“Malam ini kasih jatah ya?”
“Ih … apaan sih, Mas?” “Siapa suruh bikin aku ket4gihan,” Aku terbangun kaget, selalu saja mimpi buruk setiap malam, kali ini benar-benar tak mengenakkan sebab dalam mimpi nyata terlihat suamiku tengah bermesraan dengan baby sitterku. Apakah ini pertanda atau hanya bunga tidur semata? *** Aku membuka mata dengan sangat malas, kantuk masih melanda. Sakit yang kuderita selama kurang lebih sebulan ini membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Sebenarnya sakit yang kurasakan sekarang ini adalah semua otot dan tubuhku terasa lemah, kata dokter aku mengalami stres tinggi hingga dianggap sering berhalusinasi. Dua bulan yang lalu, aku kehilangan Nayla, bayiku yang masih berusia tiga bulan. Semua terjadi karena kesalahanku. Aku yang tertidur saat menyusuinya, bayiku berhenti bernapas tanpa kuketahui. Rasa bersalah membuatku tak henti mengutuk diriku, bahkan aku punya hobi mengurung diri dalam kamar seharian tanpa makan dan minum. Setelah itu berturut-turut keadaanku memburuk. Adam, suamiku sangat menyayangiku hingga ia mempekerjakan seorang baby sitter untuk menjaga anak pertama kami berusia empat tahun, Rafiqa. “Ibu Viona sudah bangun? Sebaiknya Ibu makan dulu, aku sudah memasakkan makanan kesukaan Ibu,” sebut Alea, baby sitter yang begitu telaten tidak hanya mengurus anak semata wayangku kini namun ia dengan ikhlas membantu segala keperluanku. Ia membantuku untuk bangun, setelahnya ia meletakkan makanan di atas nakas samping tempat tidurku, aku menoleh sekilas. Kulihat sup ikan ada di sana lengkap dengan buah semangka dan satu buah cup cake menyertainya. Ia membetulkan letak dudukku dengan meninggikan posisi bantal, setelah itu ia kembali menempatkan meja lipat di atas tempat tidur persis di depan dadaku, kemudian mengambil makanan di atas nakas. “Makanlah, setelah itu minum obatnya seperti biasa,” titahnya dan aku hanya bisa menurut demi bisa sehat kembali seperti yang dikatakan oleh Adam. “Rafiqa mana?” ia hanya tersenyum mendengar suaraku, duduk persis tak jauh dari posisiku. “Rafiqa baru saja selesai makan dan bermain, sekarang ini dia pasti lagi lelap tertidur, kemungkinan dalam dua jam barulah dia bangun,” sebutnya sesekali melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Aku tak lagi bertanya dan mulai menyuap pelan makanan ke mulutku, hanya tiga kali suap dan aku sudah tak mau lagi. Alea menyimpan semuanya di atas nakas kemudian mengambil satu pil berwarna biru dan satu lagi warna putih untuk kuminum. Aku tanpa banyak bicara lantas segera menelannya. “Sekarang berbaringlah lagi, nanti bila ada keperluan panggil saja seperti biasanya,” katanya seraya menunjuk tombol kecil yang ada di samping tempat tidurku, aku mengangguk pelan. Mataku merasa sangat mengantuk sekali. Setelah beberapa menit aku pun tak ingat apa-apa lagi. *** “Jangan tinggalkan mama, Nayla. Mama ada di sini,” aku menangis terus memandangi wajah bayiku yang telah pucat pasi dan tidak bergerak lagi. Kuguncang tubuhnya berulang kali dan kucium pipinya dengan maksud membangunkannya, namun semua usahaku sia-sia. Tak lama Adam datang, ia lalu memelukku dan berbisik di telingaku, “Nayla sudah mati, ya dia mati karenamu,” aku terlonjak kaget melihat pandangan mata suamiku berubah dingin. Aku bergidik ngeri melihatnya. “Mama … mama, bangun,” aku tersentak membuka mata ketika kulihat wajah anak pertamaku, Rafiqa sudah ada di sampingku. Wajahnya yang imut dan menggemaskan membuatku sadar bahwa apa yang baru saja kualami adalah mimpi belaka. Hampir setiap malam aku selalu bermimpi buruk, aku sampai lupa mana yang benar dan mana yang hanya mimpi. Kuusap rambutnya