Share

PDKI - 5

Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga.

Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana.

Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya.

"Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening.

"Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan.

"Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana.

Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil milik ibu, satu-satunya kendaraan yang berada dirumah sekarang.

Seharusnya aku bertanya dulu, kenapa dengannya sampai memintaku untuk mnjemputnya sekarang.

Hanya mengandalkan peta digital yang sudah ku cari saat mulai keluar rumah tadi. Kalau dilihat jaraknya cukup lumayan juga.

Setelah lima belas menit melajukan mobil mengikuti arahan dari peta digital tersebut, dan benar saja aku sudah sampai ke minimarket yang dikatakan oleh Amar tadi.

Di depan sana nampak sekali orang-orang berkerumun. Sepertinya kerumunan tersebut tertuju pada tempat duduk yang memang biasa disediakan oleh semua minimarket ini.

"Kak Nil." Suara Amar terdengar semakin parau. Dia duduk dikursi berwarna merah kecoklatan dan di sebelahnya terlihat sosok tinggi semampai dengan dandanan klimis yang menatap tajam padaku.

"Ya Allah Amar kenapa?" Aku mendekat dan langsung merengkuh remaja tersebut. Matanya nampak memerah menahan tangis. "Ini kenapa kakinya? Kamu jatuh dari motor?" Dia mengangguk pelan.

"Ini mbak pelakunya. Langsung dihentikan oleh warga. Mau di bawa kekantor polisi tapi adiknya minta nunggu keluarganya dulu." Seorang bapak dengan rompi berwarna hijau itu mendekat dan menujuk lelaki yang duduk disebelah Amar.

Aku mengamati pria tersebut. Pandangannya sangat sinis kearahku bahkan rautnya juga menunjukkan kekesalan. Tapi bukan itu yang tengah kupikirakan, wajah ini cukup familiar dan sepertinya pernah ku lihat sebelumnya.

"Masnya gimana sih, ini anak kecil naik motor kenapa malah ditabrak?" Lalu bapak tadi menarik bajuku dan menunjuk pada mobil sport warna merah yang terpakir tak jauh dari motor Bobi.

"Lagian mbaknya kenapa izinin anak kecil mengendarai motor? Emangnya dia udah punya SIM?" Wah, dia menyerangku dengan pertanyaan konyol yang jelas masih kupikirkan jawabannya.

"Emang kalau udah punya SIM terjamin kamu gak nabrak dia? Gak usah nyari celah deh mas. Sekali salah ya salah. Terus gimana nih adik saya kayak begini?"

Pria tersebut terdiam. Menatap padaku dan sekarang seperti mengamati dari atas ke bawah. Mataku langsung menyipit untuk mengingat di mana pernah bertemu dengannya. Nyatanya tetap saja aku tak bisa mengingat.

"Ya udah, saya antarin pulang aja. Kita bahas di rumah anda saja." Dia berucap dengan sangat kaku. Sedang orang disekitar pun hanya mengangguk pertanda setuju.

Setelah memastikan bahwa Amar bisa mengendarai motor kearah pulang. Kami bertiga pun akhirnya segera pergi dari minimarket. Tak lupa mengabari Robi agar dia segera pulang karena tak mungkin menghadapi pria kaku ini sendirian.

"Nil, kenapa gak nungguin aku, sih?" bisik Robi saat aku sampai duluan di rumah dan keluar dari mobil. Sedang ibu menghampiri Amar dan menuntunnya masuk. Aku menggerakkan kepala pada Robi seraya menyambut sosok pria kaku tersebut keluar dari mobil mewahnya.

"Dia yang nabrak Amar. Noh urusin, agak sewotan sih." Robi menghela nafasnya berat. Lalu berjalan masuk ke dalam rumah dan aku mengekor di belakang. Telunjukku bergerak memberi kode pada pria tersebut untuk ikutan masuk.

"Nil, segera obati lecetnya si Amar ya. Biar ibu dan Robi yang ngomong sama masnya." Aku mengangguk paham dan segera menghampiri Amar yang duduk di ruang tengah.

"Kenapa bisa sih?" Amar mengangkat kedua bahunya. Dia dengan santainya menarik celana pendek tersebut agar mempermudahku mengobati luka di bagian lututnya.

"Tapi mobil itu udah ngikutin aku dari keluar gang daerah pojok sana, Kak. Terus makin mepet sampai akhirnya aku ditubruk tepat di depan minimarket tadi. Aneh gak sih?" Kami berdua mengangguk secara bersamaan.

Sebenarnya aku berniat untuk menguping pembicaraan mereka. Tapi rupanya, suara yang terdengar tak terdengar jelas sampai ruangan ini.

"Tapi yang paling aneh adalah ekspresinya saat turun dari mobil sih, Kak. Harusnya kan kalau berniat jahat dia langsung kabur aja, tapi dia justru berhenti dan nyamperin aku." Benar juga analisa Amar. Bahkan sejak awal bertemu saja aku sudah menganggap lelaki tersebut aneh.

"Apa kakak ikutan nimbrung aja ya? Penasaran juga pengen maki-maki dia." Amar mencibir kearahku. Lalu dia menarik tanganku dan kemudian bergerak seolah ingin membisikkan sesuatu padaku. Suara bisikan darinya membuatku menahan tawa.

Ya, Amar menyuruhku untuk membuatkan minum saja untuk penabraknya. Walaupun ibu tak menyuruhku.

Akupun menyetujui ide Amar. Segera bergegas untuk menyiapkan air mineral dalam botol plastik yang biasa distock Robi dalam lemari pendingin. Sudah sangat bagus bukan, sekedar memberinya minum walaupun hanya air putih saja.

"Untuk kerusakan motor dan biaya periksa adiknya biar semua saya yang nanggung, Bu," ucapnya dengan nada penuh kesombongan. Aku melirik pada Robi yang ternyata tengah melirik padaku. Matanya bergerak dan menuju pada botol minum tersebut.

"Ya memang kewajiban masnya." Ibu menjawab dengan suara menahan kesal. Aku yang mendengarnya pun mengangguk seolah setuju.

"Ini nomor telepon saya, dan Ini kartu debit yang isinya cukup untuk sekedar periksa. Sedang motornya saya bawa kebengkel dulu." Begitu katanya menyarankan. Kami semua hanya mengangguk setuju. "Pinnya saya tulis di balik kartu nama ini saja."

"Kamu tak berniat membawa kabur motornya kan? Lalu apa jaminannya kalau kartu ini ada isinya?" Aku yang geram tak bisa menahan diri untuk tak ikut campur.

"Apakah tampang saya ada seperti penipu ulung?"

"Biar lebih enaknya, mas ninggal kartu identitas saja." Kini Robi yang bersuara. Pria itu bahkan tak berfikir panjang dan langsung mengangguk.

Dia membuka dompet berlogo salah satu brand luar negeri. Kemudian mengulurkan tangannya sembari menyodorkan kepingan kartu identitas pada ibu.

"Baiklah, ibu yang simpan." Padahal aku penasaran pada lelaki tersebut. Tapi ibu seperti tak memberi celah dan langsung memasukkan kartu tersebut ke dalam dompet, sekalipun sudah menengok sebentar untuk memastikan bahwa itu memang benar miliknya.

Aku melirik lagi pada lelaki aneh tersebut, dia juga tengah melirikku seraya tersenyum menyeringai. Entahlah, apa aku berlebihan jika berfikir bahwa dia punya tujuan tertentu.

(Siapa ya pria ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status