"Nil, Rob... Makasih ya sudah jagain Amar." Om Pras duduk di sofa seraya meletakkan cangkir berisi kopi hitam. "Mbak Salma kapan pulang?" Robi menggeleng seperti malas untuk membalasnya.
"Tahu tuh Om, anaknya baru aja meninggal tapi ditinggal kelayapan terus." gerutu Robi dengan suara lirih tapi masih bisa ku dengar. "Tapi kalian jadikan pindah ke sini? Kasihan lho sama ibumu kalau tinggal sendirian." "Iya, aku langsung ngajuin surat resign tinggal ngurus barang-barang yang ada di rumah sana." Memang aku dan Robi belum sempat mengurus semua barang di rumah perantauan karena kabar meninggalnya Bobi sangat mendadak. Tante Wanda yang makan di sebelahku itu menyenggol lenganku dan mendekatkan kepalanya. "Ibumu punya pacar baru ya?" Pertanyaannya membuatku tersedak. Sungguh adik ibu mertuaku ini memang cukup ceplas-ceplos dalam berbicara. Aku menggeleng saja karena memang masih mengunyah makanan yang baru saja kulahap. "Udah tua juga banyak tingkahnya." Kini aku menahan tawa karenanya. "Tapi Rob, mending kamu segera pasang CCTV. Itu orang semalam mencurigakan sekali." Lalu Om Pras menceritakan tentang dua orang yang dicurigainya semalam. Katanya sama-sama berjaket kulit dan menggunakan masker hitam. Mereka mengendarai sebuah motor bebek yang nomor platnya tak terlihat oleh Om Pras. "Udah nelepon tukang CCTV Om. Tapi nanti Robi sama Nilna ke rumah Pak RT buat memastikan keamanan gang di sini." Om Pras mengangguk, senyumnya mengembang pertanda lega. "Terus sekarang Papa pengen nanya gimana bisa kamu jatuh dari motor? Jangan bilang kalau kamu ngebut?" Amar mengerucutkan bibirnya. Dia lalu menunjukkan layar ponselnya pada papanya tersebut. "Nih, aku diseruduk dari belakang sama orang ini." Rupanya Amar tengah menunjukkan foto lelaki dingin tersebut. Baru saja akan menurunkan ponselnya, Om Pras sudah lebih dulu meraihnya dan lebih dekat mengamati foto tersebut. "Lah, ini Ricard." Om Pras lalu menunjukkannya pada Tante Wanda dari kejauhan. Tante Wanda pun menyipit dan berjalan mendekat ke sofa tempat di mana Om Pras duduk. "Yang nabrak kamu Ricard?" Amar menaikkan kedua bahunya bersamaan. "Mana ku tahu namanya Pa." Begitu jawabnya dengan santai. "Memangnya Om kenal?" Kini giliran aku yang bertanya. Om Pras nampak mengangguk dan kemudian diikuti oleh Tante Wanda. Lalu aku menoleh pada Robi yang ternyata juga tengah melihat padaku. "Dia ini anaknya pemilik perusahaan tempat Om. Kalau enggak salah sih baru lulus Magister dari luar negeri." Kami semua mengangguk bersamaan. Kalau dilihat dari gaya dan juga tampilannya memang sudah terlihat seperti orang kaya. Pantas saja dia sangat sombong. "Tapi dia ganti rugi kan?" "Motor Bobi masih dibawa ke bengkel sih. Kalau pengobatan Amar juga ditanggung sama dia." Lalu Amar menunjuk pada beberapa makanan ringan di atas meja dekat televisi. "Itu semua dari dia. Belum buah dan juga roti." Om Pras nampak mengembangkan senyum. Mungkin dia merasa sungkan jika harus memperpanjang masalah karena berurusan dengan anak pemilik perusahaan. Sejak Amar pulang, suasana rumah kembali menjadi sepi. Walaupun di perantauan sudah menjadi hal biasa tapi rasanya sangat berbeda sekali. Aku tengah mengamati Robi yang mengawasi petugas CCTV bekerja. Memang sejak tadi siang mereka sudah datang dan segera membereskannya. "Ibu belum ada kabar juga Rob?" Robi menggeleng, dia melihat pada jam di tangan kirinya. "Alasan ke mana lagi sih?" Entah kenapa dengan mertuaku tersebut, padahal saat itu hanya izin untuk semalam tapi ini lebih dari tiga hari dan belum juga ada tanda-tanda untuk pulang. (meresahkan sekali, ya)"Kalau saat ini aku justru berharapnya Ibu jangan pulang dulu." Dia menoleh padaku dan mengedipkan sebelah matanya. "Jangan sampai Ibu tahu kalau aku pasang CCTV di kamar Bobi." Bisiknya di telingaku. Benar saja, satu orang baru keluar dari kamar Bobi dan mengulas senyum seolah memberi pertanda bahwa semuanya sudah beres. Melihat Robi dan mereka mengobrol seperti tengah menjelaskan sesuatu. Robi pun terlihat antusias dan sesekali mengangguk. Tak lama kemudian, mereka semua pamit untuk pulang. Kebetulan sekali karena memang sudah hampir larut malam. "Tapi kenapa aku familiar sama Ricard ya?" Kali ini kami masih duduk di teras rumah. Suasana malam minggu yang cukup ramai dengan anak-anak tetangga bermain dan berlarian. "Aku justru baru ingat setelah lihat foto profil dia." Robi melihat ulang tangkapan layar foto yang diberikan oleh Amar. "Kayaknya kamu harus tegas sama Ibu deh Rob." Apakah ideku ini termasuk provokatif?
"Bu, ini semua belanjaan kan masih banyak di kulkas." Aku protes saat membacanya. Tapi Ibu hanya tersenyum. "Udah gak papa Nil, kan bisa buat stok juga." Aku mengerucutkan bibir karena tak sependapat dengan Ibu. "Tapi Nil, Ibu kan gak bisa nemenin Robi. Sekali-kali kamu ajalah yang nemenin dia." Robi langsung tersedak saat Ibu berkata demikian. "Tumben Ibu nyuruh Nipna ikut?" Selama ini, Ibu memang diam saja. Tak menyuruhku ikut atau melarangku ikut. "Ya... Itu, biar kamu tau situasi Ruko. Kamu ikut aja sana. Di ruko belakang pasar masih ada kok penjual daging saat sore." "Iya, Nilna biar ikut aku aja Bu." Tampak sekali Ibu tersenyum dan mengangguk. Gegas aku menoleh pada Robi yang memberiku isyarat untuk mengikui kemauan Ibu saja. Kami berdua pun segera pergi mengendarai motor. Robi yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos itu terlihat berkali-kali mengintip dari kaca spion untuk melihat kondisi rumah saat kami tinggal
Mataku membelalak ketika mengamati video yang terekam tersebut. Rupanya benar kecurigaan Robi tadi. Ibu tengah membereskan kamar Bobi yang terakhir kulihat sangat berantakan. "Nilna biar di rumah saja Bu." Sepertinya Robu paham apa yang akan Ibu ucapkan, karena dia langsung mengatakan hal tersebut sebelum Ibu. "Kasihan dia kalau ikut ke ruko. Biar dia di rumah untuk nyetrika baju saja." Alibinya. Eksprrsi Ibu namoak berubah. Entah apa yang tengah dia rencanakan hari ini. Mungkinkah benar jika Ibu memang memintaku untuk ikut Robi saja. "Padahal Ibu kan gak nyuruh aku buat ikut kamu Rob." Aku mengembangkan senyum menghadap pada Ibu. Wanita tersebut mengangguk. "Suudzon mulu sama Ibu sih." Kilahnya. Robi hanya menggeleng saja tanpa berniat untuk menanggapinya. Seperginya Robi, Ibu segera kembali ke kamarnya sedangkan aku segera membereskan sisa sarapan. Tak lama kemudian, Ibu kembali dengan dandanan yang rapi dan menenteng sebuah tas be
"Motor itu hanya nganggur di rumah saja, sih." Aku berusaha bersikap santai saat menjawab pertanyaannya. "memangnya kenapa, ya?" Kali ini aku bertanya balik padanya. Lelaki dingin di depanku ini mengatur sikap, tapi walaupun begitu aku bisa merasakan perubahannya yang mulai tidak biasa. "Bukan suatu masalah besar. Aku hanya ingin tahu saja tidak lebih dari itu, " jawabnya kemudian senyumnya mengembang seolah menunjukkan padaku bahwa memang tidak terjadi apa-apa dengan motor tersebut. Lalu Richard pun mendekatkan minuman yang baru saja diantarkan oleh pelayan. "Tenanglah Aku tak akan mencampur racun di minumanmu." Lalu dia terkekeh yang justru membuatku sangat muak. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Kenapa dia begitu kekeh ingin tahu siapa yang menggunakan motor Bobi sebelum digunakan oleh Amar. "Apakah ada yang ingin kamu tanyakan lagi?" Dia diam sejenak, seperti ingin bertanya l
Sigit Prawiro, dalam kartu nama tersebut sangat jelas bahwa profesi yang tercantum adalah seorang lawyer. "Makin aneh aja deh si ibu." Robi mengeluhkan sikap ibunya sendiri. "Apa kita ketemu sama Ricard dulu atau mencari informasi tentang apa yang ibu lakuin akhir-akhir ini?"Aku mengerutkan kening untuk memberi saran yang cocok untuk itu. Tapi tetap saja aku belum bisa menentukan aoa yang seharusnya kita lakukan setelah ini. "Enaknya gimana ya Rob? Apa kita selesaikan sendiri atau kita minta bantuan keluarga?" "Siapa? Om Pras dan tante Wanda?" Aku mengangguk pelan. Takut jika apa yang kuutarakan ini tak disetujuinya. "Masalahnya kan kita belum tau pasti tentang Bobi sebelum dia meninggal." Lalu aku pun mengingat sesuatu dan segera berbisik padanya. *Pagi ini Robi sudah lebih dulu meminta ibu untuk menjaga ruko sendirian dengan alasan akan pergi denganku. "Sekali-kali kencanlah buk. Ma
"Oh, ini abang dan kakak iparku. Kenapa?" jawab Reza dengan nada meninggi dan mata menatap tajam. Reza memberi interuksi tanpa suara agar kami berdua segera berjalan terlebih dahulu. Sesekali aku menengok ke belakang sampai memastikan bahwa dia benar-benar tak dalam masalah. "Kalau dia nutupi status kita, berarti emang ada masalah sama si Bobi." Robi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Aku sengaja memperlambat langkah hingga Reza benar menyusul di belakang. Kafe ini tak terlalu ramai. Padahal suasana dan interiornya cukup photoable untuk kalangan mahasiswa. Tapi setelah melihat daftar menunya aku mulai paham kenapa sangat sepi. "Mbak udah lihat isi kreseknya, kan?" Aku mengangguk, lalu Robi pun ikut mengangguk. "Saya boleh cerita kejadian kurang menyenangkan gak?""Ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutupi." Robi menekankan perkataannya. Sehingga Reza pun terlihat bersiap untuk memulai bercerita. "Setelah sa
"Nil, kamu sudah bilang ke Ricard kalau kita udah jalan kan?" Aku mengangguk, memang setelah pertemuan dengan Reza dan Doni tadi pagi, Robi segera mengajak Ricard bertemu. "Kamu yakin Rob? " Dia mengangguk dengan pandangan yang tetap fokus menatap depan. "Gak pengen ngasih tahu ibu dulu?" "Justru sepertinya ibu sudah lebih dulu tau soal ini dan menyembunyikannya dari kita." Kentara sekali bahwa Robi tengah menahan emosi. Akupun mewajari sikapnya kali ini, walaupun saat biasanya dia terlihat cuek dan acuh tapi tetap saja Robi sangat perhatian dengan adiknya. "Nih Ricard ngasih tau kalau dia udah disana." Aku lalu menunjukkan sekilas pesan pria maskulin tersebut. Gegas melajukan mobil dengan lebih cepat. Tujuannya agar kita tak pulang kemalaman. Karena ibu menunggu dirumah sendirian. Seharian ini, kami pergi tak memberi tahu alasan pastinya pada ibu. Robi berbohong bahwa malan ini kami akan pergi menonton dan ibu pun tak mempermasalahk
Mata Richard membulat seraya menatapku dengan tajam. Ya barusan itu adalah pertanyaan yang kulontarkan padanya. "Kami janji akan membantu menyembunyikan fakta ini. Tapi jelaskan dulu bagaimana bisa kalian menjalin hubungan yang menjijikkan tersebut?" Sekalipun Aku berbicara dengan nada menekan, tapi tetap saja tanganku masih menggenggam erat tangan Robi agar dia bisa meredakan amarahnya saat ini. "Ya, lalu apa lagi yang harus aku tutupi kalau nyatanya kalian sudah tau?" Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Bahkan sikap tenangnya yang seolah tanpa beban tersebut membuatku cukup muak. Robi terlihat tersenyum di ujung bibirnya. Mungkin ini salah satu cara untuk menutupi apa yang tengah dirasakannya. "Anda yang menyeret Bobi masuk kelingkaran ini?" Ricard menggeleng, dia tersenyum semakin lebar. "Aku harus jujur. Sejak kuliah di luar negeri kebiasaan yang kalian anggap menjijikkan ini bukanlah hal yang aneh. Tapi kalian harus tau, kami
"Memangnya dulu ketemu di mana?" Senyumku mengembang, sepertinya saat ini akan menjadi hari nostalgia tentang kenanganku bersama Robi. "Saya sama Robi itu satu kelas waktu kuliah Pak, makanya kenapa risih dan malu kalau harus memanggil dia dengan sebutan Mas begitu sebaliknya,karena dari dulu kita biasa ejek-ejekan dan bertengkar." Aku tertawa sendiri mengingat bagaimana dulu sangat kesal jika Robi sudah mulai mengangguku saat di kelas. "Robi itu iseng banget pak. Saya sampe kesel banget sama Robi, tapi kok mau ya dinikahin?" Pak Parman justru tertawa makin keras. Aku menengok kearah jam yang melingkar ditanganku. Sudah mendekati waktu makan siang. Setelah menyelesaikan pembayaran 2 mangkok bakso Khusus untuk pak Parman dan juga 2 gelas es teh yang langsung ditengguk habis olehnya Kemudian aku pun berpamitan untuk mengantar makan siang ke ruko. Baru saja akan membuka gerbang, seorang pria yang turun dari mobil berwana merah menyala menghampir
Aku melirik dulu kearah pak Parman yang masih sibuk memindahkan barang-barang yang ku keluarkan tadi ke dalam api. Lalu dengan gerakan cepat mengambil flashdisk tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong. "Mbak, kenapa barang-barang bagus kok dibakar?" Aku masih terdiam karena bingung untuk menjawabnya. "Ini barang riject-an pak." Lalu pak Parman menoleh padaku, dan akupun hanya meringis kearahnya. "Pokoknya gitu deh. Pak Parman gak usah mikirin ini. Yang penting nanti saya traktir bakso di perempatan sana." Nampak senyumnya mengembang. Cukup lama berjibaku dengan panasnya api yang berkobar. Bahkan aku menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana semua barang milik Bobi berproses menjadi abu. Sesuai janjiku, akupun mengajak pak Parman untuk makan bakso di sebuah warung yang hanya terdiri dari tenda dan gerobak biasa. "Mbak Nilna jadi pindah ke sini kan?" Aku mengangguk, mengamati pak Parman yang lahap memakan baksonya. "Kasia
"Kamu karyawannya Ricard?" Dia mengangguk dengan ragu. Mulutku membulat untuk menunjukkan keterkejutanku. "Terus sekarang?" "Kebetulan hari ini aku bagian libur." "Bentar Cin, kamu udah lama kerja di sana?" Dia terlihat menatap ke atas, mungkin tengah mengingat sesuatu. "Baru beberapa bulan mbak, itupun dibantu sama mas Bobi." Dengan gerakan refleks langsung menggerbak meja membuatnya kaget. "Eh, maaf." Aku tertawa menyadari kebodohanku yang membuatnya terkejut. Tak menyangka bahwa hubungan mereka sangat istimewa, sampai Bobi bisa menjadi koneksi Cindy untuk bekerja disana. "Kamu ada kuliah gak?" Cindy mengangguk lagi. "Nanti sore." Kini giliranku yang mengangguk. Sebenarnya aku ingin langsung menanyainya banyak hal tapi rasanya terlalu gegabah kalau menginterogasi Cindy saat ini. "Mbak...." Dia memanggilku dengan ragu, lalu menoleh kesegala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sini. "Kenapa? Katakan saj
Kali ini aku menemani Robi yang masih memaku di meja makan. Bahkan dia tidak menghabiskan makanan yang aku sediakan di piring seperti biasanya."Rob, mikirin apa lagi?" Aku mencoba bertanya dengan menyikut lengannya secara perlahan, lantas menoleh padaku. Dia hanya mengembangkan senyum sebentar lalu kembali untuk makan makanan yang telah kusiapkan dan dia diamkan saja sejak tadi. "Kalau memang tak nafsu makan, jangan dipaksa. Mungkin masakanku kali ini kurang enak." Aku mencoba bercanda, bukannya menjawab Robi justru kembali tersenyum dan seolah meyakinkan bahwa apapun yang aku masak pasti sangat enak untuk lidahnya.Dan benar saja setelah aku berkata demikian Robi pun menghabiskan tanpa sisa. Aku pun lantas membawa piring kotor Robi ke wastafel dan langsung mencucinya."Mau minum teh anget apa es jeruk?" tanyaku lagi berharap Robi mulai mencairkan suasana karena sejak tadi dia hanya diam saja. "Rob... Aku bertanya padamu, kamu pengen a
Dengan gerakan refleks, kututup mulutku yang membuka lebar. "Jangan katakan kalau ibu menyembunyikan penyimpangan yang Bobi perbuat?" Robi lantas menarik lengan ibu untuk duduk di kursi yang terletak di kamar ini. Kepalanya terus menunduk seolah takut untuk menatap kami berdua. Robi lalu duduk di ranjang yang lebih dekat dengan tempat ibu kini. "Sejak kapan, bu?" Bukannya menjawab, ibu justru menangis tersedu-sedu. Kedua telapak tangannya digunakan untuk menutup wajahnya. "Tega sekali ibu mendukung kebiadapan Bobi!" Robi menekankan suaranya. "Ibu tak pernah mendukungnya, Rob. Tapi apa yang bisa ibu perbuat?" Robi masih terpaku untuk menatap pada ibunya. Sedangkan aku kini berpindah tempat untuk mendekat pada ibu. "Sudah berapa lama, bu?" "Ibu baru mengetahuinya setahun terakhir, Nil. Jangan berfikir bahwa ibu tak berusaha mengobatinya. Ibu sudah membawanya ke psikolog dan psikiater tapi nyatanya sejak dia praktikum justru s
Mata Richard membulat seraya menatapku dengan tajam. Ya barusan itu adalah pertanyaan yang kulontarkan padanya. "Kami janji akan membantu menyembunyikan fakta ini. Tapi jelaskan dulu bagaimana bisa kalian menjalin hubungan yang menjijikkan tersebut?" Sekalipun Aku berbicara dengan nada menekan, tapi tetap saja tanganku masih menggenggam erat tangan Robi agar dia bisa meredakan amarahnya saat ini. "Ya, lalu apa lagi yang harus aku tutupi kalau nyatanya kalian sudah tau?" Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Bahkan sikap tenangnya yang seolah tanpa beban tersebut membuatku cukup muak. Robi terlihat tersenyum di ujung bibirnya. Mungkin ini salah satu cara untuk menutupi apa yang tengah dirasakannya. "Anda yang menyeret Bobi masuk kelingkaran ini?" Ricard menggeleng, dia tersenyum semakin lebar. "Aku harus jujur. Sejak kuliah di luar negeri kebiasaan yang kalian anggap menjijikkan ini bukanlah hal yang aneh. Tapi kalian harus tau, kami
"Nil, kamu sudah bilang ke Ricard kalau kita udah jalan kan?" Aku mengangguk, memang setelah pertemuan dengan Reza dan Doni tadi pagi, Robi segera mengajak Ricard bertemu. "Kamu yakin Rob? " Dia mengangguk dengan pandangan yang tetap fokus menatap depan. "Gak pengen ngasih tahu ibu dulu?" "Justru sepertinya ibu sudah lebih dulu tau soal ini dan menyembunyikannya dari kita." Kentara sekali bahwa Robi tengah menahan emosi. Akupun mewajari sikapnya kali ini, walaupun saat biasanya dia terlihat cuek dan acuh tapi tetap saja Robi sangat perhatian dengan adiknya. "Nih Ricard ngasih tau kalau dia udah disana." Aku lalu menunjukkan sekilas pesan pria maskulin tersebut. Gegas melajukan mobil dengan lebih cepat. Tujuannya agar kita tak pulang kemalaman. Karena ibu menunggu dirumah sendirian. Seharian ini, kami pergi tak memberi tahu alasan pastinya pada ibu. Robi berbohong bahwa malan ini kami akan pergi menonton dan ibu pun tak mempermasalahk
"Oh, ini abang dan kakak iparku. Kenapa?" jawab Reza dengan nada meninggi dan mata menatap tajam. Reza memberi interuksi tanpa suara agar kami berdua segera berjalan terlebih dahulu. Sesekali aku menengok ke belakang sampai memastikan bahwa dia benar-benar tak dalam masalah. "Kalau dia nutupi status kita, berarti emang ada masalah sama si Bobi." Robi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Aku sengaja memperlambat langkah hingga Reza benar menyusul di belakang. Kafe ini tak terlalu ramai. Padahal suasana dan interiornya cukup photoable untuk kalangan mahasiswa. Tapi setelah melihat daftar menunya aku mulai paham kenapa sangat sepi. "Mbak udah lihat isi kreseknya, kan?" Aku mengangguk, lalu Robi pun ikut mengangguk. "Saya boleh cerita kejadian kurang menyenangkan gak?""Ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutupi." Robi menekankan perkataannya. Sehingga Reza pun terlihat bersiap untuk memulai bercerita. "Setelah sa
Sigit Prawiro, dalam kartu nama tersebut sangat jelas bahwa profesi yang tercantum adalah seorang lawyer. "Makin aneh aja deh si ibu." Robi mengeluhkan sikap ibunya sendiri. "Apa kita ketemu sama Ricard dulu atau mencari informasi tentang apa yang ibu lakuin akhir-akhir ini?"Aku mengerutkan kening untuk memberi saran yang cocok untuk itu. Tapi tetap saja aku belum bisa menentukan aoa yang seharusnya kita lakukan setelah ini. "Enaknya gimana ya Rob? Apa kita selesaikan sendiri atau kita minta bantuan keluarga?" "Siapa? Om Pras dan tante Wanda?" Aku mengangguk pelan. Takut jika apa yang kuutarakan ini tak disetujuinya. "Masalahnya kan kita belum tau pasti tentang Bobi sebelum dia meninggal." Lalu aku pun mengingat sesuatu dan segera berbisik padanya. *Pagi ini Robi sudah lebih dulu meminta ibu untuk menjaga ruko sendirian dengan alasan akan pergi denganku. "Sekali-kali kencanlah buk. Ma