Kami bertiga duduk dan saling diam di ruang tengah. Bahkan televisi yang menyalapun hanya kami diamkan tanpa berniat untuk menontonnya.
Sudah jam delapan malam. Ibu juga belum ada kabar apakah akan pulang atau kembali menginap dirumah temannya tersebut. "Rob, coba dong kamu telepon ibu. Ini udah malam lho!" Mungkin perintahku ini sudah terucap lebih dari lima kali. Bahkan raut Robi sekarang terlihat semakin kesal. "Kamu kira dari tadi aku ngapain liatin ponsel sih?" gerutunya dengan suara pelan tapi masih tetap kudengar. Amar yang berada ditengah kamipun juga nampak diam saja tanpa berkata sepatah katapun. Berkali-kali mengamatinya yang terlihat sibuk dengan angannya sendiri. Apa yang dilihatnya semalam di kamar Bobi sangat wajar jika membuatnya langsung kaget sampai mengalami demam. "Aku tidur kamar bawah ajalah kak." Robi menepuk pundak Amar lalu mengangguk setuju. "Jangan dimatikan semua lampunya ya!" pintanya dan kembali dijawab Robi dengan anggukan. "Kamu masuk kamar aja dulu, kita masih nunggu bude." Begitu Robi memerintahkan kepada Amar agar segera masuk kedalam kamarnya. Dan benar saja, tanpa harus diulangipun Amar dengan sigap menuruti perintah kakak sepupunya tersebut. Berkali-kali melihat keponsel. Berharap Ibu akan memberi kabar. Tapi nampaknya harapanku tak terwujud sampai detik ini. Bahkan Robi pun tak berhenti untuk berusaha menghubungi ponsel ibu yang tak diangkat sama sekali. Cukup lama berselang, hingga suara deru mobil didepan gerbang rumah membuat Robi sigap untuk bangkit. Dia segera berjalan untuk menuju kedepan dan gegas membukakan gerbang agar mobil ibu bisa segera masuk garasi. Aku memberi kode pada Robi untuk diam saja dan membiarkan ibu beristirahat. Ibu hanya tersenyum saja saat memasuki rumah. Dan mengabaikan bagaimana kami semua begitu khawatir padanya. Memastikan bahwa ibu sudah masuk kedalam kamar. Kami berduapun gegas untuk naik kelantai atas. Tak lupa melihat terlebih dahulu situasi kamar Bobi yang sudah kita bereskan tadi agar ibu tak curiga telah kami masuki. "Ibu aneh banget ya?" Kali ini aku tak bisa diam saja. Lantas bertanya pada lelaki yang berbaring disebelahku. "Apa ibu punya pacar ya?" Robi bertanya balik padaku. Ketika kutoleh, pandangannya lurus kearah langit-langit kamar. "Apa aku yang kurang peka sebagai anak? Tapi kenapa perasaanku justru gak tenang setelah tau sikap ibu sekarang ya?" Aku meraih tangannya untuk membelainya pelan. Saat ini, bukan waktu yang tepat jika aku ikut mengomentari perubahan sikap ibu yang tak seperti biasanya. "Coba diajak biacara baik-baik dulu lah Rob. Kita kan udah lama gak pulang rasanya gak pantes kalau ngatain ibu berubah. Karena yang tau kesehariannya sejak lama bukan kita." Robi mengangguk dan menoleh padaku. Kemudian tangannya terlepas dan berpindah kepipiku. * Ibu dan Robi sudah pergi ke ruko sejak tadi pagi. Sepertinya niatan ibu untuk meminta kami berdua pindah kerumah ini bukanlah main-main. Bahkan dengan sangat jelas, ibu sudah meminta Robi untuk meneruskan usaha toko grosirnya saat ini. Itu artinya aku dan suamiku itu tak akan bisa kembali merantau di pulau sebelah seperti sebelumnya. Rencana cuti yang diambil penuh itu pun mungkin akan berakhir dengan surat pengunduran dari dari Robi untuk perusahannya. "Kak Nil, aku mau keluar sebentar ya?" Amar meminta izin padaku. Remaja itu sudah berdandan dengan sangat rapi. Bahkan bau harum parfumnya pun menyengat keseisi rumah. "Ada duit gak?" Amar tersenyum dengan malu-malu dan kemudian mengangguk. Akupun tak tinggal diam dan segera mengambil uang dalam dompet yang kebetulan ku letakkan di atas lemari pendingin. "Jangan sore-sore ya. Takutnya kehujanan terus demam lagi!" Dia mengangguk pertanda mengerti. "Aku udah izin bude buat bawa motornya kak Bobi." Dia langsung menuntun motor matic berukuran besar itu keluar dari rumah dan akupun dengan sigap langsung menutup gerbang setelah dia melajukan kendaraam tersebut. Rumah sudah bersih, masakan juga sudah siap. Aku sendiri bingung untuk melakukan kegiatan apa lagi. Sebenarnya ada dua ruangan yang belum aku bersihkan, kamar ibu dan kamar Bobi. Tapi ibu benar-benar melarangku untuk masuk ke kamarnya. Terbukti dari pintu yang selalu dikuncinya, sekalipun ibu berada dirumah. Sedang untuk kamar Bobi, aku juga bingung bagaimana mebersihkannya. Karena jika ketahuan kamar tersebut bekas disapu dan dipell pasti akan membuat ibu semakin marah. [Nil, coba kamu kirim foto petugas kebersihan yang ada di ponselmu!] Pesan dari Robi baru saja masuk dan langsung kubuka. Tak perlu berfikir panjang, akupun langsung menurutinya dengan mengirim foto yang dia mau. "Assalamualaikum!" Suara salam yang terdengar keras bersumber dari luar rumah membuatku langsung beranjak dan segera menghampiri asalnya. "Waalaikumsalam," balasku seraya membuka gerbang, nampak dengan jelas dua pemuda dengan dandanan yang sangat rapi. "Cari siapa?" "Benar rumahnya Bobi?" Aku mengangguk, menamati keduanya dari atas ke bawah, "Kami teman kuliahnya." Begitu jawab mereka. Karena dirumah tak ada orang, dan aku sedikit ragu untuk mengajak mereka masuk. Akhirnya ku persilakan mereka untuk duduk diteras saja. "Maaf, mbaknya ini siapanya Bobi?" Salah satu dari mereka langsung bertanya setelah duduk dikursi kayu yang memang berada didepan rumah. "Saya kakak iparnya. Ada apa ya, Mas? Maaf nih sebelumnya, tapi kalian sudah tau kan kalau Bobi baru saja meninggal?" Mereka mengangguk secara bersamaan. "Maka dari itu kami datang kesini, Mbak. Perkenalkan saya Reza dan ini Doni." Aku mengangguk saja. Sebenarnya tak terlalu penting bagiku untuk tahu nama keduanya. Lalu Reza menyenggol lengan Doni seperti memberi kode. Hingga Doni pun pagam dan segera membuka tas ranselnya. "Maaf mbak, saat kejadian tersebut kami berdua sedang berada diluar kota. Jadi belum sempat untuk datang melayat dan berbela sungkawa." Doni berhenti sejenak, aku masih mengamati setiap gerakan dari keduanya yang kini saling melirik. "Mas Reza dan mas Doni, jika ada masalah dengan Bobi saya harap segera sampaikan saja." Lalu Doni kembali mengeluarkan sesuatu dari ranselnya tersebut. Sebuah kantong kresek berwarna merah yang kemudian dia letakkan dilantai. "Ini adalah barang-barang milik Bobi yang ketinggalan di loker fakultas mbak." Bobi memang masih berstatus menjadi mahasiswa tingkat akhir saat meninggal. "Kebetulan sebelum meninggal dia nitip kunci loker pada saya karena ada buku yang mau saya pinjam dan dia minta untuk saya mengambilnya sendiri disana." Aku mengamati keduanya secara bergantian. "Maafkan kami berdua yang lancang membuka loker tanpa memberi tahu keluarga terlebih dahulu." Yang bernama Reza kembali bersuara. "Berhari-hari kami berdua kepikiran terus setelah membuka isi loker milik Bobi." Aku mengehembuskan nafas dengan berat. Kemudian membuka kantong kresek tersebut. Isinya memang tak banyak tapi dari barang-barang tersebut membuatku semakin kebingungan tentang rahasia yang disembunyikan Bobi semasa hidupnya.Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga. Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana. Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya. "Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan. "Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil mi
"Ibu mau kemana lagi sih?" Kali ini aku mendekati ibu yang berjalan keluar dengan menyeret sebuah koper besar. "Ibu bermalam lagi di rumah teman Nil. Jangan lupa nanti kirimi Robi makan siang lho." Lalu tak lama kemudian, Pak Parman yang merupakan salah seorang tetangga kamipun datang dan gegas memasukkan semua barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tak terkecuali koper besar yang ku lihat tadi. "Tapi buat apa bawa barang sebanyak ini kalau cuma sehari?" Aku masih penasaran. Ibu lantas membalikkan badan untuk berhadapan denganku. Lalu ibu mencubit pucuk hidungku dengan gemas. "Tumben sih mantu ibu ini kepo banget. Nanti ibu kasih voucher ke klinik kecantikan mau gak?" Jelas saja ku kembangkan senyum padanya. Lagian siapa yang akan menolak tawaran tersebut. Mertuaku ini memang sangat royal bahkan sebelum aku meminta padanya. "Tapi ibu pulang besok lho ya. Jangan nunda-nunda kayak kemarin. Kasihan Robi yang khawatir." Ibu mengangguk dan kemudian segera masuk ke dalam mobil. Pak
"Buat apa Bobi menyimpan pembalut berbagai merk ini?" Aku meraih satu bungkus yang sudah terbuka. Memperhatikan isinya, kalau dihitung sepertinya baru digunakan dua biji. Selanjutnya, aku mengecek lagi bungkus pembalut lainnya. Kebanyakan memang sudah terpakai tapi hanya sebiji dua biji saja. Bobi, adik dari suamiku meninggal seminggu lalu. Itulah mengapa ibu meminta kami berdua pulang. Dan kini aku berinisiatif untuk membersihkan kamar Bobi. Terlihat masih banyak sekali barang milik Bobi yang belum dibereskan karena keadaan keluarga yang masih berduka. "Apaan Nil?" Tanya Robi yang baru saja pulang dari masjid. "Liat deh Rob, Adikmu menyimpan banyak sekali pembalut disini." Kembali ku buka laci yang tersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Robi memicingkan matanya. Lalu mengecek kedalam dan memperhatikan semuanya. "Kok aneh ya?" "Apa dia sering bawa pulang pacarnya ya?" "Emang Bobi punya pacar?" Kami berdua terdiam sejenak. Benar juga yang dibilang Robi, selama ini kami tak per
Aku dan Robi sudah siap untuk bersantap sarapan. Masih sama seperti kemarin, Ibu tetap saja menunjukkan sirat keriangan. Memang sangat aneh, padahal putra bungsunya baru saja meninggal dan ibu tak terlihat bersedih sama sekali. Robi melirik kearahku. Sejak semalam pikiran kami masih saja terbayang tentang wallpaper ponsel yang ditemukannya di jok motor milik Bobi."Ibu, gak kepasar?" Berusaha mencairkan suasana. "Kamu pengen ke pasar?" Tapi Ibu justru balik bertanya padaku. Aku yang ditanya begitupun, tersedak karena kaget. "Pengen beli apa emangnya?" "Hemmm... Si Robi katanya pengen dimasakin ikan kembung." Giliran Robi yang terkejut ditandai dengan batuk-batuk jarang tersebut. "Boleh juga tuh." Robi melotot padaku membuatku menahan tawa. Aku memang sengaja menjadikannya kambing hitam karena tak menyiapkan alasan terlebih dahulu. "Yaudah habis sarapan ibu ajak Nilna kepasar ya." Senyumnya mengembang. Mertuaku masih cantik, tapi entah kenapa aku justru menaruh banyak kecurigaan p
"Amar?" Kami bedua menyebutkan nama tersebut bersamaan. Bagaimana tidak terkejut, jika kamar yang sebelumnya kosong tiba-tiba terlihat sosok di atas ranjang. "Biasa aja kenapa sih kak?" Sosok remaja berusia belasan tahun tersebut telihat santai saja di atas ranjang kamar Bobi tengah memainkan ponsel. "Memangnya kapan kamu datang?" Aku bertanya seraya mendekat untuk duduk ditepian ranjangnya. "Tadi sore. Tapi kalian berdua kayaknya lagi tidur. Kamar dikunci rapat tapi pintu depan dibiarin terbuka." Aku melirik ke arah Robi yang salah tingkah dan menahan senyumnya. Yah, namanya juga mengisi waktu senggang. "Kan bisa ngirim Wa, ngabarin kalau kesini." Robi kini duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang. Matanya mulai melirik kebagian meja yang memang tertata begitu rapi sebagian barang milik Bobi. "Bude minta aku nginep sini selama liburan sekolah, tapi..." Dia bangkit, dan melihat keseliling kamar. "Apa?""Sebenarnya Bude melarangku masuk kamar Kak Bobi, tapi kamar bagian ba