"Amar?" Kami bedua menyebutkan nama tersebut bersamaan. Bagaimana tidak terkejut, jika kamar yang sebelumnya kosong tiba-tiba terlihat sosok di atas ranjang.
"Biasa aja kenapa sih kak?" Sosok remaja berusia belasan tahun tersebut telihat santai saja di atas ranjang kamar Bobi tengah memainkan ponsel. "Memangnya kapan kamu datang?" Aku bertanya seraya mendekat untuk duduk ditepian ranjangnya. "Tadi sore. Tapi kalian berdua kayaknya lagi tidur. Kamar dikunci rapat tapi pintu depan dibiarin terbuka." Aku melirik ke arah Robi yang salah tingkah dan menahan senyumnya. Yah, namanya juga mengisi waktu senggang. "Kan bisa ngirim Wa, ngabarin kalau kesini." Robi kini duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang. Matanya mulai melirik kebagian meja yang memang tertata begitu rapi sebagian barang milik Bobi. "Bude minta aku nginep sini selama liburan sekolah, tapi..." Dia bangkit, dan melihat keseliling kamar. "Apa?" "Sebenarnya Bude melarangku masuk kamar Kak Bobi, tapi kamar bagian bawah yang biasa buat tamu dikunci." Aku menepuk jidatku. Memang kemarin siang sempat aku bersihkan seperti perintah ibu, dan lupa menguncinya hingga sore hari. "Yaudah, mau pindah ke sana, nggak?" Aku menarik lengan sepupu Robi ini. Tapi dia menghempasnya pelan. "Udah terlanjur malas aku buat pindah tempat. Lagian enak disini ada tv nya juga." Dia tertawa dengan lirih. Membuat Robi langsung menonyor kepalanya pelan. "Kalau lapar langsung ke dapur ya. Ada makanan yang masih anget di atas kompor." Aku lalu menarik lengan Robi untuk keluar kamar. Sedangkan anak itu hanya mengangguk malas dan kembali merebahkan tubuhnya ke atas kasur. * Amar nampak diam saja dan duduk disofa ruang tengah. Pandangannya terlihat kosong sejak aku memulai masak pagi ini. Sedang Robi sudah bergegas untuk pergi ke ruko karena ibu memintanya mengawasi pegawai pagi ini. Entahlah, apakah ibu tak akan pulang lagi hari ini. "Mar, ayoh makan!" Perintahku. Tapi remaja tersebut hanya menoleh padaku dan kemudian menggeleng dengan pelan. Lantas aku duduk disebelahnya. Bahkan ponsel yang dia letakkan itu dibiarkan menyala dan tengah menampilkan layar yang tengah memutar video musik dari salah satu situs menonton video. "Mar, kenapa?" Aku yang mulai khawatir akan sikapnya pun berusaha menanyakan langsung padanya. Ku pegang keningnya yang ternyata terasa panas. "Ya Allah Mar, kamu demam." Dengan sangat khawatir akupun segera membuatkannya teh panas. Kemudian menyendokkan sepiring nasi diatas piring dan dengan cepat membawanya ke tempat Ammar duduk. "Kak Nil, jangan bilangin mama kalau aku sakit ya." Aku mengangguk pelan. Dan menyodorkan gelas berisi teh hangat itu agar dia segera meminumnya. "Tapi makan dulu, habis itu kamu minum obat. Biar nanti pas bude datang demammu udah reda." Dia mengangguk dan menuruti apa yang aku perintahkan. Aku masih menungguinya dan melihat Amar yang walaupun sedikit gemetar tetap memaksa untuk makan. Hinga tak berselang lama, Amar menyudahinya dan akupun membereskan sisa makannya. Tak lupa memberinya obat penurun panas agar segera diminumnya. "Istirahat di kamar dulu aja Mar. Nanti biar kak Nilna minta kak Robi untuk bawakanmu makanan." Baru saja aku akan bangkit, tapi Amar menarik lenganku dan menahanku untuk pergi. "Aku gak mau tidur kamar kak Bobi lagi kak." * "Amar masih tidur Nil?" Robi datang menenteng beberapa kantong plastik berwarna putih. Aku lantas menggerakkan kepala sebagai tanda menunjukkan dimana posisinya sekarang. "Kok dibiarin tidur di sofa sih?" Robi menunjukkan sikap cukup kesal padaku. Tapi aku biarkan saja hingga dia duduk di kursi meja makan menungguiku yang membereskan sisa masak pagi tadi. "Dia gak mau tidur kamar." Aku pun segera mengambilkan minuman dingin dari lemari pendingin dan kemudian meletakkannya di depan Robi. Terlihat sekali saat Robi mengerutkan keningnya, menanggapi atas jawabanku akan pertanyaannya. "Dia kayak ketakutan sih Rob. Tapi aku gak berani nanya." Robi kemudian menoleh ke belakang untuk melihat dimana Amar tidur. Memang sangat terlihat lelap sekali. "Jangan-jangan dia diteror hantunya Bobi?" Aku lantas menepuk lengannya cukup keras hingga ia merasa kesakitan. "Lagian, kenapa semalam disuruh pindah kamar aja gak mau." Selagi Robi menikmati minuman dinginnya, akupun segera mengeluarkan makanan berupa roti dan cake yang dibawanya tadi. * Sepertinya Amar sudah sehat, terlihat dari raut wajahnya yang sudah tak sepucat tadi pagi. Tapi walaupun begitu, aku masih memaksanya untuk meminum obat agar tidak demam lagi. "Apa aku perlu demam tiap ke sini ya biar dibeliin makanan enak begini." Dia tertawa dengan sangat keras. Tapi sejurus kemudian Robi langsung mengetuk kepalanya dengan sendok bekas mengaduk teh. "Mau demam aja pakai acara menumpang ke sini." Kesal Robi yang diabaikan oleh Amar. Melihat Amar yang sudah cukup tenang, hasrat ingin tahuku langsung melonjak dan ingin sekali segera bertanya kenapa alasan dia yang tak mau tidur kamar Bobi lagi. "Tapi kak Nilna penasaran. Memangnya semalam kamu lihat hantu ya?" Mendengar pertanyaanku, Amar langsung meletakkan cake yang awalnya dia pegang. Ekspresinya langsung berubah dan membuatku cukup takut. "Eh, kak Nilna cuma bercanda Mar," ucapku seraya mendekat padanya dan mengusap pundaknya pelan. Terlihat sekali dia berusaha tenang, ditandai dengan menghembuskan nafasnya berat. "Bukan hantu sih kak. Aku cuma kaget aja pas semalam di kamar kak Bobi." Kali ini bukan hanya aku yang menanggapinya dengan antusias. Bahkan Bobi pun segera meletakkan cangkir teh yang sebelumnya dia seduh untuk kemudian mendekatkan duduknya di dekat Amar. "Selagi bude belum datang, coba kamu kasih tau kakak." Sepertinya Robi memang sangat penasaran. "Tapi janji ya kakak nggak marah karena aku lancang buka-buka laci dan lemari kak Bobi." Robi pun mengangguk dengan sangat mantap. Sepertinya apa yang tengah dipikirkan Robi pun sama dengan apa yang terlintas dipikiranku. Sekali lagi, aku melihat Amar yang menghembuskan nafasnya dengan sangat berat. Lalu dia bangkit dari tempat duduknya dan kemudian menarik tangan suamiku untuk berjalan mengikutinya. Kami bertiga berjalan menuju lantai atas di mana kamar Bobi berada. Saling diam dengan pikiran yang saling berkecamuk di kepala masing-masing. Amar berhenti ketika kami sudah sampai depan kamar. Memang tak terkunci tapi pintunya tertutup rapat hingga Robi membukanya. "Maaf ya kak, aku belum sempat membersihkannya karena langsung pergi dari kamar tadi." Aku mengangguk pelan dan menepuk pundaknya lagi. Lantas Amar mengajak kami berdua untuk mendekat pada salah satu laci yang letaknya berada di bawah layar televisi. Dia memberi kode pada Robi untuk membuka laci tersebut. Sedangkan dia segera menyalakan layar televisi tersebut sehingga terlihat jelas tampilan dari layar lebar tersebut. "Astaga!" Mulutku menganga seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ku lihat di layar tersebut. (Sebenarnya rahasia apa yang berada di kamar Bobi? Dan benarkah semuanya berkaitan dengan sikap aneh mertua Nilna?)Kami bertiga duduk dan saling diam di ruang tengah. Bahkan televisi yang menyalapun hanya kami diamkan tanpa berniat untuk menontonnya. Sudah jam delapan malam. Ibu juga belum ada kabar apakah akan pulang atau kembali menginap dirumah temannya tersebut. "Rob, coba dong kamu telepon ibu. Ini udah malam lho!" Mungkin perintahku ini sudah terucap lebih dari lima kali. Bahkan raut Robi sekarang terlihat semakin kesal. "Kamu kira dari tadi aku ngapain liatin ponsel sih?" gerutunya dengan suara pelan tapi masih tetap kudengar. Amar yang berada ditengah kamipun juga nampak diam saja tanpa berkata sepatah katapun. Berkali-kali mengamatinya yang terlihat sibuk dengan angannya sendiri. Apa yang dilihatnya semalam di kamar Bobi sangat wajar jika membuatnya langsung kaget sampai mengalami demam. "Aku tidur kamar bawah ajalah kak." Robi menepuk pundak Amar lalu mengangguk setuju. "Jangan dimatikan semua lampunya ya!" pintanya dan kembali dijawab Robi dengan anggukan. "Kamu masuk kamar aja du
