Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja.
"Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata. Keadaanku sekarang benar-benar menyedihkan. "Sebaiknya istirahat saja hari ini, Nak," ucap Bunda lagi. "Raisya baik-baik aja Bunda, akhir-akhir ini banyak ngerjain tugas sekolah, kan mau lulus," tak ada pilihan lain, lagi-lagi dengan berat hati aku membohongi wanita yang telah melahirkanku ini. "Berangkatnya sama Ayah aja, nanti pulang juga tungguin Ayah, jangan jalan kaki," ucap Bunda sebelum aku berangkat. "Baik Bunda," jawabku masih tampak lemah. Di depan gerbang sekolah, kulihat Salwa berdiri dengan wajah sendu, aku sendiri masih belum berniat untuk menyapanya. "Sya..." sapa Salwa, ternyata dia sedang menungguku. Sebenarnya hatiku tidak tenang dengan persahabatan kami yang dingin, rasa kecewaku juga sudah agak berkurang, tapi kali ini aku berencana untuk memberinya sedikit pelajaran, supaya ia menyadari sepenuhnya bahwa yang dilakukannya itu benar-benar menyakiti. "Sya... aku minta maaf," ucapnya pelan dan terkesan segan dengan wajah yang menunduk. Aku masih mematung, lidahku serasa kelu untuk sekedar mengucapkan satu huruf saja. Kupejamkan mata sejenak, menguatkan hati seraya mencoba sebisa mungkin untuk tidak melihat ke dalam matanya, atau tidak, rasa ketidaktegaanku kambuh di situasi yang tidak tepat. "Maafkan aku, Sya," kali ini aku menghentikan langkah sejenak, lalu melanjutkan lagi tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Kutinggalkan Salwa yang mematung dengan wajah masih menunduk. "Maafkan aku Sal," batinku yang sebenarnya tidak tega. *** Sepulang dari sekolah, kulihat rumah tampak sepi, tidak ada Bunda maupun Malik, mungkin saja bermain ke rumah Bu Limah, pikirku. Kuputuskan untuk ke dapur untuk makan siang, namun suara teriakan melengking dari rumah Bu Limah membuatku kaget. Kusibak tirai jendela dapur dan melihat ada beberapa ibu-ibu yang wara-wiri di depan rumah Bu Limah. Tak tinggal diam aku pun bergegas menuju rumah Bu Limah melalui pintu belakang. Di ruang tamu, kulihat Bu Limah yang sedang kerasukan dipegang oleh beberapa ibu-ibu tetangga termasuk Bunda. "Dia munafik! Dia munafik!" "Tolong aku! Bebaskan aku!" Bu Limah menangis histeris, meronta dan menjerit mengulang kata yang sama. "Tolong aku! Dia munafik!" Seketika aku mengingat isi mimpi buruk yang selalu menghantuiku, otakku langsung bekerja menghubungkan segalanya, termasuk sosok Kek Qasim yang kulihat di depan rumah Bu Limah malam itu. Kurasa itu adalah penyebabnya. "Bu Yuna, minta tolong suamimu untuk memanggil Kek Qasim!" perintah Bu RT pada Bunda. "Sya, ngapain di sini! Ayo pulang!" Sentak Bunda. "Apa yang terjadi, Bun?" "Bu Limah kerasukan!" jawab Bunda, tanpa mendengar jawabanku, Bunda langsung bergegas keluar dengan langkah tergesa-gesa. "Sya, bantu pegang lengannya!" pinta Bu RT yang tampak kewalahan. Begitu aku memegangnya, Bu Limah tampak berhenti meronta, namun kini, sorot matanya tertuju padaku. Ini tidak seperti Bu Limah yang kukenal, tatapan itu terasa asing bagiku. Wajah sendu seakan ada segudang luka yang tersimpan di dalamnya, aku merasa iba. "Tolong kami..." lirih Bu Limah. Spontan aku melepaskan peganganku, bulu kudukku meremang seketika. Suara Bu Limah adalah suara wanita-wanita yang muncul dalam mimpiku. Suara itu terdengar ramai padahal hanya Bu Limah seorang. Napasku naik turun, bersamaan dengan itu Kek Qasim bersama beberapa tetua desa tiba. Aku mundur menuju pojok ruangan, sekilas kulihat Kek Qasim yang kebetulan juga melihat ke arahku. Dia menatapku setajam elang, sorot matanya seolah menusuk tepat ke dalam mataku, refleks aku membuang muka dengan menunduk. "Tolong ambilkan segelas air putih di dalam gelas bening!" perintah Kek Qasim dengan intonasi penuh wibawa. Bu Limah kembali mengamuk, sementara Kek Qasim segera memegang ubun-ubun Bu Limah seraya membacakan ayat-ayat ruqyah. Bukannya tenang, kondisi Bu Limah semakin menjadi-jadi, berteriak, menjerit, mengerang sambil terus menendang-nendang orang-orang yang memeganginya. "Saudaraku Kasman, kemarikan air putihnya!" perintah Kek Qasim. Mulutnya tampak komat-kamit, entah apa yang ia baca. Kulihat, ia sendiri yang meminum air itu lalu meminumkan langsung dari mulutnya ke dalam mulut Bu Limah, refleks kupalingkan wajah. "Pengobatan macam apa itu?" batinku Tak ada yang merasa ganjil dengan apa yang dilakukan Kek Qasim, terlihat jelas bahwa penduduk desa sudah terbiasa dengan metode pengobatannya itu. Bu Limah sudah tenang meski dengan tatapan kosong, tapi Kek Qasim masih belum berhenti mengulum bibir ranumnya itu dengan ekspresi datar. Aku yang tidak tahan dengan pemandangan menjijikkan ini langsung memutuskan untuk pulang.Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund
"Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya
Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli
Aku Raisya, usiaku 17 tahun. Aku tinggal di desa Pulo Tanjong, sebuah desa terpencil yang terletak di kaki pegunungan tepatnya di bagian Barat Tanah Rencong. Meskipun terpencil, sentuhan tangan pemerintah sudah terasa jauh sebelum aku dan keluarga bermukim ke desa ini, sebuah sekolah dasar yang dibangun di jalur utama desa menjadi buktinya.Satu hal yang menarik perhatianku tentang desa ini adalah adanya sebuah bangunan tua khas Eropa di dalam pekarangan SD tersebut.Kudengar, bangunan unik berbentuk kastil itu telah ada sejak abad ke-18, konon katanya bangunan itu adalah bangunan setan, siapa saja yang berani masuk maka nyawa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, penduduk desa Pulo Tanjong menjunjung tinggi sebuah pantangan dari para leluhur mereka untuk tidak memasuki bangunan tua itu.***"Usir dia dari desa ini!""Bakar rumahnya!""Pasung dia!"Masih kuingat kejadian beberapa bulan yang lalu, bagaimana aku dan keluargaku diarak dan dihakimi oleh seluruh penduduk desa. Aku dianggap
"Mayat! Mayat! Ada mayat...!"Pagi buta di hari Minggu, Bu Limah berteriak histeris seraya berlari tak karuan ke arah bapak-bapak yang kebetulan baru pulang dari surau. Bu Limah adalah tetanggaku yang baik hati, rumahnya berada di belakang rumah Pak RT, tepatnya bersebelahan langsung dengan rumahku . Wanita yang berusia setengah abad itu tinggal sendirian di rumahnya, suami beserta anak-anaknya sudah meninggal karena sebuah kecelakaan. Oleh karena itu dia dekat dengan keluargaku."Ada orang gantung diri di belakang rumahku!" "Panggil Kek Qasim, beliau masih ada di surau!" perintah Pak Kasman kepada bapak-bapak yang kebetulan ada di sampingnya.Sementara itu, Pak RT juga Pak Kasman sendiri langsung meminta Bu Limah untuk menunjukkan lokasi mayat itu berada.Berbondong-bondong para warga yang ikut mendengar kegaduhan itu langsung menuju halaman belakang rumah Bu Limah yang kebetulan melewati halaman samping rumahku. Aku yang kebetulan sedang menjemur pakaian langsung tergerak untuk m
"Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela
Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena
Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.
Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli
"Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya
Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund
Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d
"Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya
Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga
Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.
Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena
"Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela