Share

PDKI - 5

Penulis: Piki Chan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 11:36:41

Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga.

Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana.

Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya.

"Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening.

"Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan.

"Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana.

Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil milik ibu, satu-satunya kendaraan yang berada dirumah sekarang.

Seharusnya aku bertanya dulu, kenapa dengannya sampai memintaku untuk mnjemputnya sekarang.

Hanya mengandalkan peta digital yang sudah ku cari saat mulai keluar rumah tadi. Kalau dilihat jaraknya cukup lumayan juga.

Setelah lima belas menit melajukan mobil mengikuti arahan dari peta digital tersebut, dan benar saja aku sudah sampai ke minimarket yang dikatakan oleh Amar tadi.

Di depan sana nampak sekali orang-orang berkerumun. Sepertinya kerumunan tersebut tertuju pada tempat duduk yang memang biasa disediakan oleh semua minimarket ini.

"Kak Nil." Suara Amar terdengar semakin parau. Dia duduk dikursi berwarna merah kecoklatan dan di sebelahnya terlihat sosok tinggi semampai dengan dandanan klimis yang menatap tajam padaku.

"Ya Allah Amar kenapa?" Aku mendekat dan langsung merengkuh remaja tersebut. Matanya nampak memerah menahan tangis. "Ini kenapa kakinya? Kamu jatuh dari motor?" Dia mengangguk pelan.

"Ini mbak pelakunya. Langsung dihentikan oleh warga. Mau di bawa kekantor polisi tapi adiknya minta nunggu keluarganya dulu." Seorang bapak dengan rompi berwarna hijau itu mendekat dan menujuk lelaki yang duduk disebelah Amar.

Aku mengamati pria tersebut. Pandangannya sangat sinis kearahku bahkan rautnya juga menunjukkan kekesalan. Tapi bukan itu yang tengah kupikirakan, wajah ini cukup familiar dan sepertinya pernah ku lihat sebelumnya.

"Masnya gimana sih, ini anak kecil naik motor kenapa malah ditabrak?" Lalu bapak tadi menarik bajuku dan menunjuk pada mobil sport warna merah yang terpakir tak jauh dari motor Bobi.

"Lagian mbaknya kenapa izinin anak kecil mengendarai motor? Emangnya dia udah punya SIM?" Wah, dia menyerangku dengan pertanyaan konyol yang jelas masih kupikirkan jawabannya.

"Emang kalau udah punya SIM terjamin kamu gak nabrak dia? Gak usah nyari celah deh mas. Sekali salah ya salah. Terus gimana nih adik saya kayak begini?"

Pria tersebut terdiam. Menatap padaku dan sekarang seperti mengamati dari atas ke bawah. Mataku langsung menyipit untuk mengingat di mana pernah bertemu dengannya. Nyatanya tetap saja aku tak bisa mengingat.

"Ya udah, saya antarin pulang aja. Kita bahas di rumah anda saja." Dia berucap dengan sangat kaku. Sedang orang disekitar pun hanya mengangguk pertanda setuju.

Setelah memastikan bahwa Amar bisa mengendarai motor kearah pulang. Kami bertiga pun akhirnya segera pergi dari minimarket. Tak lupa mengabari Robi agar dia segera pulang karena tak mungkin menghadapi pria kaku ini sendirian.

"Nil, kenapa gak nungguin aku, sih?" bisik Robi saat aku sampai duluan di rumah dan keluar dari mobil. Sedang ibu menghampiri Amar dan menuntunnya masuk. Aku menggerakkan kepala pada Robi seraya menyambut sosok pria kaku tersebut keluar dari mobil mewahnya.

"Dia yang nabrak Amar. Noh urusin, agak sewotan sih." Robi menghela nafasnya berat. Lalu berjalan masuk ke dalam rumah dan aku mengekor di belakang. Telunjukku bergerak memberi kode pada pria tersebut untuk ikutan masuk.

"Nil, segera obati lecetnya si Amar ya. Biar ibu dan Robi yang ngomong sama masnya." Aku mengangguk paham dan segera menghampiri Amar yang duduk di ruang tengah.

"Kenapa bisa sih?" Amar mengangkat kedua bahunya. Dia dengan santainya menarik celana pendek tersebut agar mempermudahku mengobati luka di bagian lututnya.

"Tapi mobil itu udah ngikutin aku dari keluar gang daerah pojok sana, Kak. Terus makin mepet sampai akhirnya aku ditubruk tepat di depan minimarket tadi. Aneh gak sih?" Kami berdua mengangguk secara bersamaan.

Sebenarnya aku berniat untuk menguping pembicaraan mereka. Tapi rupanya, suara yang terdengar tak terdengar jelas sampai ruangan ini.

"Tapi yang paling aneh adalah ekspresinya saat turun dari mobil sih, Kak. Harusnya kan kalau berniat jahat dia langsung kabur aja, tapi dia justru berhenti dan nyamperin aku." Benar juga analisa Amar. Bahkan sejak awal bertemu saja aku sudah menganggap lelaki tersebut aneh.

"Apa kakak ikutan nimbrung aja ya? Penasaran juga pengen maki-maki dia." Amar mencibir kearahku. Lalu dia menarik tanganku dan kemudian bergerak seolah ingin membisikkan sesuatu padaku. Suara bisikan darinya membuatku menahan tawa.

Ya, Amar menyuruhku untuk membuatkan minum saja untuk penabraknya. Walaupun ibu tak menyuruhku.

Akupun menyetujui ide Amar. Segera bergegas untuk menyiapkan air mineral dalam botol plastik yang biasa distock Robi dalam lemari pendingin. Sudah sangat bagus bukan, sekedar memberinya minum walaupun hanya air putih saja.

"Untuk kerusakan motor dan biaya periksa adiknya biar semua saya yang nanggung, Bu," ucapnya dengan nada penuh kesombongan. Aku melirik pada Robi yang ternyata tengah melirik padaku. Matanya bergerak dan menuju pada botol minum tersebut.

"Ya memang kewajiban masnya." Ibu menjawab dengan suara menahan kesal. Aku yang mendengarnya pun mengangguk seolah setuju.

"Ini nomor telepon saya, dan Ini kartu debit yang isinya cukup untuk sekedar periksa. Sedang motornya saya bawa kebengkel dulu." Begitu katanya menyarankan. Kami semua hanya mengangguk setuju. "Pinnya saya tulis di balik kartu nama ini saja."

"Kamu tak berniat membawa kabur motornya kan? Lalu apa jaminannya kalau kartu ini ada isinya?" Aku yang geram tak bisa menahan diri untuk tak ikut campur.

"Apakah tampang saya ada seperti penipu ulung?"

"Biar lebih enaknya, mas ninggal kartu identitas saja." Kini Robi yang bersuara. Pria itu bahkan tak berfikir panjang dan langsung mengangguk.

Dia membuka dompet berlogo salah satu brand luar negeri. Kemudian mengulurkan tangannya sembari menyodorkan kepingan kartu identitas pada ibu.

"Baiklah, ibu yang simpan." Padahal aku penasaran pada lelaki tersebut. Tapi ibu seperti tak memberi celah dan langsung memasukkan kartu tersebut ke dalam dompet, sekalipun sudah menengok sebentar untuk memastikan bahwa itu memang benar miliknya.

Aku melirik lagi pada lelaki aneh tersebut, dia juga tengah melirikku seraya tersenyum menyeringai. Entahlah, apa aku berlebihan jika berfikir bahwa dia punya tujuan tertentu.

(Siapa ya pria ini?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marvi Lena
tambah penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 6

    "Ibu mau kemana lagi sih?" Kali ini aku mendekati ibu yang berjalan keluar dengan menyeret sebuah koper besar. "Ibu bermalam lagi di rumah teman Nil. Jangan lupa nanti kirimi Robi makan siang lho." Lalu tak lama kemudian, Pak Parman yang merupakan salah seorang tetangga kamipun datang dan gegas memasukkan semua barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tak terkecuali koper besar yang ku lihat tadi. "Tapi buat apa bawa barang sebanyak ini kalau cuma sehari?" Aku masih penasaran. Ibu lantas membalikkan badan untuk berhadapan denganku. Lalu ibu mencubit pucuk hidungku dengan gemas. "Tumben sih mantu ibu ini kepo banget. Nanti ibu kasih voucher ke klinik kecantikan mau gak?" Jelas saja ku kembangkan senyum padanya. Lagian siapa yang akan menolak tawaran tersebut. Mertuaku ini memang sangat royal bahkan sebelum aku meminta padanya. "Tapi ibu pulang besok lho ya. Jangan nunda-nunda kayak kemarin. Kasihan Robi yang khawatir." Ibu mengangguk dan kemudian segera masuk ke dalam mobil. Pak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 7

    "Tapi kata Amar, semalam ibu beresin kamar Bobi. Aku curiga kalau yang dibawa ibu itu barang-barang milik Bobi." "Kita periksa aja sekarang." Dia menarik tanganku dengan langkah cepat menuju kamar mendiang adiknya. Gelap, memang beberapa hari ini aku dilarang ibu untuk membersihkannya sehingga lampupun juga takku nyalakan. Benar saja, kamar ini sudah dalam kondisi berantakan. Sangat berbeda sekali dengan terakhir kali aku melihatnya saat Amar memberi tahu tentang apa yang ditemukannya malam itu. Aku bergegas melihat isi lemari yang ternyata juga sudah kosong. Jadi benar yang dikatakan oleh Amar, bahwa semalam ibu memang membereskan kamar ini sendirian dan semua barang yang dibawanya pergi tadi adalah milik Bobi. "Apa mungkin mau dikasihkan ke orang ya?" Aku berusaha berpikir positif. Tapi Robi menggeleng dengan pelan. "Bahkan laci berisi barang aneh itu juga sudah tidak ada Nil. Artinya ibu sudah tau."

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 8

    "Nil, Rob... Makasih ya sudah jagain Amar." Om Pras duduk di sofa seraya meletakkan cangkir berisi kopi hitam. "Mbak Salma kapan pulang?" Robi menggeleng seperti malas untuk membalasnya. "Tahu tuh Om, anaknya baru aja meninggal tapi ditinggal kelayapan terus." gerutu Robi dengan suara lirih tapi masih bisa ku dengar. "Tapi kalian jadikan pindah ke sini? Kasihan lho sama ibumu kalau tinggal sendirian." "Iya, aku langsung ngajuin surat resign tinggal ngurus barang-barang yang ada di rumah sana." Memang aku dan Robi belum sempat mengurus semua barang di rumah perantauan karena kabar meninggalnya Bobi sangat mendadak. Tante Wanda yang makan di sebelahku itu menyenggol lenganku dan mendekatkan kepalanya. "Ibumu punya pacar baru ya?" Pertanyaannya membuatku tersedak. Sungguh adik ibu mertuaku ini memang cukup ceplas-ceplos dalam berbicara. Aku menggeleng saja karena memang masih mengunyah makanan yang baru saja kulahap. "Udah tua juga bany

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 9

    "Kalau saat ini aku justru berharapnya Ibu jangan pulang dulu." Dia menoleh padaku dan mengedipkan sebelah matanya. "Jangan sampai Ibu tahu kalau aku pasang CCTV di kamar Bobi." Bisiknya di telingaku. Benar saja, satu orang baru keluar dari kamar Bobi dan mengulas senyum seolah memberi pertanda bahwa semuanya sudah beres. Melihat Robi dan mereka mengobrol seperti tengah menjelaskan sesuatu. Robi pun terlihat antusias dan sesekali mengangguk. Tak lama kemudian, mereka semua pamit untuk pulang. Kebetulan sekali karena memang sudah hampir larut malam. "Tapi kenapa aku familiar sama Ricard ya?" Kali ini kami masih duduk di teras rumah. Suasana malam minggu yang cukup ramai dengan anak-anak tetangga bermain dan berlarian. "Aku justru baru ingat setelah lihat foto profil dia." Robi melihat ulang tangkapan layar foto yang diberikan oleh Amar. "Kayaknya kamu harus tegas sama Ibu deh Rob." Apakah ideku ini termasuk provokatif?

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 10

    "Bu, ini semua belanjaan kan masih banyak di kulkas." Aku protes saat membacanya. Tapi Ibu hanya tersenyum. "Udah gak papa Nil, kan bisa buat stok juga." Aku mengerucutkan bibir karena tak sependapat dengan Ibu. "Tapi Nil, Ibu kan gak bisa nemenin Robi. Sekali-kali kamu ajalah yang nemenin dia." Robi langsung tersedak saat Ibu berkata demikian. "Tumben Ibu nyuruh Nipna ikut?" Selama ini, Ibu memang diam saja. Tak menyuruhku ikut atau melarangku ikut. "Ya... Itu, biar kamu tau situasi Ruko. Kamu ikut aja sana. Di ruko belakang pasar masih ada kok penjual daging saat sore." "Iya, Nilna biar ikut aku aja Bu." Tampak sekali Ibu tersenyum dan mengangguk. Gegas aku menoleh pada Robi yang memberiku isyarat untuk mengikui kemauan Ibu saja. Kami berdua pun segera pergi mengendarai motor. Robi yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos itu terlihat berkali-kali mengintip dari kaca spion untuk melihat kondisi rumah saat kami tinggal

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 11

    Mataku membelalak ketika mengamati video yang terekam tersebut. Rupanya benar kecurigaan Robi tadi. Ibu tengah membereskan kamar Bobi yang terakhir kulihat sangat berantakan. "Nilna biar di rumah saja Bu." Sepertinya Robu paham apa yang akan Ibu ucapkan, karena dia langsung mengatakan hal tersebut sebelum Ibu. "Kasihan dia kalau ikut ke ruko. Biar dia di rumah untuk nyetrika baju saja." Alibinya. Eksprrsi Ibu namoak berubah. Entah apa yang tengah dia rencanakan hari ini. Mungkinkah benar jika Ibu memang memintaku untuk ikut Robi saja. "Padahal Ibu kan gak nyuruh aku buat ikut kamu Rob." Aku mengembangkan senyum menghadap pada Ibu. Wanita tersebut mengangguk. "Suudzon mulu sama Ibu sih." Kilahnya. Robi hanya menggeleng saja tanpa berniat untuk menanggapinya. Seperginya Robi, Ibu segera kembali ke kamarnya sedangkan aku segera membereskan sisa sarapan. Tak lama kemudian, Ibu kembali dengan dandanan yang rapi dan menenteng sebuah tas be

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 12

    "Motor itu hanya nganggur di rumah saja, sih." Aku berusaha bersikap santai saat menjawab pertanyaannya. "memangnya kenapa, ya?" Kali ini aku bertanya balik padanya. Lelaki dingin di depanku ini mengatur sikap, tapi walaupun begitu aku bisa merasakan perubahannya yang mulai tidak biasa. "Bukan suatu masalah besar. Aku hanya ingin tahu saja tidak lebih dari itu, " jawabnya kemudian senyumnya mengembang seolah menunjukkan padaku bahwa memang tidak terjadi apa-apa dengan motor tersebut. Lalu Richard pun mendekatkan minuman yang baru saja diantarkan oleh pelayan. "Tenanglah Aku tak akan mencampur racun di minumanmu." Lalu dia terkekeh yang justru membuatku sangat muak. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Kenapa dia begitu kekeh ingin tahu siapa yang menggunakan motor Bobi sebelum digunakan oleh Amar. "Apakah ada yang ingin kamu tanyakan lagi?" Dia diam sejenak, seperti ingin bertanya l

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 13

    Sigit Prawiro, dalam kartu nama tersebut sangat jelas bahwa profesi yang tercantum adalah seorang lawyer. "Makin aneh aja deh si ibu." Robi mengeluhkan sikap ibunya sendiri. "Apa kita ketemu sama Ricard dulu atau mencari informasi tentang apa yang ibu lakuin akhir-akhir ini?"Aku mengerutkan kening untuk memberi saran yang cocok untuk itu. Tapi tetap saja aku belum bisa menentukan aoa yang seharusnya kita lakukan setelah ini. "Enaknya gimana ya Rob? Apa kita selesaikan sendiri atau kita minta bantuan keluarga?" "Siapa? Om Pras dan tante Wanda?" Aku mengangguk pelan. Takut jika apa yang kuutarakan ini tak disetujuinya. "Masalahnya kan kita belum tau pasti tentang Bobi sebelum dia meninggal." Lalu aku pun mengingat sesuatu dan segera berbisik padanya. *Pagi ini Robi sudah lebih dulu meminta ibu untuk menjaga ruko sendirian dengan alasan akan pergi denganku. "Sekali-kali kencanlah buk. Ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03

Bab terbaru

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 21

    "Memangnya dulu ketemu di mana?" Senyumku mengembang, sepertinya saat ini akan menjadi hari nostalgia tentang kenanganku bersama Robi. "Saya sama Robi itu satu kelas waktu kuliah Pak, makanya kenapa risih dan malu kalau harus memanggil dia dengan sebutan Mas begitu sebaliknya,karena dari dulu kita biasa ejek-ejekan dan bertengkar." Aku tertawa sendiri mengingat bagaimana dulu sangat kesal jika Robi sudah mulai mengangguku saat di kelas. "Robi itu iseng banget pak. Saya sampe kesel banget sama Robi, tapi kok mau ya dinikahin?" Pak Parman justru tertawa makin keras. Aku menengok kearah jam yang melingkar ditanganku. Sudah mendekati waktu makan siang. Setelah menyelesaikan pembayaran 2 mangkok bakso Khusus untuk pak Parman dan juga 2 gelas es teh yang langsung ditengguk habis olehnya Kemudian aku pun berpamitan untuk mengantar makan siang ke ruko. Baru saja akan membuka gerbang, seorang pria yang turun dari mobil berwana merah menyala menghampir

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 20

    Aku melirik dulu kearah pak Parman yang masih sibuk memindahkan barang-barang yang ku keluarkan tadi ke dalam api. Lalu dengan gerakan cepat mengambil flashdisk tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong. "Mbak, kenapa barang-barang bagus kok dibakar?" Aku masih terdiam karena bingung untuk menjawabnya. "Ini barang riject-an pak." Lalu pak Parman menoleh padaku, dan akupun hanya meringis kearahnya. "Pokoknya gitu deh. Pak Parman gak usah mikirin ini. Yang penting nanti saya traktir bakso di perempatan sana." Nampak senyumnya mengembang. Cukup lama berjibaku dengan panasnya api yang berkobar. Bahkan aku menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana semua barang milik Bobi berproses menjadi abu. Sesuai janjiku, akupun mengajak pak Parman untuk makan bakso di sebuah warung yang hanya terdiri dari tenda dan gerobak biasa. "Mbak Nilna jadi pindah ke sini kan?" Aku mengangguk, mengamati pak Parman yang lahap memakan baksonya. "Kasia

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 19

    "Kamu karyawannya Ricard?" Dia mengangguk dengan ragu. Mulutku membulat untuk menunjukkan keterkejutanku. "Terus sekarang?" "Kebetulan hari ini aku bagian libur." "Bentar Cin, kamu udah lama kerja di sana?" Dia terlihat menatap ke atas, mungkin tengah mengingat sesuatu. "Baru beberapa bulan mbak, itupun dibantu sama mas Bobi." Dengan gerakan refleks langsung menggerbak meja membuatnya kaget. "Eh, maaf." Aku tertawa menyadari kebodohanku yang membuatnya terkejut. Tak menyangka bahwa hubungan mereka sangat istimewa, sampai Bobi bisa menjadi koneksi Cindy untuk bekerja disana. "Kamu ada kuliah gak?" Cindy mengangguk lagi. "Nanti sore." Kini giliranku yang mengangguk. Sebenarnya aku ingin langsung menanyainya banyak hal tapi rasanya terlalu gegabah kalau menginterogasi Cindy saat ini. "Mbak...." Dia memanggilku dengan ragu, lalu menoleh kesegala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sini. "Kenapa? Katakan saj

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 18

    Kali ini aku menemani Robi yang masih memaku di meja makan. Bahkan dia tidak menghabiskan makanan yang aku sediakan di piring seperti biasanya."Rob, mikirin apa lagi?" Aku mencoba bertanya dengan menyikut lengannya secara perlahan, lantas menoleh padaku. Dia hanya mengembangkan senyum sebentar lalu kembali untuk makan makanan yang telah kusiapkan dan dia diamkan saja sejak tadi. "Kalau memang tak nafsu makan, jangan dipaksa. Mungkin masakanku kali ini kurang enak." Aku mencoba bercanda, bukannya menjawab Robi justru kembali tersenyum dan seolah meyakinkan bahwa apapun yang aku masak pasti sangat enak untuk lidahnya.Dan benar saja setelah aku berkata demikian Robi pun menghabiskan tanpa sisa. Aku pun lantas membawa piring kotor Robi ke wastafel dan langsung mencucinya."Mau minum teh anget apa es jeruk?" tanyaku lagi berharap Robi mulai mencairkan suasana karena sejak tadi dia hanya diam saja. "Rob... Aku bertanya padamu, kamu pengen a

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 17

    Dengan gerakan refleks, kututup mulutku yang membuka lebar. "Jangan katakan kalau ibu menyembunyikan penyimpangan yang Bobi perbuat?" Robi lantas menarik lengan ibu untuk duduk di kursi yang terletak di kamar ini. Kepalanya terus menunduk seolah takut untuk menatap kami berdua. Robi lalu duduk di ranjang yang lebih dekat dengan tempat ibu kini. "Sejak kapan, bu?" Bukannya menjawab, ibu justru menangis tersedu-sedu. Kedua telapak tangannya digunakan untuk menutup wajahnya. "Tega sekali ibu mendukung kebiadapan Bobi!" Robi menekankan suaranya. "Ibu tak pernah mendukungnya, Rob. Tapi apa yang bisa ibu perbuat?" Robi masih terpaku untuk menatap pada ibunya. Sedangkan aku kini berpindah tempat untuk mendekat pada ibu. "Sudah berapa lama, bu?" "Ibu baru mengetahuinya setahun terakhir, Nil. Jangan berfikir bahwa ibu tak berusaha mengobatinya. Ibu sudah membawanya ke psikolog dan psikiater tapi nyatanya sejak dia praktikum justru s

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 16

    Mata Richard membulat seraya menatapku dengan tajam. Ya barusan itu adalah pertanyaan yang kulontarkan padanya. "Kami janji akan membantu menyembunyikan fakta ini. Tapi jelaskan dulu bagaimana bisa kalian menjalin hubungan yang menjijikkan tersebut?" Sekalipun Aku berbicara dengan nada menekan, tapi tetap saja tanganku masih menggenggam erat tangan Robi agar dia bisa meredakan amarahnya saat ini. "Ya, lalu apa lagi yang harus aku tutupi kalau nyatanya kalian sudah tau?" Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Bahkan sikap tenangnya yang seolah tanpa beban tersebut membuatku cukup muak. Robi terlihat tersenyum di ujung bibirnya. Mungkin ini salah satu cara untuk menutupi apa yang tengah dirasakannya. "Anda yang menyeret Bobi masuk kelingkaran ini?" Ricard menggeleng, dia tersenyum semakin lebar. "Aku harus jujur. Sejak kuliah di luar negeri kebiasaan yang kalian anggap menjijikkan ini bukanlah hal yang aneh. Tapi kalian harus tau, kami

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 15

    "Nil, kamu sudah bilang ke Ricard kalau kita udah jalan kan?" Aku mengangguk, memang setelah pertemuan dengan Reza dan Doni tadi pagi, Robi segera mengajak Ricard bertemu. "Kamu yakin Rob? " Dia mengangguk dengan pandangan yang tetap fokus menatap depan. "Gak pengen ngasih tahu ibu dulu?" "Justru sepertinya ibu sudah lebih dulu tau soal ini dan menyembunyikannya dari kita." Kentara sekali bahwa Robi tengah menahan emosi. Akupun mewajari sikapnya kali ini, walaupun saat biasanya dia terlihat cuek dan acuh tapi tetap saja Robi sangat perhatian dengan adiknya. "Nih Ricard ngasih tau kalau dia udah disana." Aku lalu menunjukkan sekilas pesan pria maskulin tersebut. Gegas melajukan mobil dengan lebih cepat. Tujuannya agar kita tak pulang kemalaman. Karena ibu menunggu dirumah sendirian. Seharian ini, kami pergi tak memberi tahu alasan pastinya pada ibu. Robi berbohong bahwa malan ini kami akan pergi menonton dan ibu pun tak mempermasalahk

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 14

    "Oh, ini abang dan kakak iparku. Kenapa?" jawab Reza dengan nada meninggi dan mata menatap tajam. Reza memberi interuksi tanpa suara agar kami berdua segera berjalan terlebih dahulu. Sesekali aku menengok ke belakang sampai memastikan bahwa dia benar-benar tak dalam masalah. "Kalau dia nutupi status kita, berarti emang ada masalah sama si Bobi." Robi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Aku sengaja memperlambat langkah hingga Reza benar menyusul di belakang. Kafe ini tak terlalu ramai. Padahal suasana dan interiornya cukup photoable untuk kalangan mahasiswa. Tapi setelah melihat daftar menunya aku mulai paham kenapa sangat sepi. "Mbak udah lihat isi kreseknya, kan?" Aku mengangguk, lalu Robi pun ikut mengangguk. "Saya boleh cerita kejadian kurang menyenangkan gak?""Ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutupi." Robi menekankan perkataannya. Sehingga Reza pun terlihat bersiap untuk memulai bercerita. "Setelah sa

  • Misteri Pembalut Di Kamar Iparku   PDKI - 13

    Sigit Prawiro, dalam kartu nama tersebut sangat jelas bahwa profesi yang tercantum adalah seorang lawyer. "Makin aneh aja deh si ibu." Robi mengeluhkan sikap ibunya sendiri. "Apa kita ketemu sama Ricard dulu atau mencari informasi tentang apa yang ibu lakuin akhir-akhir ini?"Aku mengerutkan kening untuk memberi saran yang cocok untuk itu. Tapi tetap saja aku belum bisa menentukan aoa yang seharusnya kita lakukan setelah ini. "Enaknya gimana ya Rob? Apa kita selesaikan sendiri atau kita minta bantuan keluarga?" "Siapa? Om Pras dan tante Wanda?" Aku mengangguk pelan. Takut jika apa yang kuutarakan ini tak disetujuinya. "Masalahnya kan kita belum tau pasti tentang Bobi sebelum dia meninggal." Lalu aku pun mengingat sesuatu dan segera berbisik padanya. *Pagi ini Robi sudah lebih dulu meminta ibu untuk menjaga ruko sendirian dengan alasan akan pergi denganku. "Sekali-kali kencanlah buk. Ma

DMCA.com Protection Status