Kamu yang sabar ya, sayang. Sandra katanya kecelakaan mobil dan itu sudah terjadi seminggu sebelumnya, diperkirakan mobilnya masuk sungai dan baru saja tadi pagi mobilnya diangkut naik, Sandra … maaf … ia tak selamat.” Adam lantas memeluk menenangkan ku.
Aku tak lagi bisa mencerna apa yang dikatakan Adam, baru saja berharap selama seminggu ini mendapatkan bantuan dari sahabatku itu, tiba-tiba saja Adam menyampaikan bahwa Sandra justru meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menangisi kepergian sahabatku itu. “Kamu tidak sedang bercanda ‘kan? Sandra tak mungkin mati, ia sehat dan baik-baik saja waktu ia ke mari, ia sudah berjanji akan menjengukku terus di sini setiap harinya, aku baru saja akan menagih janjinya tapi dia ….” Aku tak lagi bisa menyelesaikan kalimatku. Perih sekali rasa hatiku, perempuan yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP ini akhirnya meninggalkanku tanpa pamitan. Tidak ada tanda-tanda khusus ia akan meninggalkanku. Rasanya begitu cepat terasa, aku hanya teringat terakhir kali di rumah ini ia memaksaku untuk bangun dari tempat tidur agar aku cepat sehat kembali. Bisa saja inilah permintaan terakhirnya supaya aku tak cengeng dan harus melawan suami juga baby sitter yang pelan-pelan membuatku mati lalu menguasai hartaku. Licik. “Sabar ya, sayang. Biar bagaimanapun kita semua pasti akan menghadap Nya, biarkan Sandra tenang ya? Ia membutuhkan doamu sebagai sahabat terdekatnya, aku akan pergi ke rumahnya untuk melakukan penghormatan terakhir, kamu di sini saja beristirahat, kondisimu masih lemah,” aku menggelengkan kepala dengan cepat. “Aku ingin ikut, aku ingin lihat Sandra untuk terakhir kalinya,” pintaku. Adam tak banyak berbicara, ia menurut. Lagipula ini kesempatanku untuk meminta bantuan pada orang, terutama Bayu karena aku yakin ia pasti hadir di sana, tidak mungkin Bayu melewatkan melihat sahabatnya juga untuk yang terakhir kalinya. Berharap rencanaku akan berjalan dengan lancar dan pastinya aman. Dalam perjalanan ke rumah Sandra, aku terus mengenang bagaimana persahabatan kami yang begitu kental, aku bahkan mengenal Adam untuk pertama kalinya melalui sahabatku yang ceriwis itu. Kami sebenarnya naksir dengan orang yang sama namun aku yang justru beruntung karena mendapatkan hati Adam terlebih dahulu. Tetapi sekarang aku justru menyesali telah mengenal Adam hingga menikahinya, ia tak tulus. “Tetap kamu yang beruntung, Vio. Kamu cantik dan punya segalanya, sedangkan aku … apalah bukan siapa-siapa, tapi kamu jangan khawatir aku sukanya sama Adam hanya suka cinta-cinta begitu saja, Adam sudah memilihmu jadi aku yang mengalah,” sebutnya kala itu bahkan dibarengi ia menyanyikan lagu mengalah yang aku sendiri tidak tahu siapa penyanyinya. Kami lepas tertawa setelahnya. “Kamu yakin tidak ada perasaan dengan Adam? Kalau memang ia menjadi penghalang persahabatan kita, aku sama sekali tak keberatan melepaskan dia. Toh, persahabatan kita jauh lebih penting, laki-laki masih bisa kita cari lagi tapi persahabatan kita sudah ada sejak SMP, San. Aku tak mau merusak persahabatan kita hanya demi laki-laki,” ia terlihat menyunggingkan senyum. “Hei, nggak usah berpikir terlalu melankolis dan kayak sinetron begitu. Aku yakin lima ribu persen, Adam memilihmu dan aku tak keberatan asalkan kamu juga suka, aku tak mungkin menghalangi apalagi kudengar Adam langsung akan melamarmu, katanya ia sudah tak sabaran ingin bersanding