Share

PDKI - 3

"Amar?" Kami bedua menyebutkan nama tersebut bersamaan. Bagaimana tidak terkejut, jika kamar yang sebelumnya kosong tiba-tiba terlihat sosok di atas ranjang.

"Biasa aja kenapa sih kak?" Sosok remaja berusia belasan tahun tersebut telihat santai saja di atas ranjang kamar Bobi tengah memainkan ponsel.

"Memangnya kapan kamu datang?" Aku bertanya seraya mendekat untuk duduk ditepian ranjangnya.

"Tadi sore. Tapi kalian berdua kayaknya lagi tidur. Kamar dikunci rapat tapi pintu depan dibiarin terbuka." Aku melirik ke arah Robi yang salah tingkah dan menahan senyumnya. Yah, namanya juga mengisi waktu senggang.

"Kan bisa ngirim Wa, ngabarin kalau kesini." Robi kini duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang. Matanya mulai melirik kebagian meja yang memang tertata begitu rapi sebagian barang milik Bobi.

"Bude minta aku nginep sini selama liburan sekolah, tapi..." Dia bangkit, dan melihat keseliling kamar.

"Apa?"

"Sebenarnya Bude melarangku masuk kamar Kak Bobi, tapi kamar bagian bawah yang biasa buat tamu dikunci." Aku menepuk jidatku. Memang kemarin siang sempat aku bersihkan seperti perintah ibu, dan lupa menguncinya hingga sore hari.

"Yaudah, mau pindah ke sana, nggak?" Aku menarik lengan sepupu Robi ini. Tapi dia menghempasnya pelan.

"Udah terlanjur malas aku buat pindah tempat. Lagian enak disini ada tv nya juga." Dia tertawa dengan lirih. Membuat Robi langsung menonyor kepalanya pelan.

"Kalau lapar langsung ke dapur ya. Ada makanan yang masih anget di atas kompor." Aku lalu menarik lengan Robi untuk keluar kamar. Sedangkan anak itu hanya mengangguk malas dan kembali merebahkan tubuhnya ke atas kasur.

*

Amar nampak diam saja dan duduk disofa ruang tengah. Pandangannya terlihat kosong sejak aku memulai masak pagi ini.

Sedang Robi sudah bergegas untuk pergi ke ruko karena ibu memintanya mengawasi pegawai pagi ini. Entahlah, apakah ibu tak akan pulang lagi hari ini.

"Mar, ayoh makan!" Perintahku. Tapi remaja tersebut hanya menoleh padaku dan kemudian menggeleng dengan pelan.

Lantas aku duduk disebelahnya. Bahkan ponsel yang dia letakkan itu dibiarkan menyala dan tengah menampilkan layar yang tengah memutar video musik dari salah satu situs menonton video.

"Mar, kenapa?" Aku yang mulai khawatir akan sikapnya pun berusaha menanyakan langsung padanya. Ku pegang keningnya yang ternyata terasa panas. "Ya Allah Mar, kamu demam."

Dengan sangat khawatir akupun segera membuatkannya teh panas. Kemudian menyendokkan sepiring nasi diatas piring dan dengan cepat membawanya ke tempat Ammar duduk.

"Kak Nil, jangan bilangin mama kalau aku sakit ya." Aku mengangguk pelan. Dan menyodorkan gelas berisi teh hangat itu agar dia segera meminumnya.

"Tapi makan dulu, habis itu kamu minum obat. Biar nanti pas bude datang demammu udah reda." Dia mengangguk dan menuruti apa yang aku perintahkan.

Aku masih menungguinya dan melihat Amar yang walaupun sedikit gemetar tetap memaksa untuk makan.

Hinga tak berselang lama, Amar menyudahinya dan akupun membereskan sisa makannya. Tak lupa memberinya obat penurun panas agar segera diminumnya.

"Istirahat di kamar dulu aja Mar. Nanti biar kak Nilna minta kak Robi untuk bawakanmu makanan." Baru saja aku akan bangkit, tapi Amar menarik lenganku dan menahanku untuk pergi.

"Aku gak mau tidur kamar kak Bobi lagi kak."

*

"Amar masih tidur Nil?" Robi datang menenteng beberapa kantong plastik berwarna putih. Aku lantas menggerakkan kepala sebagai tanda menunjukkan dimana posisinya sekarang. "Kok dibiarin tidur di sofa sih?"

Robi menunjukkan sikap cukup kesal padaku. Tapi aku biarkan saja hingga dia duduk di kursi meja makan menungguiku yang membereskan sisa masak pagi tadi.

"Dia gak mau tidur kamar." Aku pun segera mengambilkan minuman dingin dari lemari pendingin dan kemudian meletakkannya di depan Robi.

Terlihat sekali saat Robi mengerutkan keningnya, menanggapi atas jawabanku akan pertanyaannya.

"Dia kayak ketakutan sih Rob. Tapi aku gak berani nanya." Robi kemudian menoleh ke belakang untuk melihat dimana Amar tidur. Memang sangat terlihat lelap sekali.

"Jangan-jangan dia diteror hantunya Bobi?" Aku lantas menepuk lengannya cukup keras hingga ia merasa kesakitan. "Lagian, kenapa semalam disuruh pindah kamar aja gak mau."

Selagi Robi menikmati minuman dinginnya, akupun segera mengeluarkan makanan berupa roti dan cake yang dibawanya tadi.

*

Sepertinya Amar sudah sehat, terlihat dari raut wajahnya yang sudah tak sepucat tadi pagi. Tapi walaupun begitu, aku masih memaksanya untuk meminum obat agar tidak demam lagi.

"Apa aku perlu demam tiap ke sini ya biar dibeliin makanan enak begini." Dia tertawa dengan sangat keras. Tapi sejurus kemudian Robi langsung mengetuk kepalanya dengan sendok bekas mengaduk teh.

"Mau demam aja pakai acara menumpang ke sini." Kesal Robi yang diabaikan oleh Amar.

Melihat Amar yang sudah cukup tenang, hasrat ingin tahuku langsung melonjak dan ingin sekali segera bertanya kenapa alasan dia yang tak mau tidur kamar Bobi lagi.

"Tapi kak Nilna penasaran. Memangnya semalam kamu lihat hantu ya?" Mendengar pertanyaanku, Amar langsung meletakkan cake yang awalnya dia pegang. Ekspresinya langsung berubah dan membuatku cukup takut.

"Eh, kak Nilna cuma bercanda Mar," ucapku seraya mendekat padanya dan mengusap pundaknya pelan. Terlihat sekali dia berusaha tenang, ditandai dengan menghembuskan nafasnya berat.

"Bukan hantu sih kak. Aku cuma kaget aja pas semalam di kamar kak Bobi." Kali ini bukan hanya aku yang menanggapinya dengan antusias. Bahkan Bobi pun segera meletakkan cangkir teh yang sebelumnya dia seduh untuk kemudian mendekatkan duduknya di dekat Amar.

"Selagi bude belum datang, coba kamu kasih tau kakak." Sepertinya Robi memang sangat penasaran.

"Tapi janji ya kakak nggak marah karena aku lancang buka-buka laci dan lemari kak Bobi." Robi pun mengangguk dengan sangat mantap. Sepertinya apa yang tengah dipikirkan Robi pun sama dengan apa yang terlintas dipikiranku.

Sekali lagi, aku melihat Amar yang menghembuskan nafasnya dengan sangat berat. Lalu dia bangkit dari tempat duduknya dan kemudian menarik tangan suamiku untuk berjalan mengikutinya.

Kami bertiga berjalan menuju lantai atas di mana kamar Bobi berada. Saling diam dengan pikiran yang saling berkecamuk di kepala masing-masing.

Amar berhenti ketika kami sudah sampai depan kamar. Memang tak terkunci tapi pintunya tertutup rapat hingga Robi membukanya.

"Maaf ya kak, aku belum sempat membersihkannya karena langsung pergi dari kamar tadi." Aku mengangguk pelan dan menepuk pundaknya lagi.

Lantas Amar mengajak kami berdua untuk mendekat pada salah satu laci yang letaknya berada di bawah layar televisi.

Dia memberi kode pada Robi untuk membuka laci tersebut. Sedangkan dia segera menyalakan layar televisi tersebut sehingga terlihat jelas tampilan dari layar lebar tersebut.

"Astaga!" Mulutku menganga seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ku lihat di layar tersebut.

(Sebenarnya rahasia apa yang berada di kamar Bobi? Dan benarkah semuanya berkaitan dengan sikap aneh mertua Nilna?)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status