Share

Misteri Hilangnya Sahabatku
Misteri Hilangnya Sahabatku
Author: Rahmaniar

Tragedi

Author: Rahmaniar
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku Raisya, usiaku 17 tahun. Aku tinggal di desa Pulo Tanjong, sebuah desa terpencil yang terletak di kaki pegunungan tepatnya di bagian Barat Tanah Rencong. Meskipun terpencil, sentuhan tangan pemerintah sudah terasa jauh sebelum aku dan keluarga bermukim ke desa ini, sebuah sekolah dasar yang dibangun di jalur utama desa menjadi buktinya.

Satu hal yang menarik perhatianku tentang desa ini adalah adanya sebuah bangunan tua khas Eropa di dalam pekarangan SD tersebut.

Kudengar, bangunan unik berbentuk kastil itu telah ada sejak abad ke-18, konon katanya bangunan itu adalah bangunan setan, siapa saja yang berani masuk maka nyawa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, penduduk desa Pulo Tanjong menjunjung tinggi sebuah pantangan dari para leluhur mereka untuk tidak memasuki bangunan tua itu.

***

"Usir dia dari desa ini!"

"Bakar rumahnya!"

"Pasung dia!"

Masih kuingat kejadian beberapa bulan yang lalu, bagaimana aku dan keluargaku diarak dan dihakimi oleh seluruh penduduk desa. Aku dianggap sebagai penyebab dari hilangnya Hafizah, aku dituduh telah mempengaruhi Hafizah untuk masuk ke dalam bangunan tua, sehingga ia diculik dan dibawa oleh makhluk astral penunggu bangunan tua itu.

"Tolong jangan usir kami, saya berjanji akan mengawasi Raisya, saya mohon... kasihanilah kami..." betapa hinanya ayahku memohon-mohon untuk meminta belas kasihan dari penduduk desa, lalu bertekuk lutut di depan kek Qasim, kakeknya Hafizah yang paling dihormati di desa ini.

Ibuku menangis histeris sambil menggendong adikku Malik yang masih kecil, sementara aku sendiri sudah dipasung. Bersuara pun tidak bisa, karena yang kami hadapi adalah sepuh-sepuh desa, yakni sebagai pemegang kekuasaan tertinggi desa. Bahkan Pak RT sendiri hanya diam membisu kala menyaksikan kami yang diperlakukan secara tidak adil, wajah harunya menyiratkan bahwa ia tidak sepemikiran dengan penduduk desa, namun tetap saja itu tak berarti.

Ayah tidak bisa berbuat apa-apa mengingat kondisi keuangan kami sedang pelik, tidak ada sanak saudara karena kami adalah keluarga rantau yang kebetulan bermukim ke desa pelosok ini.

Satu anggukan dari Kek Qasim saat itu adalah alasan mengapa kami masih menetap di desa ini, tentunya dengan syarat-syarat yang telah disepakati.

Lamunanku buyar seketika saat butiran kristal ini terjun bebas dari pelupuk mataku. Bila kuingat kejadian itu hatiku berkobar, rasanya ingin melakukan segala cara untuk bisa menemukan Hafizah sekalipun harus kembali masuk ke dalam bangunan itu lagi.

Namun lagi-lagi aku dipatahkan oleh janjiku pada ayah, bahwa aku tidak akan melakukan hal-hal aneh lagi.

Kuusap air mata dengan ujung lengan kemeja seragam sekolah yang kupakai. Dengan langkah yang terasa berat, kususuri jalanan berkerikil penuh debu.

Jalan pulang menuju desa tempat tinggalku masih setengah kilometer lagi, ada banyak siswa lain yang pulang sekolah dengan jalan kaki juga sepertiku.

"Raisya...!"

Aku berbalik, kudapati Salwa berlari kecil menghampiriku.

"Kamu abis nangis lagi, Sya?" Salwa mulai mensejajarkan langkahnya denganku.

"Tidak, banyak debu jadi mataku perih," jawabku asal.

"Aku adalah sahabat dekatmu, jadi percuma berbohong."

"Oleh karena itu, kali ini jangan ada pertanyaan lanjutan lagi kenapa aku menangis."

"Aku merasa sangat bersalah padamu, ingin sekali jelasin sama ibunya Fizah bahwa ini bukan salahmu. Kami yang salah, kami yang telah memaksamu ikut masuk ke sana."

"Dan sialnya aku setuju," aku tersenyum pahit.

"Sulit mencari keadilan di desa kita," ucap Salwa.

"Dan aku sendiri yang akan mencetuskan keadilan itu disini," aku membalas mantap dengan pandangan lurus ke depan.

"Sya..." Salwa menatapku seraya memasang wajah penuh rasa iba, dan aku sangat membenci itu.

"Jangan menatapku seperti itu, aku tidak semenyedihkan itu kali, Sal!" aku tersenyum karena aku tidak suka dikasihani, bukan angkuh melainkan tidak nyaman saja membuat seseorang terbebani dengan permasalahanku meskipun hanya sekedar rasa kasihan.

"Hafizah adalah cucu kesayangan Kek Qasim dan kamu penduduk asli desa ini, sedangkan aku hanya pendatang, jelas di antara kita akulah yang dijadikan sebagai kambing hitam. Jadi... yang mestinya perlu dikasihani adalah pemikiran pemimpin desa yang belum bisa memperlakukan warganya secara adil," lanjutku.

"Aku tidak peduli dengan penduduk desa, sampai kapan pun aku tetap berpihak padamu, Sya."

Aku berhenti menyahut.

Setiap hari kami menempuh jarak sekitar 1,5 km menuju sekolah ke desa yang sedikit lebih maju dari desa kami. Kebanyakan masyarakat desa masih bertransportasi menggunakan sepeda, begitu juga dengan ayahku yang berprofesi sebagai PNS.

Benar, beberapa hari setelah kejadian yang membuat kami hampir terusir dari desa ini, ayahku mendapat panggilan kerja, tentu saja setelah mengurusnya dengan susah payah.

Aku sudah terbiasa jalan kaki dan aku sangat menikmatinya, pemandangan desa ini tidak pernah membosankan, bahkan bagiku serasa indah di setiap harinya. Tentu tidak seindah nasibku, hampir seluruh penduduk desa mengucilkan aku sekaligus keluargaku. Bagi mereka melanggar pantangan desa khususnya bagi pendatang baru seperti kami adalah dosa besar, tidak masuk akal!

Ayah berjanji akan membawa kami keluar dari desa ini, desa yang dikendalikan oleh sepuh-sepuh yang rata-rata tidak terpelajar ini. Akan tetapi, hati kecilku menolak, aku tidak akan keluar dari desa ini sebelum aku berhasil memperbaiki nama baikku sekeluarga, sekaligus membawa Hafizah ke hadapan Kek Qasim baik dalam keadaan bernyawa maupun berupa jasad.

Terkadang aku begitu menyesali keputusanku, andai saja saat itu sedikit saja aku menguatkan hati. Benar kata orang, terkadang memiliki rasa tidak tegaan itu bagaikan lilin, berusaha menjadi penerang bagi yang lain, namun malah diri sendiri yang binasa.

Ya, semua masalah yang menimpa keluargaku berawal dari kecerobohanku beberapa bulan yang lalu.

Saat itu...

Aku menyetujui ajakan Hafizah dan Salwa untuk ikut masuk ke dalam bangunan tua.

"Aku tidak mau," tekanku saat kedua sahabatku itu memaksaku untuk yang kesekian kalinya.

"Ayolah Sya, demi persahabatan kita. Aku yakin kita bertiga akan menjadi arkeolog terkenal setelah ini," lagi-lagi Hafizah bersikeras.

"Masuk ke dalam bangunan tua itu sama saja melanggar pantangan terbesar desa kita, aku tidak ingin kita terkena masalah jika ketahuan warga terutama kakekmu Zah," entah berapa puluh kali aku mengatakan hal yang sama itu.

"Benar juga. Katanya bangunan itu banyak penunggunya lagi, ada hantu tentara penjajah disana," sahut Salwa sembari bergidik.

"Sal... kok kamu gitu sih, tadi kan kamu setuju buat ikut," gerutu Hafizah, merasa kesal karena Salwa yang tiba-tiba beralih dari pihaknya.

Salwa terkekeh, sementara aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Aku percaya dengan hal-hal gaib. Tapi, jika kita berpikiran negatif terus, otomatis lingkungan sekitar kita juga akan mengeluarkan aura negatif, begitu pula dengan bangunan tua itu. Sebenarnya aku tidak sepaham dengan kakekku, dia benar-benar membuat penduduk desa ketakutan dengan mitosnya itu. Setan itu menyesatkan! Semakin manusia takut semakin mereka senang untuk mengganggu. Lihatlah para arkeolog dunia yang sering kita baca dalam buku sejarah, ngga ada hantu-hantuan justru mereka diberi penghargaan oleh dunia karena penemuannya itu."

"Kau memang benar Fizah, tapi pribahasa mengatakan, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Aku hanya pendatang baru di desa ini, jadi aku tidak mau terkena masalah karena melanggar sesuatu yang ditetapkan disini," lagi-lagi aku menolak.

"Sya... bangunan tua itu dibangun oleh para penjajah, pasti di dalamnya tersimpan benda-benda yang memiliki nilai sejarah. Jika kita berhasil mempublikasinya bukan kita aja yang terkenal tapi desa kita juga akan maju."

"Benar juga ya..." timpal Salwa.

"Kita hanya masuk sebentar untuk melihat-lihat dulu. Aku punya kuncinya! Ini kunci gerbang SD dan yang paling penting kunci pintu utama bangunan tua. Susah payah aku mencuri kunci ini dari kakekku kemarin," Hafizah menunjukkan kunci-kunci itu dengan wajah berbinar.

Aku dan Salwa menatap tak percaya, bagaimana Hafizah bisa senekad itu?

"Ayolah Sya... kumohon ayolah..." wajah cantik bak Putri Kerajaan Eropa itu memelas sambil menangkupkan kedua tangannya.

"Iya Sya, kasian juga Fizah. Mana udah ngambil kuncinya lagi," kali ini keduanya bekerja sama untuk merayuku.

Tentu saja aku tidak tega melihat ekspresi kedua sahabatku itu, dan akhirnya tanpa pikir panjang lagi, aku pun mengangguk setuju.

Sepulang dari sekolah tepatnya setelah memastikan SD itu benar-benar sepi, kami bertiga segera menyelinap masuk.

Sebuah jam besar berbentuk persis seperti bangunan tua itu sendiri, tampak menempel secara permanen di atas dinding bagian depan bangunan, jam yang unik namun mengandung kemistisan. Melihatnya saja aku merinding.

Kata penjaga sekolah, jam itu berhenti berputar pada jam 02.52 dini hari dan berfungsi kembali pada jam 14.52 siang hari begitu seterusnya, padahal baterainya sudah beberapa kali digonta-ganti dengan yang baru, namun tetap saja tidak berpengaruh.

"Aku udah nggak sabar nih, bentar lagi kita terkenal guys," ucap Hafizah yang berjalan paling depan karena dia yang akan membuka pintu utama bangunan tua.

"Bismillah dulu Zah," saranku sebelum ia memasukkan anak kunci.

Hafizah tampak kesulitan, beberapa kali ia memasukkan ulang anak kunci namun tak berhasil, mungkin sudah berkarat.

"Kok aku merinding ya," ucap Salwa bergetar. Pandangannya selalu ke atas ventilasi pintu, tepatnya pada jam aneh itu.

"Kok perasaanku ngga enak ya," balasku.

"Baiknya kalian bantu aku dari pada ngoceh gak jelas," ucap Hafizah kemudian.

Aku dan Salwa akhirnya berusaha ikut membuka pintu berukuran raksasa itu secara bergantian. Beberapa menit kemudian usaha kami ternyata membuahkan hasil.

Pintu terbuka bersamaan dengan suara derit engsel pintu yang berkarat bergema ke bagian dalam bangunan. Aroma dupa, aroma itu yang pertama kali menyambut indra penciuman kami. Namun perhatian kami sontak teralihkan oleh isi bangunan ini.

"Amazing..." ucap Hafizah.

"Guci mahal, nih! Bisa kaya mendadak kalau kita jual," ucap Salwa seraya memasukkan guci kecil ke dalam tasnya

"Taruh balik!" sentak Hafizah membuat Salwa tersenyum kikuk, lalu meletakkan kembali benda bersejarah itu pada tempatnya.

Aku sendiri merasa takjub melihat isi bangunan angker yang pantas disebut sebagai kastil kerajaan ini, meskipun katanya tidak ada seorang pun penduduk desa yang pernah memasukinya, namun kondisi bagian dalamnya tampak terjaga dan terawat walau sedikit berdebu.

"Ada singgasananya juga," ucap Salwa yang tiba-tiba saja duduk di atas singgasana raja dengan santainya.

"Bisa-bisa si Louis marah tuh, main duduk aja," celetukku.

Meskipun isi bangunan ini megah, namun suasananya remang-remang, kalau saja tidak ada lubang ventilasi di bagian atas tiap-tiap jendela, otomatis tempat ini gelap total.

Di dalam ruangan yang luas ini, ada banyak jejeran pintu. Namun, hanya satu pintu ruangan saja yang berhasil kami buka karena memang tidak terkunci.

"Gudang ini," ucapku seraya menutup kembali pintu gudang yang berisi bangku dan meja tak terpakai.

"Tidak ada yang menarik lagi disini, ayo ke lantai dua!" ajak Hafizah yang berjalan di belakang aku dan Salwa.

"Aku ngga sabar lagi, bentar lagi kita terkenal."

"Kalau terkenal kita bisa dapat uang banyak kan?" tanya Salwa.

"Se-ga-la-nya," tekan Hafizah yang membuat Salwa berbinar.

"Aku jalannya di tengah dong," ucap Salwa seraya menukar posisinya dengan Hafizah.

Saat akan menginjakkan kaki pada anak tangga pertama, aku yang berjalan paling depan refleks berbalik ke belakang karena aku mendengar helaan napas berat pria, namun samar dan bahkan hampir tidak terdengar.

Spontan kuputar badan, "Teman-te..." ucapanku terputus.

Betapa kagetnya aku karena tidak mendapati Hafizah, padahal tadi dia yang paling banyak mengoceh.

"Loh! Fizah mana Sal?" tanyaku, refleks Salwa memutar tubuh ke belakang.

"Tadi ada Sya, kok sekarang ngga ada... jangan-jangan Raja Louis..." segera kuisyaratkan Salwa untuk diam sebelum ia menyelesaikan kata-katanya.

"Kita cari dia," ucapku kemudian.

Aku dan Salwa jelas panik, mengingat Hafizah tipikal gadis cerdas yang selalu serius, mustahil dia bercanda.

Dengan langkah tergesa-gesa aku dan Salwa kembali menyisir tempat yang telah kami lewati sebelumnya, termasuk gudang, karena hanya itu ruang satu-satunya yang tidak terkunci, dalam kondisi ruangan setengah gelap, kami menggeledah bangku-bangku tapi nihil, Hafizah tidak berhasil kami temukan, kemana dia...

"Aku takut Sya, Raja Louis pasti sudah menculik Fizah," ucap Salwa bergetar, tangannya tidak pernah lepas dari peganganku.

Hari mulai gelap, tak ada lagi cahaya yang bisa menembus ke dalam bangunan tua. Aku dan Salwa begitu ketakutan sembari duduk meringkuk dalam kegelapan. Kami terpaksa tidak membuka pintu takut ketahuan warga yang lewat, karena posisi pintu utama berhadapan langsung dengan jalan desa.

Keluar tanpa Hafizah juga tidak mungkin, wajah Kek Qasim benar-benar menyita pikiranku, entah bagaimana jadinya nanti kalau ia tahu bahwa cucu kesayangannya menghilang di dalam bangunan tua ini.

"Sudahlah Sya, ayo kita keluar cari bantuan!" ucap Salwa mulai terisak.

"Kita bisa terkena masalah Sal," jawabku seraya terus memikirkan jalan keluar.

Salwa terus saja menangis ketakutan seraya merengek minta keluar. Otakku masih berputar mencari solusi lain, jika keluar dan meminta bantuan warga sama saja dengan menenggelamkan diri ke dalam rawa buaya, aku dilema.

"Kamu egois, Sya!"

Salwa tiba-tiba berlari ke arah pintu utama, ini membuatku tak sempat lagi memikirkan cara lain selain menyetujuinya.

***

Related chapters

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Jasad Gadis Tak Dikenal

    "Mayat! Mayat! Ada mayat...!"Pagi buta di hari Minggu, Bu Limah berteriak histeris seraya berlari tak karuan ke arah bapak-bapak yang kebetulan baru pulang dari surau. Bu Limah adalah tetanggaku yang baik hati, rumahnya berada di belakang rumah Pak RT, tepatnya bersebelahan langsung dengan rumahku . Wanita yang berusia setengah abad itu tinggal sendirian di rumahnya, suami beserta anak-anaknya sudah meninggal karena sebuah kecelakaan. Oleh karena itu dia dekat dengan keluargaku."Ada orang gantung diri di belakang rumahku!" "Panggil Kek Qasim, beliau masih ada di surau!" perintah Pak Kasman kepada bapak-bapak yang kebetulan ada di sampingnya.Sementara itu, Pak RT juga Pak Kasman sendiri langsung meminta Bu Limah untuk menunjukkan lokasi mayat itu berada.Berbondong-bondong para warga yang ikut mendengar kegaduhan itu langsung menuju halaman belakang rumah Bu Limah yang kebetulan melewati halaman samping rumahku. Aku yang kebetulan sedang menjemur pakaian langsung tergerak untuk m

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kembali Masuk ke Dalam Bangunan Tua

    "Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bertemu Mbah Kur

    Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Mahasiswa KKN

    Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

Latest chapter

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Lagi-Lagi Mayat Tak Dikenal

    Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bekerja Sama

    "Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Mahasiswa KKN

    Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bertemu Mbah Kur

    Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kembali Masuk ke Dalam Bangunan Tua

    "Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela

DMCA.com Protection Status