Beranda / Thriller / Misteri Hilangnya Sahabatku / Kembali Masuk ke Dalam Bangunan Tua

Share

Kembali Masuk ke Dalam Bangunan Tua

Penulis: Rahmaniar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.

Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.

Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas.

Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik.

"Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita melanggar pantangan desa," sahut Salwa, aku yang tadinya bersemangat mendadak diam tenggelam dengan isi pikiran sendiri. Sementara Salwa mulai melangkah lagi.

"Sal... pemikiran warga desa kita primitif, rata-rata tidak ada yang terpelajar. Bukannya bekerja sama mereka malah mengusir detektif Hans, lalu demo, miris," balasku dengan fakta yang ada.

Ya, kabar mengenai hilangnya Hafizah sempat viral karena Hafizah adalah primadona sekaligus adisiswa di sekolah kami, tentunya pihak sekolah saat itu langsung turun tangan dengan mengutus polisi serta detektif untuk menggeledah bangunan tua.

Namun sayang, karena Hafizah tinggal di desa yang masih kental dengan mitos, jadi oleh penduduk desa menentang keras penyelidikan itu termasuk keluarga Hafizah sendiri, sehingga kasus hilangnya Hafizah terpaksa ditutup.

"Resikonya besar Sya, kita juga tidak bisa menyalahi penduduk desa. Kita juga tidak tau Hafizah diculik demit atau gimana."

"Justru karena itu kita harus masuk lagi ke sana. Menurutku... penduduk desa hanya dihantui oleh mitos dan ketakutannya sendiri. Coba saja seluruh penduduk desa bekerja sama untuk menggeledah bangunan itu bersama-sama," lagi-lagi kucoba untuk meyakinkannya.

Hening....

Kulihat Salwa diam membisu, langkahnya pelan tanpa sedikit pun menoleh ke arahku yang berjalan di sampingnya. Ini membuatku diriku merasa sedikit bersalah. Ya... mungkin aku terlalu memaksakan kehendak, aku yang terus-menerus berharap agar Salwa mau menyetujui rencanaku.

Tepat di depan gerbang SD yang ada di jalur utama desa kami, Salwa menghentikan langkahnya, dia menatap lurus ke arah bangunan tua yang berada di balik pagar.

"Sal, ayo! Ngapain berdiri disini?"

"Sya, ayo ikut aku!" ucap Salwa tiba-tiba, lalu ia menarik pergelangan tanganku.

"Kemana?"

Kucoba bersikap tenang karena tidak melihat sesuatu yang aneh dari Salwa. Gelagatnya sesekali memang sulit ditebak, hanya saja aku tetap waspada, karena semenjak Hafizah menghilang, Salwa jadi rentan kerasukan.

"Buruan Sya!" Kali ini Salwa mengisyaratkan sesuatu melalui ekor matanya, aku pun langsung paham dengan maksudnya.

"Sal, kamu yakin?" aku memastikan.

"Nanti aku berubah pikiran, loh!"

"Ya sudah, ayo! Mumpung suasana lagi sepi," akhirnya aku menyetujui ajakannya.

Gerbang sekolah selalu terkunci setelah aktivitas belajar mengajar usai. Tentunya untuk menjaga agar kasus seperti kami tidak terulang lagi. Begitu juga dengan pagar yang dulunya hanya dibatasi oleh kawat kini telah dipagari dengan tembok yang menjulang tinggi, bagian atasnya dihubungkan dengan kawat berduri, layaknya pagar rumah tahanan narapidana.

Sekolah dasar ini berada di antara bukit-bukit dan hutan lebat yang belum terjamah oleh penduduk desa. Hanya gerbang depanlah yang menjadi satu-satunya jalan masuk.

Salwa berlari ke arah samping pagar tembok sekolah, sementara aku mengikutinya dengan perasaan tidak karuan. Aku merasa heran dengan Salwa yang mendadak jadi seberani itu, sedangkan dia sendiri adalah seorang penakut.

Tapi, yang membuatku yakin untuk tetap mengikutinya adalah Salwa masih bersikap normal, tidak muncul tanda-tanda bahwa dia tengah kerasukan seperti pada kebiasaannya.

