Aku dan Robi sudah siap untuk bersantap sarapan. Masih sama seperti kemarin, Ibu tetap saja menunjukkan sirat keriangan. Memang sangat aneh, padahal putra bungsunya baru saja meninggal dan ibu tak terlihat bersedih sama sekali.
Robi melirik kearahku. Sejak semalam pikiran kami masih saja terbayang tentang wallpaper ponsel yang ditemukannya di jok motor milik Bobi. "Ibu, gak kepasar?" Berusaha mencairkan suasana. "Kamu pengen ke pasar?" Tapi Ibu justru balik bertanya padaku. Aku yang ditanya begitupun, tersedak karena kaget. "Pengen beli apa emangnya?" "Hemmm... Si Robi katanya pengen dimasakin ikan kembung." Giliran Robi yang terkejut ditandai dengan batuk-batuk jarang tersebut. "Boleh juga tuh." Robi melotot padaku membuatku menahan tawa. Aku memang sengaja menjadikannya kambing hitam karena tak menyiapkan alasan terlebih dahulu. "Yaudah habis sarapan ibu ajak Nilna kepasar ya." Senyumnya mengembang. Mertuaku masih cantik, tapi entah kenapa aku justru menaruh banyak kecurigaan padanya kali ini. Benar saja, setelah memberekan sisa sarapan. Ibu langsung mengajakku untuk pergi kepasar. Aku yang terlanjur mengambil kunci sepeda motor justru ditahan. "Kita pakai mobil saja ya Nil. Ada sampah yang mau ibu buang." Ibu menenteng kresek hitam besar. Aku berusaha mengintip bagian celah atasnya tapi rupanya, ibu sudah menutupnya dengan lembaran koran sehingga aku tak bisa menebak isi dalam kantong tersebut. Akupun segera beranjak untuk duduk di kursi pengemudi. Padahal ibu bisa mengendarainya sendiri tapi entah kenapa malah memintaku untuk menyetirnya. "Mau dibuang kemana bu?" Padahal aku sangat penasaran kenapa kantong tersebut terlihat enteng sekali di bawa oleh ibu yang postur tubuhnya cukup ramping. "Dipembuangan sampah depan gang?" Ibu lantas menggeleng dengan cepat. "Jangan Nil, nanti sebelum belok ke pasar ada tempat pembuangan lagi." "Tapi emangnya boleh bu buang disana. Kan bukan warga sana." "Tenang aja, ibu udah kenal sama petugasnya." Ibu menoleh padaku dengan tersenyum. Sikap ibu saat ini membuatku semakin penasaran. Sampah apa rupanya yang harus dibuang jauh-jauh. Padahal di kompleks rumah ini pun sudah disediakan tersendiri. Dari pada mendebat ibu, aku memilih menurut saja seraya mengamati ibu dengan sesekali meliriknya sekilas. Ibu turun dari mobil, lalu tak lama setelahnya datang seorang pria dengan kaos hijau dan sepatu boots menghampirinya. Aku masih menyaksikan semuanya dari dalam mobil karena memang dilarang untuk ikut turun. Mereka berdua terlihat berbincang dengan serius. Dan akupun tak mau kehilangan momen ini dengan memotret sosok pria tersebut dengan kamera ponsel. Sekitar sepuluh menitan, ibu pun kembali untuk masuk kedalam mobil. Dan seperti biasa, dia akan tersenyum padaku sehingga akupun membalasnya. "Bahas apa sih bu, seru banget keliatannya?" Bertanya dengan sedikit menyindir. Bukannya menjawab, ibu malah tertawa dengan terbahak-bahak. Sialan sekali wanita ini. Dengan menahan kesal, akupun segera melajukan mobil agar segera tiba di pasar. "Nil, nanti kamu muter sendiri dulu cari ikan kembungnya ya. Disebelah gerbang belakang sana khusus untuk penjual ikan." "Ibu mau kemana?" Ibu membuka dompetnya lalu memberikanku dua lembar uang berwarna merah. "Lah bu, aku bawa uang sendiri." Kilahku saat ibu memaksaku untuk menerima saja pemberiannya. "Udah, kamu belanja terserah aja. Ibu mau ngurusi sisa pembayaran kue buat pengajian kemarin." Belum sempat reda kekesalanku karena ibu yang berlama-lama dengan petugas kebersihan. Sekarang ibu justru menambahinya dengan menyuruhku berbelanja sendiri. Sebenarnya bukan masalah, karena selama ini aku juga terbiasa berbelanja sendiri. Tapi sikap ibu yang membuatku kesal. Entah kenapa sejak kejadian memergoki ibu dikamar Bobi membuatku menaruh curiga tiada henti padanya. * Malam ini, hanya ada aku dan Robi dirumah. Sedang Ibu sudah pergi sejak sore. Sebenarnya bukan masalah besar dan suatu hal yang sangat biasa jika ibu pergi keluar dia malam hari. "Ibu aneh banget sih." Aku langsung saja mengajak bicara Robi selepas makan malam. Walaupun ibu pergi, tapi beliau sudah lebih dulu menyiapkan hidangan untuk kami berdua. Memang suatu keberuntungan ketika pulang kerumah ini. Karena ibu begitu pengertian dan menyambutku sangat baik sekalipun hanya seorang menantu. "Kayaknya yang dibuang ibu tadi pembalut si Bobi deh." Robi menoleh padaku yang baru saja selesai mencuci piring. "Kok kamu nebak begitu?" Walaupun belum yakin dengan tebakan Robi, tapu jika mengingat kantong tersebut yang terlihat ringan mungkin memang ada benarnya. "Sejak kalian pergi tadi, aku langsung mengecek kamar Bobi dan lacinya udah kosong." Mematikan kran wastafell dan langsung mendekat kearah Robi yang duduk dimeja makan dan dengan santainya memakan kacang kuaci. "Terus? Kamu cuma ngecek soal isi laci doang?" Robi menggeleng. "Aku nemuin beberapa aksesoris wanita. Tapi kenapa ya Bobi nyimpen barang begituan?" Kami berdua terdiam sejenak. "Apa Bobi sering ngajak nginep pacarnya ya? Dan ibu nyembunyiin itu dari kita." "Tapi masa' iya ibu diam aja kalau Bobi bawa wanita sampai masuk kamar?" Robi pun makin cepat mengupas setiap biji kuaci karena obrolan ini. "Tapi Ibu aneh gak sih Nil? Bobi baru aja meninggal tapi dia kayak gak ada sedih-sedihnya." Sebenarnya sudah dari tadi aku ingin mengatakan hal ini padanya tapi karena takut menyinggung perasaan Robi jadi aku mengurungkannya. Masih dalam diam karena menata jawaban yang pas untuknya. Tiba-tiba ponsel Robi menyala dan menunjukkan sebuah notifikasi pesan masuk. "Ibu gak pulang Nil. Katanya hujan lebat jadi nginep dirumah temannya." Aku mengerutkan kening mendengar Robi membaca pesan tersebut. "Ya Allah bu, anak baru saja meninggal udah kelayapan aja." gumam Robi kesal. "Mungkin emang ibu takut nyetir malam-malam kondisi ujan pula Rob." Berusaha menenangkannya. Padahal sama saja dengannya, akupun cukup kesal dengan sikap ibu seharian ini. Lantas aku mengajaknya untuk masuk kekamar saja. Tak lupa Robi segera mematikan semua lampu dilantai satu ini dan mengunci semua pintu. Baru saja akan masuk kekamar, Robi justru berhenti ketika melihat lampu kamar Bobi menyala dan pintunya terbuka. "Kamu nyalain lampu kamar Bobi?" Dia menoleh padaku dan dengan cepat aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Tapi ibu keluar sejak siang. Lalu siapa yang menyalakannya?" Bulu kudukku meremang. Benar yang dikatakan oleh Robi. Biasanya memang ibu yang akan menyalakan lampu dan membuka kamarnya sekedar untuk menengok ataupun membersihkannya. Kami berdua saling pandang, dan kemudian dia menarik lenganku untuk berjalan mengikutinya menuju kamar tersebut. "Rob, kenapa gak kamu aja yang mengeceknya sendiri?" Robi kembali menoleh padaku dengan ekpsresi kesal. Tapi bukannya membiarkan aku masuk kamar dia justru semakin mengeratkan tangannya pada tanganku. Pintu kamar itu sudah terbuka walaupum sedikit. Lalu tangan kanan Robi segera mendorongnya agar terbuka lebih lebar. "Aaaaaaaaa....." (Siapa yang berteriak?)"Amar?" Kami bedua menyebutkan nama tersebut bersamaan. Bagaimana tidak terkejut, jika kamar yang sebelumnya kosong tiba-tiba terlihat sosok di atas ranjang. "Biasa aja kenapa sih kak?" Sosok remaja berusia belasan tahun tersebut telihat santai saja di atas ranjang kamar Bobi tengah memainkan ponsel. "Memangnya kapan kamu datang?" Aku bertanya seraya mendekat untuk duduk ditepian ranjangnya. "Tadi sore. Tapi kalian berdua kayaknya lagi tidur. Kamar dikunci rapat tapi pintu depan dibiarin terbuka." Aku melirik ke arah Robi yang salah tingkah dan menahan senyumnya. Yah, namanya juga mengisi waktu senggang. "Kan bisa ngirim Wa, ngabarin kalau kesini." Robi kini duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang. Matanya mulai melirik kebagian meja yang memang tertata begitu rapi sebagian barang milik Bobi. "Bude minta aku nginep sini selama liburan sekolah, tapi..." Dia bangkit, dan melihat keseliling kamar. "Apa?""Sebenarnya Bude melarangku masuk kamar Kak Bobi, tapi kamar bagian ba
Kami bertiga duduk dan saling diam di ruang tengah. Bahkan televisi yang menyalapun hanya kami diamkan tanpa berniat untuk menontonnya. Sudah jam delapan malam. Ibu juga belum ada kabar apakah akan pulang atau kembali menginap dirumah temannya tersebut. "Rob, coba dong kamu telepon ibu. Ini udah malam lho!" Mungkin perintahku ini sudah terucap lebih dari lima kali. Bahkan raut Robi sekarang terlihat semakin kesal. "Kamu kira dari tadi aku ngapain liatin ponsel sih?" gerutunya dengan suara pelan tapi masih tetap kudengar. Amar yang berada ditengah kamipun juga nampak diam saja tanpa berkata sepatah katapun. Berkali-kali mengamatinya yang terlihat sibuk dengan angannya sendiri. Apa yang dilihatnya semalam di kamar Bobi sangat wajar jika membuatnya langsung kaget sampai mengalami demam. "Aku tidur kamar bawah ajalah kak." Robi menepuk pundak Amar lalu mengangguk setuju. "Jangan dimatikan semua lampunya ya!" pintanya dan kembali dijawab Robi dengan anggukan. "Kamu masuk kamar aja du
Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga. Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana. Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya. "Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan. "Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil mi
"Ibu mau kemana lagi sih?" Kali ini aku mendekati ibu yang berjalan keluar dengan menyeret sebuah koper besar. "Ibu bermalam lagi di rumah teman Nil. Jangan lupa nanti kirimi Robi makan siang lho." Lalu tak lama kemudian, Pak Parman yang merupakan salah seorang tetangga kamipun datang dan gegas memasukkan semua barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tak terkecuali koper besar yang ku lihat tadi. "Tapi buat apa bawa barang sebanyak ini kalau cuma sehari?" Aku masih penasaran. Ibu lantas membalikkan badan untuk berhadapan denganku. Lalu ibu mencubit pucuk hidungku dengan gemas. "Tumben sih mantu ibu ini kepo banget. Nanti ibu kasih voucher ke klinik kecantikan mau gak?" Jelas saja ku kembangkan senyum padanya. Lagian siapa yang akan menolak tawaran tersebut. Mertuaku ini memang sangat royal bahkan sebelum aku meminta padanya. "Tapi ibu pulang besok lho ya. Jangan nunda-nunda kayak kemarin. Kasihan Robi yang khawatir." Ibu mengangguk dan kemudian segera masuk ke dalam mobil. Pak
"Buat apa Bobi menyimpan pembalut berbagai merk ini?" Aku meraih satu bungkus yang sudah terbuka. Memperhatikan isinya, kalau dihitung sepertinya baru digunakan dua biji. Selanjutnya, aku mengecek lagi bungkus pembalut lainnya. Kebanyakan memang sudah terpakai tapi hanya sebiji dua biji saja. Bobi, adik dari suamiku meninggal seminggu lalu. Itulah mengapa ibu meminta kami berdua pulang. Dan kini aku berinisiatif untuk membersihkan kamar Bobi. Terlihat masih banyak sekali barang milik Bobi yang belum dibereskan karena keadaan keluarga yang masih berduka. "Apaan Nil?" Tanya Robi yang baru saja pulang dari masjid. "Liat deh Rob, Adikmu menyimpan banyak sekali pembalut disini." Kembali ku buka laci yang tersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Robi memicingkan matanya. Lalu mengecek kedalam dan memperhatikan semuanya. "Kok aneh ya?" "Apa dia sering bawa pulang pacarnya ya?" "Emang Bobi punya pacar?" Kami berdua terdiam sejenak. Benar juga yang dibilang Robi, selama ini kami tak per