Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga.
Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana. Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya. "Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan. "Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil milik ibu, satu-satunya kendaraan yang berada dirumah sekarang. Seharusnya aku bertanya dulu, kenapa dengannya sampai memintaku untuk mnjemputnya sekarang. Hanya mengandalkan peta digital yang sudah ku cari saat mulai keluar rumah tadi. Kalau dilihat jaraknya cukup lumayan juga. Setelah lima belas menit melajukan mobil mengikuti arahan dari peta digital tersebut, dan benar saja aku sudah sampai ke minimarket yang dikatakan oleh Amar tadi. Di depan sana nampak sekali orang-orang berkerumun. Sepertinya kerumunan tersebut tertuju pada tempat duduk yang memang biasa disediakan oleh semua minimarket ini. "Kak Nil." Suara Amar terdengar semakin parau. Dia duduk dikursi berwarna merah kecoklatan dan di sebelahnya terlihat sosok tinggi semampai dengan dandanan klimis yang menatap tajam padaku. "Ya Allah Amar kenapa?" Aku mendekat dan langsung merengkuh remaja tersebut. Matanya nampak memerah menahan tangis. "Ini kenapa kakinya? Kamu jatuh dari motor?" Dia mengangguk pelan. "Ini mbak pelakunya. Langsung dihentikan oleh warga. Mau di bawa kekantor polisi tapi adiknya minta nunggu keluarganya dulu." Seorang bapak dengan rompi berwarna hijau itu mendekat dan menujuk lelaki yang duduk disebelah Amar. Aku mengamati pria tersebut. Pandangannya sangat sinis kearahku bahkan rautnya juga menunjukkan kekesalan. Tapi bukan itu yang tengah kupikirakan, wajah ini cukup familiar dan sepertinya pernah ku lihat sebelumnya. "Masnya gimana sih, ini anak kecil naik motor kenapa malah ditabrak?" Lalu bapak tadi menarik bajuku dan menunjuk pada mobil sport warna merah yang terpakir tak jauh dari motor Bobi. "Lagian mbaknya kenapa izinin anak kecil mengendarai motor? Emangnya dia udah punya SIM?" Wah, dia menyerangku dengan pertanyaan konyol yang jelas masih kupikirkan jawabannya. "Emang kalau udah punya SIM terjamin kamu gak nabrak dia? Gak usah nyari celah deh mas. Sekali salah ya salah. Terus gimana nih adik saya kayak begini?" Pria tersebut terdiam. Menatap padaku dan sekarang seperti mengamati dari atas ke bawah. Mataku langsung menyipit untuk mengingat di mana pernah bertemu dengannya. Nyatanya tetap saja aku tak bisa mengingat. "Ya udah, saya antarin pulang aja. Kita bahas di rumah anda saja." Dia berucap dengan sangat kaku. Sedang orang disekitar pun hanya mengangguk pertanda setuju. Setelah memastikan bahwa Amar bisa mengendarai motor kearah pulang. Kami bertiga pun akhirnya segera pergi dari minimarket. Tak lupa mengabari Robi agar dia segera pulang karena tak mungkin menghadapi pria kaku ini sendirian. "Nil, kenapa gak nungguin aku, sih?" bisik Robi saat aku sampai duluan di rumah dan keluar dari mobil. Sedang ibu menghampiri Amar dan menuntunnya masuk. Aku menggerakkan kepala pada Robi seraya menyambut sosok pria kaku tersebut keluar dari mobil mewahnya. "Dia yang nabrak Amar. Noh urusin, agak sewotan sih." Robi menghela nafasnya berat. Lalu berjalan masuk ke dalam rumah dan aku mengekor di belakang. Telunjukku bergerak memberi kode pada pria tersebut untuk ikutan masuk. "Nil, segera obati lecetnya si Amar ya. Biar ibu dan Robi yang ngomong sama masnya." Aku mengangguk paham dan segera menghampiri Amar yang duduk di ruang tengah. "Kenapa bisa sih?" Amar mengangkat kedua bahunya. Dia dengan santainya menarik celana pendek tersebut agar mempermudahku mengobati luka di bagian lututnya. "Tapi mobil itu udah ngikutin aku dari keluar gang daerah pojok sana, Kak. Terus makin mepet sampai akhirnya aku ditubruk tepat di depan minimarket tadi. Aneh gak sih?" Kami berdua mengangguk secara bersamaan. Sebenarnya aku berniat untuk menguping pembicaraan mereka. Tapi rupanya, suara yang terdengar tak terdengar jelas sampai ruangan ini. "Tapi yang paling aneh adalah ekspresinya saat turun dari mobil sih, Kak. Harusnya kan kalau berniat jahat dia langsung kabur aja, tapi dia justru berhenti dan nyamperin aku." Benar juga analisa Amar. Bahkan sejak awal bertemu saja aku sudah menganggap lelaki tersebut aneh. "Apa kakak ikutan nimbrung aja ya? Penasaran juga pengen maki-maki dia." Amar mencibir kearahku. Lalu dia menarik tanganku dan kemudian bergerak seolah ingin membisikkan sesuatu padaku. Suara bisikan darinya membuatku menahan tawa. Ya, Amar menyuruhku untuk membuatkan minum saja untuk penabraknya. Walaupun ibu tak menyuruhku. Akupun menyetujui ide Amar. Segera bergegas untuk menyiapkan air mineral dalam botol plastik yang biasa distock Robi dalam lemari pendingin. Sudah sangat bagus bukan, sekedar memberinya minum walaupun hanya air putih saja. "Untuk kerusakan motor dan biaya periksa adiknya biar semua saya yang nanggung, Bu," ucapnya dengan nada penuh kesombongan. Aku melirik pada Robi yang ternyata tengah melirik padaku. Matanya bergerak dan menuju pada botol minum tersebut. "Ya memang kewajiban masnya." Ibu menjawab dengan suara menahan kesal. Aku yang mendengarnya pun mengangguk seolah setuju. "Ini nomor telepon saya, dan Ini kartu debit yang isinya cukup untuk sekedar periksa. Sedang motornya saya bawa kebengkel dulu." Begitu katanya menyarankan. Kami semua hanya mengangguk setuju. "Pinnya saya tulis di balik kartu nama ini saja." "Kamu tak berniat membawa kabur motornya kan? Lalu apa jaminannya kalau kartu ini ada isinya?" Aku yang geram tak bisa menahan diri untuk tak ikut campur. "Apakah tampang saya ada seperti penipu ulung?" "Biar lebih enaknya, mas ninggal kartu identitas saja." Kini Robi yang bersuara. Pria itu bahkan tak berfikir panjang dan langsung mengangguk. Dia membuka dompet berlogo salah satu brand luar negeri. Kemudian mengulurkan tangannya sembari menyodorkan kepingan kartu identitas pada ibu. "Baiklah, ibu yang simpan." Padahal aku penasaran pada lelaki tersebut. Tapi ibu seperti tak memberi celah dan langsung memasukkan kartu tersebut ke dalam dompet, sekalipun sudah menengok sebentar untuk memastikan bahwa itu memang benar miliknya. Aku melirik lagi pada lelaki aneh tersebut, dia juga tengah melirikku seraya tersenyum menyeringai. Entahlah, apa aku berlebihan jika berfikir bahwa dia punya tujuan tertentu. (Siapa ya pria ini?""Ibu mau kemana lagi sih?" Kali ini aku mendekati ibu yang berjalan keluar dengan menyeret sebuah koper besar. "Ibu bermalam lagi di rumah teman Nil. Jangan lupa nanti kirimi Robi makan siang lho." Lalu tak lama kemudian, Pak Parman yang merupakan salah seorang tetangga kamipun datang dan gegas memasukkan semua barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tak terkecuali koper besar yang ku lihat tadi. "Tapi buat apa bawa barang sebanyak ini kalau cuma sehari?" Aku masih penasaran. Ibu lantas membalikkan badan untuk berhadapan denganku. Lalu ibu mencubit pucuk hidungku dengan gemas. "Tumben sih mantu ibu ini kepo banget. Nanti ibu kasih voucher ke klinik kecantikan mau gak?" Jelas saja ku kembangkan senyum padanya. Lagian siapa yang akan menolak tawaran tersebut. Mertuaku ini memang sangat royal bahkan sebelum aku meminta padanya. "Tapi ibu pulang besok lho ya. Jangan nunda-nunda kayak kemarin. Kasihan Robi yang khawatir." Ibu mengangguk dan kemudian segera masuk ke dalam mobil. Pak
"Buat apa Bobi menyimpan pembalut berbagai merk ini?" Aku meraih satu bungkus yang sudah terbuka. Memperhatikan isinya, kalau dihitung sepertinya baru digunakan dua biji. Selanjutnya, aku mengecek lagi bungkus pembalut lainnya. Kebanyakan memang sudah terpakai tapi hanya sebiji dua biji saja. Bobi, adik dari suamiku meninggal seminggu lalu. Itulah mengapa ibu meminta kami berdua pulang. Dan kini aku berinisiatif untuk membersihkan kamar Bobi. Terlihat masih banyak sekali barang milik Bobi yang belum dibereskan karena keadaan keluarga yang masih berduka. "Apaan Nil?" Tanya Robi yang baru saja pulang dari masjid. "Liat deh Rob, Adikmu menyimpan banyak sekali pembalut disini." Kembali ku buka laci yang tersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Robi memicingkan matanya. Lalu mengecek kedalam dan memperhatikan semuanya. "Kok aneh ya?" "Apa dia sering bawa pulang pacarnya ya?" "Emang Bobi punya pacar?" Kami berdua terdiam sejenak. Benar juga yang dibilang Robi, selama ini kami tak per
Aku dan Robi sudah siap untuk bersantap sarapan. Masih sama seperti kemarin, Ibu tetap saja menunjukkan sirat keriangan. Memang sangat aneh, padahal putra bungsunya baru saja meninggal dan ibu tak terlihat bersedih sama sekali. Robi melirik kearahku. Sejak semalam pikiran kami masih saja terbayang tentang wallpaper ponsel yang ditemukannya di jok motor milik Bobi."Ibu, gak kepasar?" Berusaha mencairkan suasana. "Kamu pengen ke pasar?" Tapi Ibu justru balik bertanya padaku. Aku yang ditanya begitupun, tersedak karena kaget. "Pengen beli apa emangnya?" "Hemmm... Si Robi katanya pengen dimasakin ikan kembung." Giliran Robi yang terkejut ditandai dengan batuk-batuk jarang tersebut. "Boleh juga tuh." Robi melotot padaku membuatku menahan tawa. Aku memang sengaja menjadikannya kambing hitam karena tak menyiapkan alasan terlebih dahulu. "Yaudah habis sarapan ibu ajak Nilna kepasar ya." Senyumnya mengembang. Mertuaku masih cantik, tapi entah kenapa aku justru menaruh banyak kecurigaan p
"Amar?" Kami bedua menyebutkan nama tersebut bersamaan. Bagaimana tidak terkejut, jika kamar yang sebelumnya kosong tiba-tiba terlihat sosok di atas ranjang. "Biasa aja kenapa sih kak?" Sosok remaja berusia belasan tahun tersebut telihat santai saja di atas ranjang kamar Bobi tengah memainkan ponsel. "Memangnya kapan kamu datang?" Aku bertanya seraya mendekat untuk duduk ditepian ranjangnya. "Tadi sore. Tapi kalian berdua kayaknya lagi tidur. Kamar dikunci rapat tapi pintu depan dibiarin terbuka." Aku melirik ke arah Robi yang salah tingkah dan menahan senyumnya. Yah, namanya juga mengisi waktu senggang. "Kan bisa ngirim Wa, ngabarin kalau kesini." Robi kini duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang. Matanya mulai melirik kebagian meja yang memang tertata begitu rapi sebagian barang milik Bobi. "Bude minta aku nginep sini selama liburan sekolah, tapi..." Dia bangkit, dan melihat keseliling kamar. "Apa?""Sebenarnya Bude melarangku masuk kamar Kak Bobi, tapi kamar bagian ba
Kami bertiga duduk dan saling diam di ruang tengah. Bahkan televisi yang menyalapun hanya kami diamkan tanpa berniat untuk menontonnya. Sudah jam delapan malam. Ibu juga belum ada kabar apakah akan pulang atau kembali menginap dirumah temannya tersebut. "Rob, coba dong kamu telepon ibu. Ini udah malam lho!" Mungkin perintahku ini sudah terucap lebih dari lima kali. Bahkan raut Robi sekarang terlihat semakin kesal. "Kamu kira dari tadi aku ngapain liatin ponsel sih?" gerutunya dengan suara pelan tapi masih tetap kudengar. Amar yang berada ditengah kamipun juga nampak diam saja tanpa berkata sepatah katapun. Berkali-kali mengamatinya yang terlihat sibuk dengan angannya sendiri. Apa yang dilihatnya semalam di kamar Bobi sangat wajar jika membuatnya langsung kaget sampai mengalami demam. "Aku tidur kamar bawah ajalah kak." Robi menepuk pundak Amar lalu mengangguk setuju. "Jangan dimatikan semua lampunya ya!" pintanya dan kembali dijawab Robi dengan anggukan. "Kamu masuk kamar aja du