"Mayat! Mayat! Ada mayat...!"
Pagi buta di hari Minggu, Bu Limah berteriak histeris seraya berlari tak karuan ke arah bapak-bapak yang kebetulan baru pulang dari surau.Bu Limah adalah tetanggaku yang baik hati, rumahnya berada di belakang rumah Pak RT, tepatnya bersebelahan langsung dengan rumahku . Wanita yang berusia setengah abad itu tinggal sendirian di rumahnya, suami beserta anak-anaknya sudah meninggal karena sebuah kecelakaan. Oleh karena itu dia dekat dengan keluargaku."Ada orang gantung diri di belakang rumahku!""Panggil Kek Qasim, beliau masih ada di surau!" perintah Pak Kasman kepada bapak-bapak yang kebetulan ada di sampingnya.Sementara itu, Pak RT juga Pak Kasman sendiri langsung meminta Bu Limah untuk menunjukkan lokasi mayat itu berada.Berbondong-bondong para warga yang ikut mendengar kegaduhan itu langsung menuju halaman belakang rumah Bu Limah yang kebetulan melewati halaman samping rumahku.Aku yang kebetulan sedang menjemur pakaian langsung tergerak untuk mengikuti mereka juga, padahal aku sadar, ini akan membuat kedua orang tuaku marah besar karena keluar tanpa izin. Namun, aku tidak tahan dengan rasa penasaran ini, entah mengapa aku ingin melihatnya secara langsung dengan mata kepalaku sendiri.Sesampai di sana, secara bersamaan warga beristigfar setelah menyaksikan penampakan mengerikan di depan mereka.Mayat seorang gadis berambut panjang dengan pakaian lusuh tergantung kaku di atas pohon jambu, seutas tali tambang melilit batang lehernya sehingga lidah mayat gadis itu terjulur keluar dengan mata melotot.Kondisi jasad itu sangat mengenaskan, sekujur tubuhnya pucat keunguan hampir membusuk. Aroma bangkai yang terasa pahit menusuk indra penciuman, sebagian warga yang tidak tahan dengan baunya itu langsung meninggalkan lokasi tempat kejadian. Kuperkirakan kematiannya sudah hampir satu minggu."Kapan Bu Limah terakhir kali ke halaman belakang?" pertanyaan itu spontan keluar dari mulutku."Kemarin Sya, sekitar dua hari yang lalu. Adiknya Bu Limah kan, abis lahiran di desa Pulo Mulu jadi rumah kosong selama dua hari itu karena saya nginap di rumah adik saya," jelas Bu Limah tampak masih syok."Jika waktu kematian diperkirakan 4 sampai 5 hari berarti kemungkinan ada yang sengaja membuang mayat ini di sini dengan cara menggantungnya. Mustahil mayat membusuk secepat itu," batinku."Sya, pulang!" aku tersentak kala mendengar suara bariton setengah berbisik milik ayahku yang tiba-tiba muncul di sampingku.Bersamaan dengan itu, Kek Qasim yang berperawakan penuh wibawa itu tiba di lokasi kejadian. Serta-merta para warga langsung memberi jalan seraya menunduk sebagai rasa hormat mereka kepada ketua besar para sepuh desa ini.Aku yang tadinya hendak meninggalkan tempat ini menjadi urung, karena tidak sopan berlalu begitu saja sementara sepuh besar baru saja tiba. Ayah yang mengajarkan hal itu padaku, aku tidak memiliki pilihan lain selain ikut menunduk.Kek Qasim tampak menggumamkan sesuatu di depan mayat yang masih tergantung itu. Mulutnya komat-kamit, mungkin saja sedang melafalkan zikir karena jemarinya tidak berhenti memutar tasbih."Bantu turunkan mayatnya!" perintah Kek Qasim kemudian."Hati-hati," ucapnya lagi saat beberapa warga sedang menurunkan jasad yang menggantung sekitar setengah meter dari permukaan tanah tersebut. Tidak butuh waktu lama akhirnya jasad kaku itu berhasil diturunkan dan dibaringkan di atas tikar pandan yang diberikan secara sukarela oleh Bu Limah."Gadis yang malang," ujar Kek Qasim seraya meraup wajah si mayat."Saudaraku Kasman, tolong kabarkan kepada seluruh warga desa tentang jasad ini, mungkin saja di antara mereka ada yang mengenali," perintah Kek Qasim kepada Pak Kasman sekaligus orang kepercayaannya.Sementara itu, Kek Qasim beserta para warga lainnya segera menyiapkan segala keperluan untuk melaksanakan fardhu kifayah.Sebelum dimakamkan, para sepuh terlebih dahulu memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang mengenali jenazah itu, sehingga pemakamannya dilakukan di desa kami."Menurut penglihatan mata batin saya gadis ini adalah korban keganasan Raja Louis. Mulai sekarang saya minta kepada seluruh warga sekalian untuk rutin melakukan ritual atau tidak... putri-putri kitalah yang akan menjadi mangsa selanjutnya," jelas Kek Qasim yang membuat beberapa warga desa yang mengikuti pemakaman itu spontan bergidik berjamaah.Raja Louis adalah iblis penguasa bangunan tua yang konon katanya, Raja Louis akan memangsa gadis-gadis untuk dijadikan budak nafsunya di kerajaan gaib. Namun, jika Raja Louis tidak tertarik lagi terhadap gadis-gadis itu, maka ia akan mengirimkannya kembali ke alam manusia, akan tetapi dalam keadaan tidak bernyawa tepatnya seperti jasad gadis tak dikenal yang tergantung di atas pohon tersebut. Begitulah mitos yang ditanamkan oleh para sepuh desa secara turun-temurun kepada penduduk desa Pulo Tanjong.***Senin pagi yang cerah, seperti biasa aku melakukan aktivitasku untuk pergi bersekolah."Heh... kamu Raisya si anak setan kan!?" seperti biasa kalimat itu tidak pernah absen dari telingaku barang sehari saja."Iya," aku menjawab dengan santai tanpa sedikit pun menoleh. Kakiku terus melangkah tanpa jeda, jika aku bersikap lemah di depan siswi-siswi pembuli ini, artinya aku membuka pintu masuk bagi mereka untuk terus membuliku sesuka hati mereka.Setiap perjalanan pergi dan pulang dari sekolah, sudah sering aku mendapatkan hidangan pembuka dan penutup semacam pembulian ini, tiap hari ada saja yang mengata-ngataiku, mengolok, menyindir, namun kebanyakan kuabaikan tentu saja selama mereka tidak menyerang dengan fisik.Mereka tidak melakukan pembulian di dalam area sekolah karena sekolah kami benar-benar menerapkan visi anti pembulian, tiap-tiap kelas pasti ada satu siswa yang diutus secara rahasia untuk menjadi mata-mata sebagai misi untuk melancarkan visi tersebut.Aku merasa kesepian karena setelah kejadian itu, kebanyakan anak-anak desa enggan bergaul denganku, menjauhiku seolah-olah menjadi peraturan baru yang ditetapkan penduduk desa.Namun, di balik itu semua aku merasa beruntung memiliki Salwa, sahabat yang selama ini masih membersamaiku dan selalu menyemangatiku.Sesekali Salwa mencuri-curi waktu untuk pulang sekolah bersamaku."Sal, besok pulangnya sama abang kamu saja, nanti kalau mereka lihat kamu sering pulang bersamaku, pasti kamu dimarahi habis-habisan.""Aku tidak peduli, yang penting aku bisa terus sahabatan dengan kamu, mengerjakan PR bersama di warung Nek Imah, pokoknya semua yang sering kita lakukan saat Hafizah masih bersama kita. Lagian Sya, aku kan sudah bilang aku selalu berada di pihakmu karena kamu sama sekali tidak bersalah," tegas Salwa, sementara aku memilih diam."Sya... gimana pendapatmu mengenai jasad gadis yang tak dikenal itu?" tanya Salwa membuka percakapan setelah beberapa menit kami mengheningkan cipta."Aku sedikit ragu dengan pernyataan Kek Qasim. Bagaimana mungkin makhluk halus melakukan hal sedetail itu. Ini seperti penculikan yang berujung pembunuhan.""Yang kudengar dari penduduk desa, gadis itu adalah korban si Louis. Dia kerasukan lalu bunuh diri.""Ciri-ciri kematiannya memang seperti orang bunuh diri. Tapi Sal, mayatnya udah hampir membusuk, aku melihat dengan mata kepalaku kondisi mayat itu. Aku juga menanyakan langsung pada Bu Limah kapan terakhir ia ke halaman belakang rumahnya, lalu dia menjawab dua hari, mana mungkin mayat membusuk secepat itu. Kamu ingat kan, pelajaran Biologi kemarin saat presentasi kelompok antar kelas. Bu Nisa menjelaskan dengan rinci tentang pembusukan yang terjadi pada mayat manusia," jelasku panjang lebar."Sya... desa kita berbeda dari desa lain karena mitos yang berasal dari bangunan angker itu. Jadi kupikir pernyataan Kek Qasim juga tidak ada salahnya.""Yang kutakutkan adalah penemuan jasad itu berkaitan dengan hilangnya Hafizah secara misterius," balasku."Memang berkaitan, kan penculiknya sama-sama demit bangunan tua," timpal Salwa."Jangan mengaitkan dengan mitos itu dululah, Sal....""Itu fakta Sya, bangunan itu benar-benar angker," jawab Salwa sekaligus mengakhiri percakapan kami."Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela
Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena
Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.
Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga
"Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya
Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d
Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund
"Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya
Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli
"Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya
Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund
Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d
"Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya
Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga
Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.
Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena
"Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela