“Mel!”
“Bercanda, Bun. Pokoknya tidak ada yang menggeser Bang Nino dari hatiku,” celetuknya.“Melody!” Aku melotot padanya.“Berbagi sedikit, Bun. Jangan pelit!”Aku menghela napas berat, “Susah memang bicara denganmu.”“Ya sudah, tidak usah bicara.”“Mel, kalau Bunda bicara jangan terus kamu balas. Dengarkan baik-baik.” Nino ikut bicara.“Bang Nino kenapa selalu membela Bunda sih?” Melody mencebik.“Jangan panggil Abang terus, kamu pikir tukang bakso apa. Panggil Papa, dari kemarin aku ini sudah menjadi Papamu. Iya ‘kan, Dek?” Nino mengelus puncak kepala Maura yang kini duduk di pangkuanku.“Kalau kamu begini terus lebih baik kamu tinggal berdua bersama Edwin saja. Biar nanti Bunda bicara pada Ayahmu untuk menjemput kalian atau sekalian saja kamu tinggal bersama orang tuanya Edwin, biar bertengkar setiap hari kalian!” Aku tersulut emosi karena melihat Melody begini terus.“Tidak mau! Enak sajaAku lupa jika Melody dan Edwin satu kelas.“Saya mewakili ibunya Edwin yang memang sedang sibuk, Bu.”“Oh iya, Bu. Semoga Edwin lekas sembuh.”“Terima kasih, Bu.”Rasanya lega setelah sambungan telepon terputus. Bu Eki pasti tidak akan curiga apalagi tahunya Melody pindah sekolah.Semoga saja tidak ada hal yang tak diinginkan terjadi. Selama Melody masih dalam masa kehamilan, aku tidak akan bisa tenang apalagi sekarang perutnya sudah mulai membesar. Orang yang sudah paham pasti mengerti jika Melody sedang hamil.“Bunda bawa makanan dulu ya, kalau tidak mau ke dokter setidaknya kamu harus makan.”“Iya, tapi sedikit saja, Bun. Lidahku pahit, kepala pusing dan berat, ulu hatiku juga sakit,” keluhnya.“Tunggu sebentar ya. Kalau butuh apa-apa panggil saja, Bunda di dapur.”“Nanti ke sini lagi ya, Bun.”Siapa saja yang sedang sakit pasti akan seperti anak kecil.Kutinggalkan Edwin dan beralih ke dapur untuk membuatkannya bubur. Setelah kembali menjadi ibu rumah tangga, aku tidak pernah meny
“Mulut sampah!” ujarku sambil mendelik pada Aida.Terdengar bunyi bel, aku buru-buru meninggalkan kedua wanita itu dan menunggu Maura di pintu kelasnya dan segera pulang.Jika tahu begini lebih baik aku diam di rumah menemani Edwin yang sedang sakit. Kenapa juga aku harus bertemu dengan dua orang itu. Meski aku tidak mengenal mamanya Indira tapi aku berfirasat wanita itu bermulut ember apalagi Aida.Aku tidak peduli apa yang akan mereka bicarakan pada yang lain. Tapi rasanya tetap sakit saat Melody direndahkan begitu meski memang benar putriku melakukan kesalahan. Tapi aku sebagai seorang ibu tidak terima.Dadaku sesak.“Bunda kenapa menangis?”Aku sampai tidak sadar sedang bersama dengan Maura sekarang. Mobil langsung kutepikan di pinggir jalan.“Bunda tidak menangis.” Kepalaku menggeleng tapi air mata berjatuhan.“Bunda jangan menangis.” Maura malah ikut menangis, dia mendekat memelukku membuat tangis ini semakin tak bisa ditahan.Sadar jika masalah yang berawal dari aib ini tidak a
Melody.Aku buru-buru keluar, takut sekali Melody tahu apalagi parahnya jika dia dihujat, sudah pasti akan merusak mentalnya, bisa saja kondisinya langsung drop.Cklek!Edwin ada di sana saat kubuka pintu kamar Melody. Sang pemilik kamar malah sedang terlelap.“Kita bicara di luar, Bun,” ujar Edwin lalu berjalan melewatiku.Dari gelagatnya Edwin seperti sudah tahu apa yang terjadi.“Melody belum melihat ponselnya, Bun.”Lega rasanya mendengar itu. Meski pada akhirnya dia akan tahu, setidaknya untuk saat ini jangan sampai Melody memikirkan masalah. Dokter mengatakan Melody tidak boleh stres, jika mendengar aibnya tersebar sudah pasti Melody akan sangat terpukul dan itu berpengaruh pada janin dan yang paling kutakutkan dia bisa nekat menyakiti kandungannya jika saja dalam kondisi terpojok. Melody masih labil.Meskipun dia salah, sebagai ibu aku tetap ingin melindunginya. Dia suah melemparkan kotoran padaku, merusak nama baik keluarga tapi bukan berarti aku menjadi membencinya karena aku
Sebelumnya aku dihujani pesan dari teman-teman kuliah karena masalah Melody dan sekarang aku diserbu oleh keluargaku sendiri dengan pertanyaan soal benar tidaknya aku menikah dengan Nino. Sudah pasti ini karena ibu, ibu paling bangga memiliki menantu seperti Nino. Tidak heran jika saat diberi lampu hijau oleh Nino, ibu langsung memberitahu keluarga yang lain. Semakin hilang selera makanku. Lebih baik menonaktifkan ponsel daripada kepalaku semakin pusing. Akhirnya aku hanya menemani anak-anak makan tanpa niat untuk menyentuh makanan di hadapanku sedikit pun. “Bunda diet?” celetuk Melody. “Makan tidak usah sambil bicara!” balasku. Melody dan Edwin sudah merapikan kamar yang mereka buat berantakan. “Mel, habis makan cuci piringnya.” “Kenapa harus aku? Edwin juga ikut makan, Bun.” “Tidak usah kalau tidak mau, biarkan saja!” Selalu saja membantah. Aku beralih pada Maura, “adek, nanti habis makan boleh main tapi jangan keluar pagar oke? Jangan main di dapur, kalau masuk kamar mandi t
“Bunda, sakit!” Aku yang baru saja terlelap harus kembali membuka mata saat mendengar rengekan Melody. Dari tadi sore dia seperti ini sampai memaksa ke rumah sakit dan pihak rumah sakit menyuruh kembali lagi nanti karena memang belum waktunya melahirkan karena baru pembukaan satu. Edwin sedang dalam perjalanan. Aku memintanya datang karena Edwin juga harus ada di samping Melody. Dia baru menyelesaikan ujian sekolah jadi bisa tenang pergi ke sini. Saat dinyatakan hamil, Melody seharusnya persiapan ujian kenaikan kelas. Tapi takdirnya seperti ini. Sangat disayangkan namun aku akan menyuruhnya mengambil paket nanti. Tidak mungkin hanya memiliki ijazah SMP saja bukan. Apalagi cita-citanya tinggi. “Ke rumah sakit saja, Bun. Sakit sekali. Atau minta obat penghilang rasa sakit, aku tidak kuat,” rengeknya. “Namanya orang akan melahirkan memang begini Mel.” “Tapi sakit, Bun.” “Sabar.” “Bunda bisa bilang begitu karena tidak merasakan. Pokoknya aku tidak mau hamil lagi!” “Siapa bilang? B
POV Author.“Sorry. Tapi aku tidak ingat pernah janji seperti itu,” ujar Edwin dengan santainya lalu membaringkan tubuh di samping Zea dan memandangi bayi mungil itu.Mungkin awalnya Edwin memang berniat menunaikan janji itu tapi sekarang tidak. Ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Melody karena ia pun sudah janji pada Serra untuk menjaga Melody.“Jangan pura-pura amnesia ya, Ed! Aku masih ad- Aish! Ponselku diganti oleh Bunda,” geram Melody ingat jika rekaman janji Edwin ada di ponselnya yang dulu.“Tidak ada bukti ‘kan? Ya sudah, tidak usah diingat. Terima saja kalau kita akan selalu bersama!”Melody mencebik, “Jangan harap! Sana keluar, aku mau istirahat.”“Kenapa harus keluar? Bunda tidak melarang aku ke kamar ini berarti boleh tidur di sini, lagi pula aku juga sebentar lagi lulus jadi bukan anak SMA lagi.”“Ed, jangan buat aku semakin kesal ya!”Edwin tidak memperdulikan dan memilih untuk memejamkan m
“Aku tidak mau, Bun. Aku mau membawa Melody tinggal di kontrakan saja kalau Bunda mengizinkan.”“Bunda tidak akan bisa melarang karena Melody itu istri kamu tapi setidaknya tinggal dulu bersama Bunda sampai Zea berusia dua atau tiga bulan. Melody juga belum bisa mengurus segalanya sendiri.”“Iya, Bun. Aku hanya akan menemui Mama saja tapi tidak untuk tinggal di sana.”“Bunda tahu kamu mau belajar mandiri, Bunda akan dukung.” Serra menepuk pundak menantunya itu.“Besok kita kembali, kamu bisa langsung bertemu ibumu,” ujar Nino.Edwin mengangguk lalu kembali ke halaman belakang karena tadi Melody mengatakan jangan pergi lama-lama. Melody juga sebenarnya belum terlalu leluasa untuk menggendong Zea.“Melody masih susah diajari lagi, bagaimana nanti dia merawat Zea,” gumam Serra.“Pakai baby sitter?”Serra langsung menolehkan kepalanya, “Kalau begitu kapan Melody bisa mandiri, Mas. Dia harus belajar mengurus Zea sendiri, belajar hidup bersama dengan Edwin. Meskipun mereka itu menikah karen
Bu Sanjaya tidak akan bisa melawan Melody, Serra saja sebagai ibunya sering kelimpungan menghadapi anak sulungnya itu apalagi Bu Sanjaya yang notabene orang lain dan sekarang berstatus sebagai mertua Melody.“Tadi Mama hanya bercanda loh, tidak usah dimasukkan hati,” ujar Bu Sanjaya mencoba mencari aman, bisa bahaya jika Melody mengadu.Saat ini Pak Sanjaya tengah meminta dukungan dari ayahnya Nino karena ingin mencalonkan diri. Pejabat memang begini, mencari dukungan kesana-kemari dan harus bersikap baik, jika terlihat saja sedikit celahnya hancur sudah citra yang sudah dibangun.Dan Bu Sanjaya dengan santainya waktu itu bersikap buruk di depan orang-orang apalagi pada Melody yang notabene anak sambung Nino.“Tapi bercandanya tidak lucu, Tante. Mana ada bercanda merendahkan begitu, tatapan Tante jelas sekali merendahkan saya,” cibir Melody. Ia bukan orang yang akan berpura-pura baik, jika tidak suka ya pasti akan memperlihatkan ketidak sukaannya itu. Melody bukan orang bermuka dua ya