Tanpa terasa, semak belukar kami terobos begitu saja. Jalur yang kami lalui terbilang ekstrem, ilalang dan semak berduri menghiasi sepanjang jalur, ditambah lagi dengan bebatuan sebesar kepala manusia bertebaran di balik rerumputan liar.

Perhatianku tak pernah lepas dari Salwa yang berjalan sekitar beberapa meter di depanku, langkahnya tampak begitu ringan dan enteng, sementara aku menyusulnya dengan susah payah!

"ini Salwa atau setan, sih?" batinku.

"Sya! Cepetan!" serunya membuatku tersentak.

"Iya Sal, tunggu... santai aja jalannya!" aku kepayahan.

Aku baru menyadari bahwa ada sungai kecil di sepanjang pagar tembok ini. Kulihat Salwa menghentikan langkahnya tepat di bagian sudut pagar.

"Bagaimana kita akan masuk ya, Sya?" tanya Salwa seraya melihat-lihat bagian pagar tembok yang sudah ditumbuhi oleh semak menjalar. Dia bahkan tidak melihat ke arahku yang masih ngos-ngosan.

Kustabilkan napas ini seraya mencari solusi. Tidak mungkin kami mengelilingi sepanjang pagar untuk mencari jalan masuk. Bisa-bisa babi hutan atau monyet-monyet liar akan memangsa kami, mengingat tempat ini terdapat sumber air, ini bisa membahayakan.

Bagian sudut ini adalah satu-satunya jalan masuk yang bisa diandalkan, jaraknya pun tidak terlalu jauh dari jalan utama desa.

Beberapa menit setelah memperhatikan secara detail bagian sudut pagar ini, akhirnya aku berhasil menemukan sebuah celah.

Kubuka sepatuku, lalu bersiap turun ke sungai kecil selebar 1,5 meter ini. Airnya jernih dengan kedalaman yang hanya sebatas lututku. Kusingkirkan semak menjalar yang menghalangi menggunakan pisau lipat kecil yang ada di dalam tas sekolahku, dan benar saja, ada celah sebesar tubuh orang dewasa tepat di bagian sudut pagar tembok ini.

Celah yang disebabkan oleh tembok semen yang telah retak itu dialiri air, dan ternyata dari sanalah air sungai ini berasal.

"Sal, ayo!"

Salwa langsung membuka sepatunya dan mengikutiku. Setelah kurasa celah ini bisa kami lewati akhirnya kucoba untuk masuk, dan usahaku pun tak sia-sia, kami berhasil masuk ke halaman belakang SD dengan mudahnya.

Perlahan kurasakan hawa di dalam pekarangan SD ini benar-benar berbeda, kicauan berbagai jenis burung yang tadinya ramai sama sekali tidak terdengar lagi.

Hening, hanya suara gemericik air sungai yang menemani langkah kami. Cuaca juga tiba-tiba berubah drastis, langit yang mulanya biru nan cerah perlahan diselimuti awan hitam, serasa berada di dalam dimensi lain tepatnya.

Perasaanku semakin tidak karuan saja. Sesekali kulirik ke arah Salwa, entah ia juga meraskan apa yang kurasa sekarang.

Lagi-lagi kucoba berpikir positif.

Dari halaman belakang SD, aku dan Salwa berjalan santai menuju tempat bangunan tua itu berada.

Angin bertiup sepoi-sepoi sukses membuatku merinding. Sekali lagi aku membatin, "apakah gadis yang berjalan tenang, dengan pandangan lurus ke depan di sampingku ini benar-benar Salwa?"

Tidak terasa aku dan Salwa sudah berdiri di depan bangunan tua untuk yang kedua kalinya. Sebuah jendela pecah yang sudah ditambal menggunakan papan menjadi targetku.

Dengan gesit, kukumpulkan bangku dan meja tak terpakai yang berserakan di sekitarku, lalu kususun sedemikian rupa agar bisa mencapai ketinggian jendela. Alhasil, sebuah celah sebesar kelereng akhirnya kudapati.

Sementara Salwa tampak berdiri mematung, pandangannya terkunci pada jam dinding aneh itu. Spontan kulirik jam tanganku, masih menunjukkan angka 14.49, artinya jam dinding itu akan berfungsi beberapa menit lagi.

"Salwa! Berzikir!" seruku agak keras, dengan begitu pikirannya tidak akan kosong atau makhluk halus dengan cepat menguasainya.

Melihat Salwa tampak baik-baik saja, kembali aku mengintip melalui celah tadi.

Ruangan remang-remang ini tampak horor meski di siang hari. Pandanganku terbatas karena kecilnya celah, akan tetapi aku bisa mengenali ruangan ini. Ini adalah gudang yang pernah kami masuki dulu.

Seketika pandanganku terhenti pada dinding usang. Dari sedikit cahaya yang memantul bisa kulihat ada seseorang yang berdiri dengan posisi bersandar di sana, wajahnya tertutupi oleh rambut yang acak-acakan. Sosok itu memakai seragam sekolah yang sama sepertiku. Mungkinkah itu Hafizah? Tapi kenapa posisinya melayang?

Saat aku hendak memanggilnya, tiba-tiba dari dinding itu pula, bayangan-bayangan manusia bermunculan, hanya bayangan!

Jantungku berdetak cepat, tapi ini semakin membuatku penasaran.

Sekali lagi kupertajam penglihatanku untuk mencari asal bayangan itu, tapi sayang, bayangan aneh itu sama sekali tidak bersumber.

Bayangan-bayangan aneh tadi tampak mengelilingi sosok yang kuyakini sebagai Hafizah. Selain itu mereka juga melantunkan sesuatu dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti, semacam mantra tepatnya.

"Sya..."

"Sebentar Sal!"

"Sepertinya... sepertinya kita harus meninggalkan tempat ini," ucap Salwa ketakutan.

"Berzikir, Sal! Berhentilah melihat ke arah jam aneh itu!" Tegasku tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.

Aku mengacuhkan Salwa karena fokusku saat ini masih tertuju pada penampakan aneh tadi.

Bayangan-bayangan tak bersumber itu terus saja bermunculan, lantunan-lantunan mereka pun semakin menjadi-jadi, bahkan ada yang sampai berteriak-teriak tidak jelas.

"Dari mana asal bayangan-bayangan itu?"

Aku menggumam seraya menutup telinga, suara-suara aneh yang mereka hasilkan benar-benar membuat telingaku ngilu dan tak berhenti berdenging, kepalaku panas dan mau meledak rasanya.

"Aaakkhhh...!" aku berteriak, bukan karena suara-suara itu, melainkan sepasang mata manusia yang berlumuran darah muncul tepat di celah yang sedang kugunakan.

Tubuhku jatuh tersungkur ke belakang, mengaduh kesakitan karena pantatku menghantam lantai. Detak jantung jangan ditanya, hampir saja aku menghadap Sang Maha Kuasa, saking kagetnya dengan penampakan mengerikan tadi.

Hening, bahkan Salwa tidak membantuku sama sekali. Aku berbalik, kudapati ia berdiri mematung, dan lagi-lagi jantungku berpacu lebih cepat. Kulihat bola mata Salwa menjadi sepenuhnya putih berurat ungu.

"Oh tidak! Aku dalam masalah!"

Sontak aku bangkit, pantat dan pinggang yang masih terasa nyeri, aku tak peduli!

Tiba-tiba angin bertiup kencang, hujan turun tanpa tanda, gemuruh menggelegar saling bersahutan seolah sedang mengusir kami dari tempat terkutuk ini.

Sekilas kulihat jam dinding aneh itu berfungsi secara tidak wajar, jarumnya berputar dengan kecepatan tinggi tak berjeda.

Secepatnya kutarik tangan Salwa yang terasa dingin dan kaku, lalu berlari menembus derasnya hujan.

Tepat di tepi sungai di halaman belakang sekolah, Salwa ambruk. Aku bertambah kalut sekaligus merasa sangat bersalah.

Bab terkait

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bertemu Mbah Kur

    Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Mahasiswa KKN

    Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bekerja Sama

    "Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Lagi-Lagi Mayat Tak Dikenal

    Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli

Bab terbaru

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Lagi-Lagi Mayat Tak Dikenal

    Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bekerja Sama

    "Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Mahasiswa KKN

    Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bertemu Mbah Kur

    Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kembali Masuk ke Dalam Bangunan Tua

    "Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela

DMCA.com Protection Status