Aku masih mengamati semua barang dalam kresek tersebut. Sengaja ku masukkan dalam kamarku agar ibu tak curiga. Entah apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bobi, setahuku Bobi termasuk anak yang sangat patuh dan lugu. Tak mungkin jika dia berbuat macam-macam di luar sana. Lantas kenapa dia menyimpan banyak sekali barang-barang khusus perempuan? Bukan hanya di rumah saja, bahkan di loker kampuspun dia juga melakukannya. "Kak Nil, tolongin aku!" Ponselku berdering, dan benar saja itu adalah panggilan dari Amar. "Kak, jemput aku di minimarket daerah X." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa, Mar?" Aku berusaha bertanya pelan karena suaranya terdengar seperti ketakutan. "Kak Robi belum bisa ku telepon. Aku cuma minta dijemput aja sekarang, kak!" Kenapa pula dengannya. Bukannya aku tak mau menjemput, tapi memang aku tak hafal daerah sini jadi bagaimana bisa aku sampai kesana. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tempat di mana Amar memberitahu. Mengendarai mobil mi
"Ibu mau kemana lagi sih?" Kali ini aku mendekati ibu yang berjalan keluar dengan menyeret sebuah koper besar. "Ibu bermalam lagi di rumah teman Nil. Jangan lupa nanti kirimi Robi makan siang lho." Lalu tak lama kemudian, Pak Parman yang merupakan salah seorang tetangga kamipun datang dan gegas memasukkan semua barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tak terkecuali koper besar yang ku lihat tadi. "Tapi buat apa bawa barang sebanyak ini kalau cuma sehari?" Aku masih penasaran. Ibu lantas membalikkan badan untuk berhadapan denganku. Lalu ibu mencubit pucuk hidungku dengan gemas. "Tumben sih mantu ibu ini kepo banget. Nanti ibu kasih voucher ke klinik kecantikan mau gak?" Jelas saja ku kembangkan senyum padanya. Lagian siapa yang akan menolak tawaran tersebut. Mertuaku ini memang sangat royal bahkan sebelum aku meminta padanya. "Tapi ibu pulang besok lho ya. Jangan nunda-nunda kayak kemarin. Kasihan Robi yang khawatir." Ibu mengangguk dan kemudian segera masuk ke dalam mobil. Pak
"Buat apa Bobi menyimpan pembalut berbagai merk ini?" Aku meraih satu bungkus yang sudah terbuka. Memperhatikan isinya, kalau dihitung sepertinya baru digunakan dua biji. Selanjutnya, aku mengecek lagi bungkus pembalut lainnya. Kebanyakan memang sudah terpakai tapi hanya sebiji dua biji saja. Bobi, adik dari suamiku meninggal seminggu lalu. Itulah mengapa ibu meminta kami berdua pulang. Dan kini aku berinisiatif untuk membersihkan kamar Bobi. Terlihat masih banyak sekali barang milik Bobi yang belum dibereskan karena keadaan keluarga yang masih berduka. "Apaan Nil?" Tanya Robi yang baru saja pulang dari masjid. "Liat deh Rob, Adikmu menyimpan banyak sekali pembalut disini." Kembali ku buka laci yang tersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Robi memicingkan matanya. Lalu mengecek kedalam dan memperhatikan semuanya. "Kok aneh ya?" "Apa dia sering bawa pulang pacarnya ya?" "Emang Bobi punya pacar?" Kami berdua terdiam sejenak. Benar juga yang dibilang Robi, selama ini kami tak per
Aku dan Robi sudah siap untuk bersantap sarapan. Masih sama seperti kemarin, Ibu tetap saja menunjukkan sirat keriangan. Memang sangat aneh, padahal putra bungsunya baru saja meninggal dan ibu tak terlihat bersedih sama sekali. Robi melirik kearahku. Sejak semalam pikiran kami masih saja terbayang tentang wallpaper ponsel yang ditemukannya di jok motor milik Bobi."Ibu, gak kepasar?" Berusaha mencairkan suasana. "Kamu pengen ke pasar?" Tapi Ibu justru balik bertanya padaku. Aku yang ditanya begitupun, tersedak karena kaget. "Pengen beli apa emangnya?" "Hemmm... Si Robi katanya pengen dimasakin ikan kembung." Giliran Robi yang terkejut ditandai dengan batuk-batuk jarang tersebut. "Boleh juga tuh." Robi melotot padaku membuatku menahan tawa. Aku memang sengaja menjadikannya kambing hitam karena tak menyiapkan alasan terlebih dahulu. "Yaudah habis sarapan ibu ajak Nilna kepasar ya." Senyumnya mengembang. Mertuaku masih cantik, tapi entah kenapa aku justru menaruh banyak kecurigaan p