lupa Robi segera mematikan semua lampu dilantai satu ini dan mengunci semua pintu. Baru saja akan masuk kekamar, Robi justru berhenti ketika melihat lampu kamar Bobi menyala dan pintunya terbuka. "Kamu nyalain lampu kamar Bobi?" Dia menoleh padaku dan dengan cepat aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Tapi ibu keluar sejak siang. Lalu siapa yang menyalakannya?" Bulu kudukku meremang. Benar yang dikatakan oleh Robi. Biasanya memang ibu yang akan menyalakan lampu dan membuka kamarnya sekedar untuk menengok ataupun membersihkannya. Kami berdua saling pandang, dan kemudian dia menarik lenganku untuk berjalan mengikutinya menuju kamar tersebut. "Rob, kenapa gak kamu aja yang mengeceknya sendiri?" Robi kembali menoleh padaku dengan ekpsresi kesal. Tapi bukannya membiarkan aku masuk kamar dia justru semakin mengeratkan tangannya pada tanganku. Pintu kamar itu sudah terbuka walaupum sedikit. Lalu tangan kanan Robi segera mendorongnya agar terbuka lebih lebar. "Aaaaaaaaa....." (Siapa yang berteriak?)"Amar?" Kami bedua menyebutkan nama tersebut bersamaan. Bagaimana tidak terkejut, jika kamar yang sebelumnya kosong tiba-tiba terlihat sosok di atas ranjang. "Biasa aja kenapa sih kak?" Sosok remaja berusia belasan tahun tersebut telihat santai saja di atas ranjang kamar Bobi tengah memainkan ponsel. "Memangnya kapan kamu datang?" Aku bertanya seraya mendekat untuk duduk ditepian ranjangnya. "Tadi sore. Tapi kalian berdua kayaknya lagi tidur. Kamar dikunci rapat tapi pintu depan dibiarin terbuka." Aku melirik ke arah Robi yang salah tingkah dan menahan senyumnya. Yah, namanya juga mengisi waktu senggang. "Kan bisa ngirim Wa, ngabarin kalau kesini." Robi kini duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang. Matanya mulai melirik kebagian meja yang memang tertata begitu rapi sebagian barang milik Bobi. "Bude minta aku nginep sini selama liburan sekolah, tapi..." Dia bangkit, dan melihat keseliling kamar. "Apa?""Sebenarnya Bude melarangku masuk kamar Kak Bobi, tapi kamar bagian ba
Kami bertiga duduk dan saling diam di ruang tengah. Bahkan televisi yang menyalapun hanya kami diamkan tanpa berniat untuk menontonnya. Sudah jam delapan malam. Ibu juga belum ada kabar apakah akan pulang atau kembali menginap dirumah temannya tersebut. "Rob, coba dong kamu telepon ibu. Ini udah malam lho!" Mungkin perintahku ini sudah terucap lebih dari lima kali. Bahkan raut Robi sekarang terlihat semakin kesal. "Kamu kira dari tadi aku ngapain liatin ponsel sih?" gerutunya dengan suara pelan tapi masih tetap kudengar. Amar yang berada ditengah kamipun juga nampak diam saja tanpa berkata sepatah katapun. Berkali-kali mengamatinya yang terlihat sibuk dengan angannya sendiri. Apa yang dilihatnya semalam di kamar Bobi sangat wajar jika membuatnya langsung kaget sampai mengalami demam. "Aku tidur kamar bawah ajalah kak." Robi menepuk pundak Amar lalu mengangguk setuju. "Jangan dimatikan semua lampunya ya!" pintanya dan kembali dijawab Robi dengan anggukan. "Kamu masuk kamar aja du
Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga. Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana. Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya. "Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan. "Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil mi