yang ikal panjang, putriku ini sudah sangat rapi dengan beberapa jepit rambut di kepalanya, “Mau ke mana, Sayang?” ia mencibir. “Mama bobo terus … Fiqa mau main sama mama, mama kapan sembuhnya.” Rajuk nya. Tersenyum mendengar celotehannya. “Mama istirahat dulu, kalau Fiqa pintar tak menganggu mama, mama pasti sembuh. Yang penting hari ini kita main ke luar ya?” bujuk Adam yang sudah muncul di hadapan kami. “Pokoknya mama harus cepat sembuh, biar nanti bisa temani Fiqa sama Papa dan Bibi Alea pergi ke galaksi,” Galaksi sebutannya untuk arena bermain yang ada di pusat kota. Aku membetulkan posisi berbaring dan lantas duduk menghadap buah hatiku ini. Badan masih saja terasa sangat lemas. “Mama minta maaf ya, Sayang. Nanti pasti mama akan temani kalau mama sudah sembuh, Fiqa doakan mama ya?” pintaku supaya ia tak merajuk lagi. Entah sudah berapa ratus kali permintaan malaikat kecilku ini agar aku cepat sembuh dan bisa bermain-main lagi dengannya seperti dulu biasa kami lakukan. Dan aku hanya bisa berjanji saja. “Iya, nak. Mama biar beristirahat saja dulu supaya cepat sembuh. Alea, tolong bawa Fiqa ke luar, sebentar aku akan menyusul,” Alea menjawab dengan anggukkan kepala. “Kamu harus terus berpikiran positif, Sayang. Kamu harus punya keyakinan bisa sembuh dan melupakan semua yang terjadi. Kehilangan, aku juga kehilangan anak kita tapi hidup harus terus berjalan dan kita musti kuat demi anak kita, Fiqa. Ingat ya, kita masih ada Fiqa, jangan kamu lupakan itu,” aku hanya diam mendengarkan perkataan suamiku. Ia memang benar hanya saja aku sulit melupakan apa yang sudah kulalui, sakit rasanya anak kandung sendiri yang baru saja bersamaku beberapa bulan, harus mati di tangan ibu kandungnya sendiri. Rasa sakit dan trauma itu membuatku pula malas melayani suamiku yang entah sudah berapa lama aku tak berniat tidur seranjang dengannya lagi. Aku takut hamil lagi. “Aku tahu kamu masih belum bisa melupakannya, tapi perlahan kuminta padamu supaya bisa melakukannya. Ada aku dan Fiqa yang akan terus bersamamu sampai kamu benar-benar sembuh. Bagaimana dengan tidurmu semalam, nyenyak?” aku mengangguk pelan. Mimpi buruk yang terus datang berulang kali setiap malam, tak ingin kuceritakan pada Adam, ia sudah lelah berkutat dengan pekerjaan kantor yang menumpuk, tidak mungkin lagi aku ingin membebaninya dengan hal-hal yang hanya akan membuat Adam terus mempertanyakan perkembangan pikiranku yang tak kunjung membaik dari trauma masa lalu. “Baguslah, oya, aku pergi bersama Alea dan Fiqa ya ke kota, hanya sebentar saja mungkin waktunya makan siang, kami sudah kembali. Kebetulan di sana aku akan bertemu dengan klien, sarapan dan obatmu sudah disiapkan Alea, segerakan makan dan minum obatmu,” terangnya dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk tanpa suara. Ia mengecup keningku lantas meninggalkanku. Aku bangkit dan ingin sarapan pagi sekaligus meminum obatku, namun suara tawa terdengar dari halaman. Suara tawa suamiku, sudah lama rasanya aku tak pernah lagi mendengar tawanya apalagi sampai sekeras itu, entah apa yang lucu. Rasa penasaran membuatku perlahan berjalan menuju jendela, kendati berat kakiku melangkah dengan kepala yang juga terasa pening dan aku membuka sedikit tirainya lalu mengintip. Mataku langsung melihat dan menangkap kemesraan suamiku dengan baby sitter ku, Alea. Bahkan Adam tak ragu menggenggam tangan Alea ketika akan masuk ke dalam mobil dan semua itu mereka lakukan persis di depan anak kami, apa mereka punya hubungan spesial? Apa penyakitku ini dimanfaatkan mereka untuk bermain api di belakangku?Dengan kepala masih terasa berat dan tubuh lemas, aku kembali ke