Aku mencebik, “Enak gundulmu!”Dia pikir enak memiliki suami seperti Nino? Ada enaknya tapi banyak tidak enaknya karena semua sikap manjanya yang asli muncul sekarang, padahal sebelumnya meskipun manja tidak seperti ini. Sekarang malah sampai mengalahkan manjanya Maura.“Pasti-”“Sudah, sudah. Jangan berandai-andai sesuatu yang mustahil! Bereskan itu semua kekacauan di dapur, jangan lupa cuci piringnya.”“Bun-”“Bunda tidak mau tahu. Bunda mau istirahat, lelah, hati-hati ada tumpahan minyak di dapur!” Setelah mengatakan itu aku meninggalkan kamar Melody.Belanjaan akan kubereskan nanti, rasanya ingin segera membaringkan tubuh di kasur.Pegal sekali rasanya. Nino itu bujangan tapi seperti lelaki yang sudah pro, tubuhku seperti remuk dibuatnya.“Sayang, mau ke mana?”Melewati ruang tengah Nino memanggil.“Mau istirahat sebentar, biarkan saja belanjaannya.”“Aku temani ya.” Dia langsung b
“Kenapa, Mas?”Nino mengangkat kertas di atasnya.[Bunda, aku pinjam kartu atm ya. Nanti aku kembalikan. Kurang baik apa aku ini, meski Bunda jahat karena sibuk bermesraan dengan Bang Nino, aku tetap minta izin pinjam kartu atmnya.]Aku menghela napas panjang. Melody malah berulah lagi, padahal sebelumnya dia menurut saat kusuruh untuk tidak keluar rumah tapi sekarang malah pergi diam-diam. Mungkin karena masih sakit hati melihatku menikah dengan Nino.“Maaf, harusnya aku tidak ikut tidur agar bisa mengawasi Melody.”“Tidak usah minta maaf, aku juga tidak tahu dia akan pergi begitu saja.”Keluar dari kamar Melody aku mencari ponsel untuk melihat rekaman cctv di kamar Melody, apakah dia memang pergi sendiri atau membuat janji dengan orang lain.“Kamu pasang cctv di kamar Melody?” tanya Nino.“Hm. Sana, kamu tidak boleh lihat.”Nino langsung bergeser menjauh.Melody tidak terlihat menghubungi sia
“Mel!”“Bercanda, Bun. Pokoknya tidak ada yang menggeser Bang Nino dari hatiku,” celetuknya.“Melody!” Aku melotot padanya.“Berbagi sedikit, Bun. Jangan pelit!”Aku menghela napas berat, “Susah memang bicara denganmu.”“Ya sudah, tidak usah bicara.”“Mel, kalau Bunda bicara jangan terus kamu balas. Dengarkan baik-baik.” Nino ikut bicara.“Bang Nino kenapa selalu membela Bunda sih?” Melody mencebik.“Jangan panggil Abang terus, kamu pikir tukang bakso apa. Panggil Papa, dari kemarin aku ini sudah menjadi Papamu. Iya ‘kan, Dek?” Nino mengelus puncak kepala Maura yang kini duduk di pangkuanku.“Kalau kamu begini terus lebih baik kamu tinggal berdua bersama Edwin saja. Biar nanti Bunda bicara pada Ayahmu untuk menjemput kalian atau sekalian saja kamu tinggal bersama orang tuanya Edwin, biar bertengkar setiap hari kalian!” Aku tersulut emosi karena melihat Melody begini terus.“Tidak mau! Enak saja
Aku lupa jika Melody dan Edwin satu kelas.“Saya mewakili ibunya Edwin yang memang sedang sibuk, Bu.”“Oh iya, Bu. Semoga Edwin lekas sembuh.”“Terima kasih, Bu.”Rasanya lega setelah sambungan telepon terputus. Bu Eki pasti tidak akan curiga apalagi tahunya Melody pindah sekolah.Semoga saja tidak ada hal yang tak diinginkan terjadi. Selama Melody masih dalam masa kehamilan, aku tidak akan bisa tenang apalagi sekarang perutnya sudah mulai membesar. Orang yang sudah paham pasti mengerti jika Melody sedang hamil.“Bunda bawa makanan dulu ya, kalau tidak mau ke dokter setidaknya kamu harus makan.”“Iya, tapi sedikit saja, Bun. Lidahku pahit, kepala pusing dan berat, ulu hatiku juga sakit,” keluhnya.“Tunggu sebentar ya. Kalau butuh apa-apa panggil saja, Bunda di dapur.”“Nanti ke sini lagi ya, Bun.”Siapa saja yang sedang sakit pasti akan seperti anak kecil.Kutinggalkan Edwin dan beralih ke dapur untuk membuatkannya bubur. Setelah kembali menjadi ibu rumah tangga, aku tidak pernah meny
“Mulut sampah!” ujarku sambil mendelik pada Aida.Terdengar bunyi bel, aku buru-buru meninggalkan kedua wanita itu dan menunggu Maura di pintu kelasnya dan segera pulang.Jika tahu begini lebih baik aku diam di rumah menemani Edwin yang sedang sakit. Kenapa juga aku harus bertemu dengan dua orang itu. Meski aku tidak mengenal mamanya Indira tapi aku berfirasat wanita itu bermulut ember apalagi Aida.Aku tidak peduli apa yang akan mereka bicarakan pada yang lain. Tapi rasanya tetap sakit saat Melody direndahkan begitu meski memang benar putriku melakukan kesalahan. Tapi aku sebagai seorang ibu tidak terima.Dadaku sesak.“Bunda kenapa menangis?”Aku sampai tidak sadar sedang bersama dengan Maura sekarang. Mobil langsung kutepikan di pinggir jalan.“Bunda tidak menangis.” Kepalaku menggeleng tapi air mata berjatuhan.“Bunda jangan menangis.” Maura malah ikut menangis, dia mendekat memelukku membuat tangis ini semakin tak bisa ditahan.Sadar jika masalah yang berawal dari aib ini tidak a
Melody.Aku buru-buru keluar, takut sekali Melody tahu apalagi parahnya jika dia dihujat, sudah pasti akan merusak mentalnya, bisa saja kondisinya langsung drop.Cklek!Edwin ada di sana saat kubuka pintu kamar Melody. Sang pemilik kamar malah sedang terlelap.“Kita bicara di luar, Bun,” ujar Edwin lalu berjalan melewatiku.Dari gelagatnya Edwin seperti sudah tahu apa yang terjadi.“Melody belum melihat ponselnya, Bun.”Lega rasanya mendengar itu. Meski pada akhirnya dia akan tahu, setidaknya untuk saat ini jangan sampai Melody memikirkan masalah. Dokter mengatakan Melody tidak boleh stres, jika mendengar aibnya tersebar sudah pasti Melody akan sangat terpukul dan itu berpengaruh pada janin dan yang paling kutakutkan dia bisa nekat menyakiti kandungannya jika saja dalam kondisi terpojok. Melody masih labil.Meskipun dia salah, sebagai ibu aku tetap ingin melindunginya. Dia suah melemparkan kotoran padaku, merusak nama baik keluarga tapi bukan berarti aku menjadi membencinya karena aku
Sebelumnya aku dihujani pesan dari teman-teman kuliah karena masalah Melody dan sekarang aku diserbu oleh keluargaku sendiri dengan pertanyaan soal benar tidaknya aku menikah dengan Nino. Sudah pasti ini karena ibu, ibu paling bangga memiliki menantu seperti Nino. Tidak heran jika saat diberi lampu hijau oleh Nino, ibu langsung memberitahu keluarga yang lain. Semakin hilang selera makanku. Lebih baik menonaktifkan ponsel daripada kepalaku semakin pusing. Akhirnya aku hanya menemani anak-anak makan tanpa niat untuk menyentuh makanan di hadapanku sedikit pun. “Bunda diet?” celetuk Melody. “Makan tidak usah sambil bicara!” balasku. Melody dan Edwin sudah merapikan kamar yang mereka buat berantakan. “Mel, habis makan cuci piringnya.” “Kenapa harus aku? Edwin juga ikut makan, Bun.” “Tidak usah kalau tidak mau, biarkan saja!” Selalu saja membantah. Aku beralih pada Maura, “adek, nanti habis makan boleh main tapi jangan keluar pagar oke? Jangan main di dapur, kalau masuk kamar mandi t
“Bunda, sakit!” Aku yang baru saja terlelap harus kembali membuka mata saat mendengar rengekan Melody. Dari tadi sore dia seperti ini sampai memaksa ke rumah sakit dan pihak rumah sakit menyuruh kembali lagi nanti karena memang belum waktunya melahirkan karena baru pembukaan satu. Edwin sedang dalam perjalanan. Aku memintanya datang karena Edwin juga harus ada di samping Melody. Dia baru menyelesaikan ujian sekolah jadi bisa tenang pergi ke sini. Saat dinyatakan hamil, Melody seharusnya persiapan ujian kenaikan kelas. Tapi takdirnya seperti ini. Sangat disayangkan namun aku akan menyuruhnya mengambil paket nanti. Tidak mungkin hanya memiliki ijazah SMP saja bukan. Apalagi cita-citanya tinggi. “Ke rumah sakit saja, Bun. Sakit sekali. Atau minta obat penghilang rasa sakit, aku tidak kuat,” rengeknya. “Namanya orang akan melahirkan memang begini Mel.” “Tapi sakit, Bun.” “Sabar.” “Bunda bisa bilang begitu karena tidak merasakan. Pokoknya aku tidak mau hamil lagi!” “Siapa bilang? B