"Ibu mau kemana lagi sih?" Kali ini aku mendekati ibu yang berjalan keluar dengan menyeret sebuah koper besar. "Ibu bermalam lagi di rumah teman Nil. Jangan lupa nanti kirimi Robi makan siang lho." Lalu tak lama kemudian, Pak Parman yang merupakan salah seorang tetangga kamipun datang dan gegas memasukkan semua barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tak terkecuali koper besar yang ku lihat tadi. "Tapi buat apa bawa barang sebanyak ini kalau cuma sehari?" Aku masih penasaran. Ibu lantas membalikkan badan untuk berhadapan denganku. Lalu ibu mencubit pucuk hidungku dengan gemas. "Tumben sih mantu ibu ini kepo banget. Nanti ibu kasih voucher ke klinik kecantikan mau gak?" Jelas saja ku kembangkan senyum padanya. Lagian siapa yang akan menolak tawaran tersebut. Mertuaku ini memang sangat royal bahkan sebelum aku meminta padanya. "Tapi ibu pulang besok lho ya. Jangan nunda-nunda kayak kemarin. Kasihan Robi yang khawatir." Ibu mengangguk dan kemudian segera masuk ke dalam mobil. Pak
"Tapi kata Amar, semalam ibu beresin kamar Bobi. Aku curiga kalau yang dibawa ibu itu barang-barang milik Bobi." "Kita periksa aja sekarang." Dia menarik tanganku dengan langkah cepat menuju kamar mendiang adiknya. Gelap, memang beberapa hari ini aku dilarang ibu untuk membersihkannya sehingga lampupun juga takku nyalakan. Benar saja, kamar ini sudah dalam kondisi berantakan. Sangat berbeda sekali dengan terakhir kali aku melihatnya saat Amar memberi tahu tentang apa yang ditemukannya malam itu. Aku bergegas melihat isi lemari yang ternyata juga sudah kosong. Jadi benar yang dikatakan oleh Amar, bahwa semalam ibu memang membereskan kamar ini sendirian dan semua barang yang dibawanya pergi tadi adalah milik Bobi. "Apa mungkin mau dikasihkan ke orang ya?" Aku berusaha berpikir positif. Tapi Robi menggeleng dengan pelan. "Bahkan laci berisi barang aneh itu juga sudah tidak ada Nil. Artinya ibu sudah tau."
"Nil, Rob... Makasih ya sudah jagain Amar." Om Pras duduk di sofa seraya meletakkan cangkir berisi kopi hitam. "Mbak Salma kapan pulang?" Robi menggeleng seperti malas untuk membalasnya. "Tahu tuh Om, anaknya baru aja meninggal tapi ditinggal kelayapan terus." gerutu Robi dengan suara lirih tapi masih bisa ku dengar. "Tapi kalian jadikan pindah ke sini? Kasihan lho sama ibumu kalau tinggal sendirian." "Iya, aku langsung ngajuin surat resign tinggal ngurus barang-barang yang ada di rumah sana." Memang aku dan Robi belum sempat mengurus semua barang di rumah perantauan karena kabar meninggalnya Bobi sangat mendadak. Tante Wanda yang makan di sebelahku itu menyenggol lenganku dan mendekatkan kepalanya. "Ibumu punya pacar baru ya?" Pertanyaannya membuatku tersedak. Sungguh adik ibu mertuaku ini memang cukup ceplas-ceplos dalam berbicara. Aku menggeleng saja karena memang masih mengunyah makanan yang baru saja kulahap. "Udah tua juga bany
"Kalau saat ini aku justru berharapnya Ibu jangan pulang dulu." Dia menoleh padaku dan mengedipkan sebelah matanya. "Jangan sampai Ibu tahu kalau aku pasang CCTV di kamar Bobi." Bisiknya di telingaku. Benar saja, satu orang baru keluar dari kamar Bobi dan mengulas senyum seolah memberi pertanda bahwa semuanya sudah beres. Melihat Robi dan mereka mengobrol seperti tengah menjelaskan sesuatu. Robi pun terlihat antusias dan sesekali mengangguk. Tak lama kemudian, mereka semua pamit untuk pulang. Kebetulan sekali karena memang sudah hampir larut malam. "Tapi kenapa aku familiar sama Ricard ya?" Kali ini kami masih duduk di teras rumah. Suasana malam minggu yang cukup ramai dengan anak-anak tetangga bermain dan berlarian. "Aku justru baru ingat setelah lihat foto profil dia." Robi melihat ulang tangkapan layar foto yang diberikan oleh Amar. "Kayaknya kamu harus tegas sama Ibu deh Rob." Apakah ideku ini termasuk provokatif?
"Bu, ini semua belanjaan kan masih banyak di kulkas." Aku protes saat membacanya. Tapi Ibu hanya tersenyum. "Udah gak papa Nil, kan bisa buat stok juga." Aku mengerucutkan bibir karena tak sependapat dengan Ibu. "Tapi Nil, Ibu kan gak bisa nemenin Robi. Sekali-kali kamu ajalah yang nemenin dia." Robi langsung tersedak saat Ibu berkata demikian. "Tumben Ibu nyuruh Nipna ikut?" Selama ini, Ibu memang diam saja. Tak menyuruhku ikut atau melarangku ikut. "Ya... Itu, biar kamu tau situasi Ruko. Kamu ikut aja sana. Di ruko belakang pasar masih ada kok penjual daging saat sore." "Iya, Nilna biar ikut aku aja Bu." Tampak sekali Ibu tersenyum dan mengangguk. Gegas aku menoleh pada Robi yang memberiku isyarat untuk mengikui kemauan Ibu saja. Kami berdua pun segera pergi mengendarai motor. Robi yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos itu terlihat berkali-kali mengintip dari kaca spion untuk melihat kondisi rumah saat kami tinggal
"Memangnya dulu ketemu di mana?" Senyumku mengembang, sepertinya saat ini akan menjadi hari nostalgia tentang kenanganku bersama Robi. "Saya sama Robi itu satu kelas waktu kuliah Pak, makanya kenapa risih dan malu kalau harus memanggil dia dengan sebutan Mas begitu sebaliknya,karena dari dulu kita biasa ejek-ejekan dan bertengkar." Aku tertawa sendiri mengingat bagaimana dulu sangat kesal jika Robi sudah mulai mengangguku saat di kelas. "Robi itu iseng banget pak. Saya sampe kesel banget sama Robi, tapi kok mau ya dinikahin?" Pak Parman justru tertawa makin keras. Aku menengok kearah jam yang melingkar ditanganku. Sudah mendekati waktu makan siang. Setelah menyelesaikan pembayaran 2 mangkok bakso Khusus untuk pak Parman dan juga 2 gelas es teh yang langsung ditengguk habis olehnya Kemudian aku pun berpamitan untuk mengantar makan siang ke ruko. Baru saja akan membuka gerbang, seorang pria yang turun dari mobil berwana merah menyala menghampir
Aku melirik dulu kearah pak Parman yang masih sibuk memindahkan barang-barang yang ku keluarkan tadi ke dalam api. Lalu dengan gerakan cepat mengambil flashdisk tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong. "Mbak, kenapa barang-barang bagus kok dibakar?" Aku masih terdiam karena bingung untuk menjawabnya. "Ini barang riject-an pak." Lalu pak Parman menoleh padaku, dan akupun hanya meringis kearahnya. "Pokoknya gitu deh. Pak Parman gak usah mikirin ini. Yang penting nanti saya traktir bakso di perempatan sana." Nampak senyumnya mengembang. Cukup lama berjibaku dengan panasnya api yang berkobar. Bahkan aku menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana semua barang milik Bobi berproses menjadi abu. Sesuai janjiku, akupun mengajak pak Parman untuk makan bakso di sebuah warung yang hanya terdiri dari tenda dan gerobak biasa. "Mbak Nilna jadi pindah ke sini kan?" Aku mengangguk, mengamati pak Parman yang lahap memakan baksonya. "Kasia
"Kamu karyawannya Ricard?" Dia mengangguk dengan ragu. Mulutku membulat untuk menunjukkan keterkejutanku. "Terus sekarang?" "Kebetulan hari ini aku bagian libur." "Bentar Cin, kamu udah lama kerja di sana?" Dia terlihat menatap ke atas, mungkin tengah mengingat sesuatu. "Baru beberapa bulan mbak, itupun dibantu sama mas Bobi." Dengan gerakan refleks langsung menggerbak meja membuatnya kaget. "Eh, maaf." Aku tertawa menyadari kebodohanku yang membuatnya terkejut. Tak menyangka bahwa hubungan mereka sangat istimewa, sampai Bobi bisa menjadi koneksi Cindy untuk bekerja disana. "Kamu ada kuliah gak?" Cindy mengangguk lagi. "Nanti sore." Kini giliranku yang mengangguk. Sebenarnya aku ingin langsung menanyainya banyak hal tapi rasanya terlalu gegabah kalau menginterogasi Cindy saat ini. "Mbak...." Dia memanggilku dengan ragu, lalu menoleh kesegala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sini. "Kenapa? Katakan saj
Kali ini aku menemani Robi yang masih memaku di meja makan. Bahkan dia tidak menghabiskan makanan yang aku sediakan di piring seperti biasanya."Rob, mikirin apa lagi?" Aku mencoba bertanya dengan menyikut lengannya secara perlahan, lantas menoleh padaku. Dia hanya mengembangkan senyum sebentar lalu kembali untuk makan makanan yang telah kusiapkan dan dia diamkan saja sejak tadi. "Kalau memang tak nafsu makan, jangan dipaksa. Mungkin masakanku kali ini kurang enak." Aku mencoba bercanda, bukannya menjawab Robi justru kembali tersenyum dan seolah meyakinkan bahwa apapun yang aku masak pasti sangat enak untuk lidahnya.Dan benar saja setelah aku berkata demikian Robi pun menghabiskan tanpa sisa. Aku pun lantas membawa piring kotor Robi ke wastafel dan langsung mencucinya."Mau minum teh anget apa es jeruk?" tanyaku lagi berharap Robi mulai mencairkan suasana karena sejak tadi dia hanya diam saja. "Rob... Aku bertanya padamu, kamu pengen a
Dengan gerakan refleks, kututup mulutku yang membuka lebar. "Jangan katakan kalau ibu menyembunyikan penyimpangan yang Bobi perbuat?" Robi lantas menarik lengan ibu untuk duduk di kursi yang terletak di kamar ini. Kepalanya terus menunduk seolah takut untuk menatap kami berdua. Robi lalu duduk di ranjang yang lebih dekat dengan tempat ibu kini. "Sejak kapan, bu?" Bukannya menjawab, ibu justru menangis tersedu-sedu. Kedua telapak tangannya digunakan untuk menutup wajahnya. "Tega sekali ibu mendukung kebiadapan Bobi!" Robi menekankan suaranya. "Ibu tak pernah mendukungnya, Rob. Tapi apa yang bisa ibu perbuat?" Robi masih terpaku untuk menatap pada ibunya. Sedangkan aku kini berpindah tempat untuk mendekat pada ibu. "Sudah berapa lama, bu?" "Ibu baru mengetahuinya setahun terakhir, Nil. Jangan berfikir bahwa ibu tak berusaha mengobatinya. Ibu sudah membawanya ke psikolog dan psikiater tapi nyatanya sejak dia praktikum justru s
Mata Richard membulat seraya menatapku dengan tajam. Ya barusan itu adalah pertanyaan yang kulontarkan padanya. "Kami janji akan membantu menyembunyikan fakta ini. Tapi jelaskan dulu bagaimana bisa kalian menjalin hubungan yang menjijikkan tersebut?" Sekalipun Aku berbicara dengan nada menekan, tapi tetap saja tanganku masih menggenggam erat tangan Robi agar dia bisa meredakan amarahnya saat ini. "Ya, lalu apa lagi yang harus aku tutupi kalau nyatanya kalian sudah tau?" Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Bahkan sikap tenangnya yang seolah tanpa beban tersebut membuatku cukup muak. Robi terlihat tersenyum di ujung bibirnya. Mungkin ini salah satu cara untuk menutupi apa yang tengah dirasakannya. "Anda yang menyeret Bobi masuk kelingkaran ini?" Ricard menggeleng, dia tersenyum semakin lebar. "Aku harus jujur. Sejak kuliah di luar negeri kebiasaan yang kalian anggap menjijikkan ini bukanlah hal yang aneh. Tapi kalian harus tau, kami
"Nil, kamu sudah bilang ke Ricard kalau kita udah jalan kan?" Aku mengangguk, memang setelah pertemuan dengan Reza dan Doni tadi pagi, Robi segera mengajak Ricard bertemu. "Kamu yakin Rob? " Dia mengangguk dengan pandangan yang tetap fokus menatap depan. "Gak pengen ngasih tahu ibu dulu?" "Justru sepertinya ibu sudah lebih dulu tau soal ini dan menyembunyikannya dari kita." Kentara sekali bahwa Robi tengah menahan emosi. Akupun mewajari sikapnya kali ini, walaupun saat biasanya dia terlihat cuek dan acuh tapi tetap saja Robi sangat perhatian dengan adiknya. "Nih Ricard ngasih tau kalau dia udah disana." Aku lalu menunjukkan sekilas pesan pria maskulin tersebut. Gegas melajukan mobil dengan lebih cepat. Tujuannya agar kita tak pulang kemalaman. Karena ibu menunggu dirumah sendirian. Seharian ini, kami pergi tak memberi tahu alasan pastinya pada ibu. Robi berbohong bahwa malan ini kami akan pergi menonton dan ibu pun tak mempermasalahk
"Oh, ini abang dan kakak iparku. Kenapa?" jawab Reza dengan nada meninggi dan mata menatap tajam. Reza memberi interuksi tanpa suara agar kami berdua segera berjalan terlebih dahulu. Sesekali aku menengok ke belakang sampai memastikan bahwa dia benar-benar tak dalam masalah. "Kalau dia nutupi status kita, berarti emang ada masalah sama si Bobi." Robi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Aku sengaja memperlambat langkah hingga Reza benar menyusul di belakang. Kafe ini tak terlalu ramai. Padahal suasana dan interiornya cukup photoable untuk kalangan mahasiswa. Tapi setelah melihat daftar menunya aku mulai paham kenapa sangat sepi. "Mbak udah lihat isi kreseknya, kan?" Aku mengangguk, lalu Robi pun ikut mengangguk. "Saya boleh cerita kejadian kurang menyenangkan gak?""Ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutupi." Robi menekankan perkataannya. Sehingga Reza pun terlihat bersiap untuk memulai bercerita. "Setelah sa
Sigit Prawiro, dalam kartu nama tersebut sangat jelas bahwa profesi yang tercantum adalah seorang lawyer. "Makin aneh aja deh si ibu." Robi mengeluhkan sikap ibunya sendiri. "Apa kita ketemu sama Ricard dulu atau mencari informasi tentang apa yang ibu lakuin akhir-akhir ini?"Aku mengerutkan kening untuk memberi saran yang cocok untuk itu. Tapi tetap saja aku belum bisa menentukan aoa yang seharusnya kita lakukan setelah ini. "Enaknya gimana ya Rob? Apa kita selesaikan sendiri atau kita minta bantuan keluarga?" "Siapa? Om Pras dan tante Wanda?" Aku mengangguk pelan. Takut jika apa yang kuutarakan ini tak disetujuinya. "Masalahnya kan kita belum tau pasti tentang Bobi sebelum dia meninggal." Lalu aku pun mengingat sesuatu dan segera berbisik padanya. *Pagi ini Robi sudah lebih dulu meminta ibu untuk menjaga ruko sendirian dengan alasan akan pergi denganku. "Sekali-kali kencanlah buk. Ma