tempat tidur. Tidak ada lagi seleraku untuk makan dan meminum obat, pikiranku ke mana-mana. Selama beberapa bulan ini aku tak lagi bisa mesra dengan suamiku, aku bahkan tak pernah lagi peduli dengannya selain bermain dengan pikiran masa laluku, mengutuk diri terus-menerus. Apa yang dilakukan Adam bisa saja karena pelampiasannya lantaran tak pernah mendapatkan kemesraan dariku. Herannya, aku tak merasakan perasaan sakit hati sama sekali. Untuk menghilangkan letih, aku mencoba duduk di ranjang, tak lama berselang terdengar suara kendaraan di depan. Seingatku Adam sudah pergi bersama Alea dan Rafiqa, aku diam saja menunggu dan beberapa menit kemudian suara langkah mendekat ke kamarku. “Hai, sudah bangun ya, Tuan puteri?” Sandra, sahabatku yang ceriwis muncul. Aku terpana.“Kaget ‘kan? Aku memang sengaja tak mengabari, pokoknya habis dari bandara tanpa ganti baju dulu langsung ke sini untuk menemui tuan puteri supaya di
Setelah memergoki suamiku bermesraan dengan baby sitter putriku, aku sudah tak mau lagi meminum obat-obatan yang diberikan oleh Alea, prasangka buruk terus bermain di otakku. Aku selalu berhayal jika suamiku juga perempuan imut itu sedang bekerjasama untuk menghilangkan nyawaku pelan-pelan lalu mereka akan puas berduaan dan perempuan itu akan mengganti posisiku sebagai Nyonya Adam Hermawan. “Minum obatnya ya, Bu? Setelah itu beristirahatlah,” sebutnya.Aku mulai memainkan sandiwaraku untuk berpura-pura menelan obat persis di hadapannya, sebab ia tak jua beranjak dari kamarku dengan memastikan aku meminum obat terlebih dahulu. Lalu aku pun berpura-pura berbaring seakan ngantuk melandaku. Begitu kudengar suara pintu tertutup, aku menoleh dengan pelan dan bisa bernapas lega begitu melihat tak ada siapapun dalam ruangan kamarku, aku mengambil obat yang kusembunyikan di bawah lidahku lalu menyimpannya di bawah ranjangku. Perlahan bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kama
Perlahan kudengar suara langkah menjauh, aku yakin jika Alea sudah pergi meninggalkan kamarku. Aku bergerak sedikit saja, khawatir ia masih mengawasi ku. Tak menyangka jika kondisiku dimanfaatkan, yang membuatku kecewa mengapa Adam justru turut mendukungnya, ternyata semua perhatian, romantismenya hanyalah palsu belaka. Mereka mungkin merencanakan akan menghabisi nyawaku dengan terus mencekokiku obat-obatan yang aku sendiri tidak tahu apa benar obat untuk penyakit stres dan sudah diresepkan dengan benar melalui dokter. Kebiasaan baru selama dua hari tak menenggak obat yang diberikan Alea, ternyata berpengaruh baik pada fisikku, aku sudah bisa menggerakkan lebih banyak kedua kaki dan tanganku, pusing yang kerap melanda, perlahan menghilang. Aku masih menunggu selama dua atau tiga jam saat Alea lengah, aku yakin ada saatnya ia begitu asik bermain dengan anakku, Rafiqa hingga melupakan aku. Meski kutahu setiap satu jam sekali, ia akan mendatangi kamar untuk mengecek kondisiku. Aku b
Sayang, aku boleh pinjam handphone?” tanyaku. Adam dan Alea saling memandang, pandangan mereka sulit ku artikan.Adam mendekatiku dan memegang pucuk kepalaku, sebentar saja ia lantas menciumnya dengan mesra. Aksi yang sangat palsu, apalagi bisa kulihat ada kilat kemarahan di mata baby sitter yang berdiri tak jauh dari posisi kami, ia pasti cemburu. Cemburu yang tak seharusnya. “Buat apa mau pakai handphone? Urusan obat, kesehatanmu semuanya sudah diselesaikan oleh Alea, kamu tahu sendiri Alea juga dulunya seorang perawat hingga dia tahu benar apa yang harus dilakukannya, lagipula jika hanya ingin menonton … kamu bisa melakukannya nanti denganku, tapi tentu saja kamu harus menghabiskan dulu makananmu setelah itu baru kita menonton bersama di ruang tengah, kamu mau menonton apa saja, pasti aku temani,” Pandai sekali Adam membujukku, sayang sekali aku sudah mulai paham dengan akal busuk suamiku yang tampan ini dengan baby sitter yang ia sebut dulunya seorang perawat ini. Justru ia pe
Kamu yang sabar ya, sayang. Sandra katanya kecelakaan mobil dan itu sudah terjadi seminggu sebelumnya, diperkirakan mobilnya masuk sungai dan baru saja tadi pagi mobilnya diangkut naik, Sandra … maaf … ia tak selamat.” Adam lantas memeluk menenangkan ku.Aku tak lagi bisa mencerna apa yang dikatakan Adam, baru saja berharap selama seminggu ini mendapatkan bantuan dari sahabatku itu, tiba-tiba saja Adam menyampaikan bahwa Sandra justru meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menangisi kepergian sahabatku itu. “Kamu tidak sedang bercanda ‘kan? Sandra tak mungkin mati, ia sehat dan baik-baik saja waktu ia ke mari, ia sudah berjanji akan menjengukku terus di sini setiap harinya, aku baru saja akan menagih janjinya tapi dia ….” Aku tak lagi bisa menyelesaikan kalimatku. Perih sekali rasa hatiku, perempuan yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP ini akhirnya meninggalkanku tanpa pamitan. Tidak ada tanda-tanda khusus ia akan meninggalkanku. Rasanya begitu cepat terasa,
Kamu yang sabar ya, sayang. Sandra katanya kecelakaan mobil dan itu sudah terjadi seminggu sebelumnya, diperkirakan mobilnya masuk sungai dan baru saja tadi pagi mobilnya diangkut naik, Sandra … maaf … ia tak selamat.” Adam lantas memeluk menenangkan ku.Aku tak lagi bisa mencerna apa yang dikatakan Adam, baru saja berharap selama seminggu ini mendapatkan bantuan dari sahabatku itu, tiba-tiba saja Adam menyampaikan bahwa Sandra justru meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menangisi kepergian sahabatku itu. “Kamu tidak sedang bercanda ‘kan? Sandra tak mungkin mati, ia sehat dan baik-baik saja waktu ia ke mari, ia sudah berjanji akan menjengukku terus di sini setiap harinya, aku baru saja akan menagih janjinya tapi dia ….” Aku tak lagi bisa menyelesaikan kalimatku. Perih sekali rasa hatiku, perempuan yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP ini akhirnya meninggalkanku tanpa pamitan. Tidak ada tanda-tanda khusus ia akan meninggalkanku. Rasanya begitu cepat terasa,
Sayang, aku boleh pinjam handphone?” tanyaku. Adam dan Alea saling memandang, pandangan mereka sulit ku artikan.Adam mendekatiku dan memegang pucuk kepalaku, sebentar saja ia lantas menciumnya dengan mesra. Aksi yang sangat palsu, apalagi bisa kulihat ada kilat kemarahan di mata baby sitter yang berdiri tak jauh dari posisi kami, ia pasti cemburu. Cemburu yang tak seharusnya. “Buat apa mau pakai handphone? Urusan obat, kesehatanmu semuanya sudah diselesaikan oleh Alea, kamu tahu sendiri Alea juga dulunya seorang perawat hingga dia tahu benar apa yang harus dilakukannya, lagipula jika hanya ingin menonton … kamu bisa melakukannya nanti denganku, tapi tentu saja kamu harus menghabiskan dulu makananmu setelah itu baru kita menonton bersama di ruang tengah, kamu mau menonton apa saja, pasti aku temani,” Pandai sekali Adam membujukku, sayang sekali aku sudah mulai paham dengan akal busuk suamiku yang tampan ini dengan baby sitter yang ia sebut dulunya seorang perawat ini. Justru ia pe
Perlahan kudengar suara langkah menjauh, aku yakin jika Alea sudah pergi meninggalkan kamarku. Aku bergerak sedikit saja, khawatir ia masih mengawasi ku. Tak menyangka jika kondisiku dimanfaatkan, yang membuatku kecewa mengapa Adam justru turut mendukungnya, ternyata semua perhatian, romantismenya hanyalah palsu belaka. Mereka mungkin merencanakan akan menghabisi nyawaku dengan terus mencekokiku obat-obatan yang aku sendiri tidak tahu apa benar obat untuk penyakit stres dan sudah diresepkan dengan benar melalui dokter. Kebiasaan baru selama dua hari tak menenggak obat yang diberikan Alea, ternyata berpengaruh baik pada fisikku, aku sudah bisa menggerakkan lebih banyak kedua kaki dan tanganku, pusing yang kerap melanda, perlahan menghilang. Aku masih menunggu selama dua atau tiga jam saat Alea lengah, aku yakin ada saatnya ia begitu asik bermain dengan anakku, Rafiqa hingga melupakan aku. Meski kutahu setiap satu jam sekali, ia akan mendatangi kamar untuk mengecek kondisiku. Aku b
Setelah memergoki suamiku bermesraan dengan baby sitter putriku, aku sudah tak mau lagi meminum obat-obatan yang diberikan oleh Alea, prasangka buruk terus bermain di otakku. Aku selalu berhayal jika suamiku juga perempuan imut itu sedang bekerjasama untuk menghilangkan nyawaku pelan-pelan lalu mereka akan puas berduaan dan perempuan itu akan mengganti posisiku sebagai Nyonya Adam Hermawan. “Minum obatnya ya, Bu? Setelah itu beristirahatlah,” sebutnya.Aku mulai memainkan sandiwaraku untuk berpura-pura menelan obat persis di hadapannya, sebab ia tak jua beranjak dari kamarku dengan memastikan aku meminum obat terlebih dahulu. Lalu aku pun berpura-pura berbaring seakan ngantuk melandaku. Begitu kudengar suara pintu tertutup, aku menoleh dengan pelan dan bisa bernapas lega begitu melihat tak ada siapapun dalam ruangan kamarku, aku mengambil obat yang kusembunyikan di bawah lidahku lalu menyimpannya di bawah ranjangku. Perlahan bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kama
Dengan kepala masih terasa berat dan tubuh lemas, aku kembali ke tempat tidur. Tidak ada lagi seleraku untuk makan dan meminum obat, pikiranku ke mana-mana. Selama beberapa bulan ini aku tak lagi bisa mesra dengan suamiku, aku bahkan tak pernah lagi peduli dengannya selain bermain dengan pikiran masa laluku, mengutuk diri terus-menerus. Apa yang dilakukan Adam bisa saja karena pelampiasannya lantaran tak pernah mendapatkan kemesraan dariku. Herannya, aku tak merasakan perasaan sakit hati sama sekali. Untuk menghilangkan letih, aku mencoba duduk di ranjang, tak lama berselang terdengar suara kendaraan di depan. Seingatku Adam sudah pergi bersama Alea dan Rafiqa, aku diam saja menunggu dan beberapa menit kemudian suara langkah mendekat ke kamarku. “Hai, sudah bangun ya, Tuan puteri?” Sandra, sahabatku yang ceriwis muncul. Aku terpana.“Kaget ‘kan? Aku memang sengaja tak mengabari, pokoknya habis dari bandara tanpa ganti baju dulu langsung ke sini untuk menemui tuan puteri supaya di
“Malam ini kasih jatah ya?” “Ih … apaan sih, Mas?” “Siapa suruh bikin aku ket4gihan,”Aku terbangun kaget, selalu saja mimpi buruk setiap malam, kali ini benar-benar tak mengenakkan sebab dalam mimpi nyata terlihat suamiku tengah bermesraan dengan baby sitterku. Apakah ini pertanda atau hanya bunga tidur semata?***Aku membuka mata dengan sangat malas, kantuk masih melanda. Sakit yang kuderita selama kurang lebih sebulan ini membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Sebenarnya sakit yang kurasakan sekarang ini adalah semua otot dan tubuhku terasa lemah, kata dokter aku mengalami stres tinggi hingga dianggap sering berhalusinasi.Dua bulan yang lalu, aku kehilangan Nayla, bayiku yang masih berusia tiga bulan. Semua terjadi karena kesalahanku. Aku yang tertidur saat menyusuinya, bayiku berhenti bernapas tanpa kuketahui. Rasa bersalah membuatku tak henti mengutuk diriku, bahkan aku punya hobi mengurung diri dalam kamar seharian tanpa makan dan minum. Setelah itu be