dengan tuan puteri, terus aku bisa apa? Aku juga melihat kamu suka sama dia, sudahlah aku nggak apa-apa, kok,” Ia terlihat santai dan aku pun akhirnya mengiyakan. Apa yang dilakukan Sandra tetap saja kuanggap pengorbanan, karena yang mengenal Adam adalah dia pertama kalinya namun aku yang justru datang dan menghalangi cintanya. Kadang aku berpikir Sandra selalu mengatakan tidak apa-apa, hanya saja ia seperti orang yang menghindari kami sejak menikah dan keyakinanku semakin kuat jika Sandra masih punya perasaan pada Adam dengan tidak pernah sekalipun kulihat ia menggandeng laki-laki atau mengenalkannya padaku sebagai kekasihnya, ia tetap betah menyendiri. Bahkan kepergiannya ke luar negeri sebagai pelariannya saja agar tak terlalu sering bertemu dengan suamiku, entahlah apa hanya perasaanku saja. Bayang-bayang masa lalu terus menari di benakku, hingga Adam memberitahuku jika kami sudah sampai persis di rumah Sandra, di sana tak terlalu banyak kerabatnya yang hadir, bahkan aku juga tak melihat adanya polisi di sana. Aneh memang, hanya saja begitu aku disambut oleh Cici, sepupu Sandra barulah aku tahu jika beberapa hari sebelum Sandra pergi, ia menitipkan pesan jika ia nantinya pergi, ia ingin pemakamannya dilakukan tertutup. “Kenapa ia seperti tahu akan pergi? Ia bahkan menuliskan pesan begini?” aku jelas mempertanyakan pesan terakhir Sandra yang sepertinya tahu akan pergi untuk selama-lamanya sementara ia menyembunyikannya dariku, orang yang paling terdekat padanya. Sandra, kamu memang membuatku benci padamu. Air mata semakin sulit kutahan ketika jenasahnya diperlihatkan padaku sebentar saja, Sandra terbujur kaku dalam peti mati. Keadaan jenasah Sandra yang terlalu lama di dalam sungai membuatnya harus dimakamkan beserta peti matinya. “Kamu yang sabar ya, Vio. Aku yakin Sandra sudah tenang di sana.” Bayu, orang aku tunggu-tunggu akhirnya muncul, aku mengangguk pelan dan melirik ke samping kiri karena Adam masih ada di sana, aku harus bisa menahan diri terlebih dahulu memberitahukan semuanya. Prosesi pemakaman berlangsung cepat, hanya tinggal aku, Adam, Bayu dan Cici sementara kerabat lainnya sudah pulang. Aku sangat berharap Adam menjauh hingga aku bisa leluasa membicarakan tentang upaya penyelamatanku dan semua rencana licik suami tercintaku itu dengan baby sitter kami. Sepertinya aku mendapatkan kesempatan ketika Cici mengajak Adam berkeliling melihat-lihat tempat favorit Sandra selama hidupnya, dengan alasan masih lemah berjalan, aku memutuskan tetap tinggal di dalam ruang tengah bersama Bayu. Bersyukur Adam tak curiga, ia dan Cici meninggalkanku begitu saja. “Sebentar ya, sayang. Bayu, jaga Vio ya?” pesannya dan Bayu mengangguk mengiyakan. Begitu kulihat Adam dan Cici menjauh, aku lantas mendekati Bayu. Anak angkat papaku nampak jengah melihatku, seperti ada hal yang tak kena. Aku tak tahu apa itu. “Yu, aku mohon tolong aku, Adam sama baby sitter yang bekerja di rumahku ada main, mereka selingkuh dan Adam berencana akan membunuhku lantas ingin mengambil alih perusahaan, sakit akibat stres ditinggal Nayla inilah mereka manfaatkan,” perkataanku yang tiba-tiba tentu saja membuat anak angkat papa sekaligus sahabatku ini kaget, ia mengerutkan alisnya. “Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh, Vio. Aku tahu sekarang ini kamu sedang sakit. Adam sendiri beberapa kali sudah memberitahu kondisimu, ia bilang kondisimu makin parah, obat yang diresepkan buatmu sudah naik dosisnya, aku juga melihat keadaanmu hari ini semakin memburuk, mungkin kalau Adam saja memberitahuku, aku tak percaya tapi apa yang kulihat ini membuatku percaya bahwa kamu memang masih butuh bantuan medis. Apa kamu tak sadar sejak tadi kamu tidak memakai pakaian seharusnya, kamu hanya mengenakan pakaian lusuh, sandal terbalik. Adam saja menyebut bahwa kamu tidak mau menurut.” Apa maksud Bayu? Pakaianku lusuh? Aku melihat pakaianku, semuanya baik-baik saja. Memang tadi kuakui kerabat Sandra beberapa kali mencuri pandang dan sesekali berbisik setelah melihatku, mataku masih normal dan semua yang aku pakai adalah pakaian hitam-hitam untuk melihat orang mati, tidak ada yang aneh, kaki jenjangku juga dilengkapi dengan sepatu hak tinggi berwarna senada. “Bajuku lusuh gimana, Bay? Pakaian yang kupakai semuanya baik-baik saja, pakaian hitam dengan sepatu high heels, bahkan sebelum ke sini tadi aku sempat merias diri dengan bedak tipis, aku memang kehilangan Sandra, tapi aku tak mau terlihat pucat. Kenapa kamu ngomongnya aneh begitu?” tanyaku. Upayaku meminta tolong pada Bayu nampaknya harus lebih keras lagi sebab Bayu justru melihatku layaknya aku ini orang gila. Aneh. “Kamu lihat sendiri ‘kan, Bayu? Kalau kamu hanya mendengar sekilas saja pasti kamu tidak akan percaya, sudah beberapa bulan ini ia mengurung diri dan tak mau bertemu dengan orang lain, bahkan kamu sendiri yang mau menemuinya, ia tolak. Vio masih sakit, seperti hari ini aku sudah memaksanya supaya ia berdandan rapi di penghormatan terakhir sahabatnya. Tetapi kamu bisa melihat sendiri ia malah berpenampilan biasa saja, makanya tadi aku sempat membicarakan ini pada kerabat Sandra, biar tak kaget melihatnya. Aku tadi juga tidak mau membawanya ke sini, hanya saja ia ngotot. Vio masih sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang halusinasi.” Adam yang tiba-tiba sudah muncul di belakang kami menjelaskan kondisi yang sebenarnya membuatku bingung. Aku menggelengkan kepala tak terima. “Aku baik-baik saja, kalian lah yang salah melihatku,” elakku. Adam menghela napas panjang. Ia menghampiriku lantas memegang tanganku. “Sebaiknya kita pulang, sayang. Kita sudah melihat Sandra untuk yang terakhir kalinya, sebentar lagi waktunya kamu minum obat dan beristirahat,” Aku benar-benar menolak diajak pulang, aku merasa tak aman berada di dalam rumahku sendiri. Ada Adam dan Alea yang sewaktu-waktu bisa saja membunuhku. Usahaku menolak ajakan pulang suamiku tak berhasil, bahkan Bayu ikut-ikutan memasukkan aku ke dalam mobil. Sedih sekali, aku meronta-ronta, mereka tak peduli. Cici hanya memandangku dengan pandangan yang sulit ku artikan, fiks aku dinyatakan sebagai orang gila.“Malam ini kasih jatah ya?” “Ih … apaan sih, Mas?” “Siapa suruh bikin aku ket4gihan,”Aku terbangun kaget, selalu saja mimpi buruk setiap malam, kali ini benar-benar tak mengenakkan sebab dalam mimpi nyata terlihat suamiku tengah bermesraan dengan baby sitterku. Apakah ini pertanda atau hanya bunga tidur semata?***Aku membuka mata dengan sangat malas, kantuk masih melanda. Sakit yang kuderita selama kurang lebih sebulan ini membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Sebenarnya sakit yang kurasakan sekarang ini adalah semua otot dan tubuhku terasa lemah, kata dokter aku mengalami stres tinggi hingga dianggap sering berhalusinasi.Dua bulan yang lalu, aku kehilangan Nayla, bayiku yang masih berusia tiga bulan. Semua terjadi karena kesalahanku. Aku yang tertidur saat menyusuinya, bayiku berhenti bernapas tanpa kuketahui. Rasa bersalah membuatku tak henti mengutuk diriku, bahkan aku punya hobi mengurung diri dalam kamar seharian tanpa makan dan minum. Setelah itu be
Dengan kepala masih terasa berat dan tubuh lemas, aku kembali ke tempat tidur. Tidak ada lagi seleraku untuk makan dan meminum obat, pikiranku ke mana-mana. Selama beberapa bulan ini aku tak lagi bisa mesra dengan suamiku, aku bahkan tak pernah lagi peduli dengannya selain bermain dengan pikiran masa laluku, mengutuk diri terus-menerus. Apa yang dilakukan Adam bisa saja karena pelampiasannya lantaran tak pernah mendapatkan kemesraan dariku. Herannya, aku tak merasakan perasaan sakit hati sama sekali. Untuk menghilangkan letih, aku mencoba duduk di ranjang, tak lama berselang terdengar suara kendaraan di depan. Seingatku Adam sudah pergi bersama Alea dan Rafiqa, aku diam saja menunggu dan beberapa menit kemudian suara langkah mendekat ke kamarku. “Hai, sudah bangun ya, Tuan puteri?” Sandra, sahabatku yang ceriwis muncul. Aku terpana.“Kaget ‘kan? Aku memang sengaja tak mengabari, pokoknya habis dari bandara tanpa ganti baju dulu langsung ke sini untuk menemui tuan puteri supaya di
Setelah memergoki suamiku bermesraan dengan baby sitter putriku, aku sudah tak mau lagi meminum obat-obatan yang diberikan oleh Alea, prasangka buruk terus bermain di otakku. Aku selalu berhayal jika suamiku juga perempuan imut itu sedang bekerjasama untuk menghilangkan nyawaku pelan-pelan lalu mereka akan puas berduaan dan perempuan itu akan mengganti posisiku sebagai Nyonya Adam Hermawan. “Minum obatnya ya, Bu? Setelah itu beristirahatlah,” sebutnya.Aku mulai memainkan sandiwaraku untuk berpura-pura menelan obat persis di hadapannya, sebab ia tak jua beranjak dari kamarku dengan memastikan aku meminum obat terlebih dahulu. Lalu aku pun berpura-pura berbaring seakan ngantuk melandaku. Begitu kudengar suara pintu tertutup, aku menoleh dengan pelan dan bisa bernapas lega begitu melihat tak ada siapapun dalam ruangan kamarku, aku mengambil obat yang kusembunyikan di bawah lidahku lalu menyimpannya di bawah ranjangku. Perlahan bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kama
Perlahan kudengar suara langkah menjauh, aku yakin jika Alea sudah pergi meninggalkan kamarku. Aku bergerak sedikit saja, khawatir ia masih mengawasi ku. Tak menyangka jika kondisiku dimanfaatkan, yang membuatku kecewa mengapa Adam justru turut mendukungnya, ternyata semua perhatian, romantismenya hanyalah palsu belaka. Mereka mungkin merencanakan akan menghabisi nyawaku dengan terus mencekokiku obat-obatan yang aku sendiri tidak tahu apa benar obat untuk penyakit stres dan sudah diresepkan dengan benar melalui dokter. Kebiasaan baru selama dua hari tak menenggak obat yang diberikan Alea, ternyata berpengaruh baik pada fisikku, aku sudah bisa menggerakkan lebih banyak kedua kaki dan tanganku, pusing yang kerap melanda, perlahan menghilang. Aku masih menunggu selama dua atau tiga jam saat Alea lengah, aku yakin ada saatnya ia begitu asik bermain dengan anakku, Rafiqa hingga melupakan aku. Meski kutahu setiap satu jam sekali, ia akan mendatangi kamar untuk mengecek kondisiku. Aku b
Sayang, aku boleh pinjam handphone?” tanyaku. Adam dan Alea saling memandang, pandangan mereka sulit ku artikan.Adam mendekatiku dan memegang pucuk kepalaku, sebentar saja ia lantas menciumnya dengan mesra. Aksi yang sangat palsu, apalagi bisa kulihat ada kilat kemarahan di mata baby sitter yang berdiri tak jauh dari posisi kami, ia pasti cemburu. Cemburu yang tak seharusnya. “Buat apa mau pakai handphone? Urusan obat, kesehatanmu semuanya sudah diselesaikan oleh Alea, kamu tahu sendiri Alea juga dulunya seorang perawat hingga dia tahu benar apa yang harus dilakukannya, lagipula jika hanya ingin menonton … kamu bisa melakukannya nanti denganku, tapi tentu saja kamu harus menghabiskan dulu makananmu setelah itu baru kita menonton bersama di ruang tengah, kamu mau menonton apa saja, pasti aku temani,” Pandai sekali Adam membujukku, sayang sekali aku sudah mulai paham dengan akal busuk suamiku yang tampan ini dengan baby sitter yang ia sebut dulunya seorang perawat ini. Justru ia pe
Kamu yang sabar ya, sayang. Sandra katanya kecelakaan mobil dan itu sudah terjadi seminggu sebelumnya, diperkirakan mobilnya masuk sungai dan baru saja tadi pagi mobilnya diangkut naik, Sandra … maaf … ia tak selamat.” Adam lantas memeluk menenangkan ku.Aku tak lagi bisa mencerna apa yang dikatakan Adam, baru saja berharap selama seminggu ini mendapatkan bantuan dari sahabatku itu, tiba-tiba saja Adam menyampaikan bahwa Sandra justru meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menangisi kepergian sahabatku itu. “Kamu tidak sedang bercanda ‘kan? Sandra tak mungkin mati, ia sehat dan baik-baik saja waktu ia ke mari, ia sudah berjanji akan menjengukku terus di sini setiap harinya, aku baru saja akan menagih janjinya tapi dia ….” Aku tak lagi bisa menyelesaikan kalimatku. Perih sekali rasa hatiku, perempuan yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP ini akhirnya meninggalkanku tanpa pamitan. Tidak ada tanda-tanda khusus ia akan meninggalkanku. Rasanya begitu cepat terasa,
Sayang, aku boleh pinjam handphone?” tanyaku. Adam dan Alea saling memandang, pandangan mereka sulit ku artikan.Adam mendekatiku dan memegang pucuk kepalaku, sebentar saja ia lantas menciumnya dengan mesra. Aksi yang sangat palsu, apalagi bisa kulihat ada kilat kemarahan di mata baby sitter yang berdiri tak jauh dari posisi kami, ia pasti cemburu. Cemburu yang tak seharusnya. “Buat apa mau pakai handphone? Urusan obat, kesehatanmu semuanya sudah diselesaikan oleh Alea, kamu tahu sendiri Alea juga dulunya seorang perawat hingga dia tahu benar apa yang harus dilakukannya, lagipula jika hanya ingin menonton … kamu bisa melakukannya nanti denganku, tapi tentu saja kamu harus menghabiskan dulu makananmu setelah itu baru kita menonton bersama di ruang tengah, kamu mau menonton apa saja, pasti aku temani,” Pandai sekali Adam membujukku, sayang sekali aku sudah mulai paham dengan akal busuk suamiku yang tampan ini dengan baby sitter yang ia sebut dulunya seorang perawat ini. Justru ia pe
Perlahan kudengar suara langkah menjauh, aku yakin jika Alea sudah pergi meninggalkan kamarku. Aku bergerak sedikit saja, khawatir ia masih mengawasi ku. Tak menyangka jika kondisiku dimanfaatkan, yang membuatku kecewa mengapa Adam justru turut mendukungnya, ternyata semua perhatian, romantismenya hanyalah palsu belaka. Mereka mungkin merencanakan akan menghabisi nyawaku dengan terus mencekokiku obat-obatan yang aku sendiri tidak tahu apa benar obat untuk penyakit stres dan sudah diresepkan dengan benar melalui dokter. Kebiasaan baru selama dua hari tak menenggak obat yang diberikan Alea, ternyata berpengaruh baik pada fisikku, aku sudah bisa menggerakkan lebih banyak kedua kaki dan tanganku, pusing yang kerap melanda, perlahan menghilang. Aku masih menunggu selama dua atau tiga jam saat Alea lengah, aku yakin ada saatnya ia begitu asik bermain dengan anakku, Rafiqa hingga melupakan aku. Meski kutahu setiap satu jam sekali, ia akan mendatangi kamar untuk mengecek kondisiku. Aku b
Setelah memergoki suamiku bermesraan dengan baby sitter putriku, aku sudah tak mau lagi meminum obat-obatan yang diberikan oleh Alea, prasangka buruk terus bermain di otakku. Aku selalu berhayal jika suamiku juga perempuan imut itu sedang bekerjasama untuk menghilangkan nyawaku pelan-pelan lalu mereka akan puas berduaan dan perempuan itu akan mengganti posisiku sebagai Nyonya Adam Hermawan. “Minum obatnya ya, Bu? Setelah itu beristirahatlah,” sebutnya.Aku mulai memainkan sandiwaraku untuk berpura-pura menelan obat persis di hadapannya, sebab ia tak jua beranjak dari kamarku dengan memastikan aku meminum obat terlebih dahulu. Lalu aku pun berpura-pura berbaring seakan ngantuk melandaku. Begitu kudengar suara pintu tertutup, aku menoleh dengan pelan dan bisa bernapas lega begitu melihat tak ada siapapun dalam ruangan kamarku, aku mengambil obat yang kusembunyikan di bawah lidahku lalu menyimpannya di bawah ranjangku. Perlahan bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kama
Dengan kepala masih terasa berat dan tubuh lemas, aku kembali ke tempat tidur. Tidak ada lagi seleraku untuk makan dan meminum obat, pikiranku ke mana-mana. Selama beberapa bulan ini aku tak lagi bisa mesra dengan suamiku, aku bahkan tak pernah lagi peduli dengannya selain bermain dengan pikiran masa laluku, mengutuk diri terus-menerus. Apa yang dilakukan Adam bisa saja karena pelampiasannya lantaran tak pernah mendapatkan kemesraan dariku. Herannya, aku tak merasakan perasaan sakit hati sama sekali. Untuk menghilangkan letih, aku mencoba duduk di ranjang, tak lama berselang terdengar suara kendaraan di depan. Seingatku Adam sudah pergi bersama Alea dan Rafiqa, aku diam saja menunggu dan beberapa menit kemudian suara langkah mendekat ke kamarku. “Hai, sudah bangun ya, Tuan puteri?” Sandra, sahabatku yang ceriwis muncul. Aku terpana.“Kaget ‘kan? Aku memang sengaja tak mengabari, pokoknya habis dari bandara tanpa ganti baju dulu langsung ke sini untuk menemui tuan puteri supaya di
“Malam ini kasih jatah ya?” “Ih … apaan sih, Mas?” “Siapa suruh bikin aku ket4gihan,”Aku terbangun kaget, selalu saja mimpi buruk setiap malam, kali ini benar-benar tak mengenakkan sebab dalam mimpi nyata terlihat suamiku tengah bermesraan dengan baby sitterku. Apakah ini pertanda atau hanya bunga tidur semata?***Aku membuka mata dengan sangat malas, kantuk masih melanda. Sakit yang kuderita selama kurang lebih sebulan ini membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Sebenarnya sakit yang kurasakan sekarang ini adalah semua otot dan tubuhku terasa lemah, kata dokter aku mengalami stres tinggi hingga dianggap sering berhalusinasi.Dua bulan yang lalu, aku kehilangan Nayla, bayiku yang masih berusia tiga bulan. Semua terjadi karena kesalahanku. Aku yang tertidur saat menyusuinya, bayiku berhenti bernapas tanpa kuketahui. Rasa bersalah membuatku tak henti mengutuk diriku, bahkan aku punya hobi mengurung diri dalam kamar seharian tanpa makan dan minum. Setelah itu be