Share

Bertemu Mbah Kur

Author: Rahmaniar
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.

Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.

Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.

Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal.

"Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega.

"Sya..."

"Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.

Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.

Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-benar sudah naik sebatas pahaku. Tak lama akhirnya kami berhasil keluar dari tempat ini. Sambil menggandeng tangan Salwa, aku berlari membelah semak belukar.

Hutan sudah kami lewati, aku masih belum menghentikan pelarian meski kaki sudah menginjak jalan desa, tujuanku adalah warung Nek Imah.

Di bawah pohon asam tepatnya di depan pintu gerbang SD, tampak seorang pria tua berpakaian serba hitam berdiri dengan sebuah payung di tangannya.

Nyaliku mendadak ciut, psikopat lebih menakutkan dari pada demit bangunan tua. Aku pun semakin mempercepat langkah.

"Dia masih hidup!" tegas pria tua tadi.

Sontak kuhentikan langkah, kupandangi sosok kakek misterius tersebut dari jarak beberapa meter. Payung yang dipegangnya membuatku tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.

"Hafizah masih hidup," ucapnya lagi, kali ini ia menyingkirkan payungnya sehingga aku pun langsung mengenali sosok kakek bungkuk itu.

Tubuhku terpaku di tempat, sama sekali tidak berani menyahut juga mendekat. Kakek tua itu adalah Mbah Kur, seorang kakek dengan wajah menyeramkan akibat musibah kebakaran yang menimpa keluarganya. Sekujur tubuhnya belang dengan wajah rata di bagian kiri. Matanya hanya satu, siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira dia itu monster.

Salwa masih tetap dengan tatapan kosongnya, entah di mana jiwanya sekarang. Kupererat pegangan seraya bersiap untuk melarikan diri.

Sesampai di depan warung, kucoba mengatur napas lalu bersikap normal agar tidak ada yang curiga. Masalahnya, ada beberapa warga yang menongkrong dan ada juga yang sekedar berteduh karena hujan masih deras.

"Mampir dulu Nak," sapa Nek Imah yang tengah sibuk melayani pembelinya.

"Iya Nek," langsung saja kubawa Salwa ke meja pojok, tempat favorit kami.

"Nek Imah, menunya kayak biasa ya!" ucapku sebelum kami mengambil tempat duduk.

"Salwa!" sentakku sambil menciprat air mineral yang tersedia di atas meja ke wajahnya.

Salwa masih diam mematung, dia sama sekali tidak memberikan respon.

"Gawat nih, kalau Nek Imah bawa pesanan, bisa-bisa ia tau Salwa lagi kesambet," aku segera bangkit, lalu berinisiatif mengambil sendiri menu yang kupesan tadi.

"Nek, bawang putih mentah dikit ya!" pintaku.

Nek Imah yang terlihat semakin sibuk melayani pembelinya langsung mengagguk.

Lagi-lagi aku membacakan ayat-ayat ruqyah sambil menggosokkan bawang putih di telapak tangan Salwa. Dia akhirnya pingsan.

Seperti pada kebiasaannya, Salwa pingsan hanya beberapa detik, lalu terbangun dan kembali normal lagi.

"Minum dulu Sal," kusodorkan teh hangat.

"Sya... kok kita ada di sini?"

"Kesambet kamu Sal."

"Pantesan badanku terasa lelah," keluhnya sambil memijat-mijat kepala.

"Trus Sya? Nasib kita gimana dong?" Salwa tampak kacau.

"Tenang, rahasia kita aman kok, semua baik-baik aja," jawabku yang mengerti akan kekhawatirannya.

"Minum lagi tehnya, Sal."

"Maaf Sya, aku merepotkanmu."

"Santai...."

Salwa langsung menyantap sepiring martabak kol yang kupesan tadi, kubiarkan saja dia, mungkin dia kelaparan saking lelahnya.

Trouppp...

Seperti biasa, Salwa kerap bersendawa setelah acara makannya selesai.

"Mau tambah lagi?" tanyaku.

Salwa terkekeh pelan tanda setuju.

"Tapi bayar sendiri."

"Ooh... aku kenyang Sya," Salwa menolak lalu kembali bersendawa. "Trouppp... nah kan, udah kenyang," ucapnya lagi yang membuatku tersenyum menggeleng tak habis pikir, sekaligus diam-diam kupastikan bahwa dia sudah baik-baik saja.

"Gimana sih ceritanya bisa kerasukan? Kamu liat apa tadi?" tanyaku sedikit berbisik.

"Sya... aku melihatnya," ujar Salwa dengan suara pelan.

"Melihat apa? Siapa? Dimana?"

"Fizah?" tanyaku bertubi-tubi saking tak sabarnya.

"Iya."

"Di mana?"

"Jam dinding itu Sya, aku melihat Fizah terperangkap dalam jam dinding itu, dia ketakutan," ucap Salwa syok.

"Tenang Sal, mungkin kamu berhalusinasi."

"Nggak Sya, aku melihatnya terakhir sebelum kesadaranku hilang," Salwa meyakinkanku dengan bola mata berkaca-kaca.

"Iya Sal, aku percaya sama kamu. Tadi aku juga melihat penampakan mengerikan di dalam bangunan tua, tepatnya di gudang yang pernah kita masuki."

"Iya. Aku ingat."

"Kulihat seorang gadis bersandar di dinding gudang dengan posisi melayang. Dia dikelilingi oleh bayang-bayang manusia tanpa wujud. Aku yakin itu Fizah."

"Mitos Raja Louis benar-benar fakta, Fizah ada di sana. Tapi, bagaimana kita akan menyelamatkannya?"

"Entahlah Sal, jika ini berhubungan dengan mitos itu, aku belum memikirkan caranya."

"Kau kan alumni pondok pesantren, kita masuk lagi ke sana lalu bacakan ayat-ayat pengusir setan, aku juga akan membantu dengan membaca al-Qur'an."

"Tidak semudah itu Sal."

Sekarang pikiranku buntu. Kami berdua kembali membisu.

"Oh iya... Sal, Mbah Kur!" ucapku tiba-tiba.

"Maksudmu?"

"Saat di depan gerbang SD, aku bertemu Mbah Kur, di bilang Hafizah masih hidup," ucapku yang dihadiahi tawa oleh Salwa.

"Dia itu gila Sya, otomatis omongannya kosong. Lagian dari mana pula dia tau tentang situasi desa kita, sedangkan ia sendiri hidup terisolir di atas bukit," ucap Salwa di sela gelak tawanya.

"Serius Sal... jelas-jelas aku melihatnya tadi."

Aku berusaha meyakinkannya.

"Tapi Sya, kalau itu benar-benar Mbah Kur, dia tau dong, kita abis dari sana!"

"Iya juga. Kok jadi amburadul gini sih," keluhku merasa frustasi.

Aku memang belum lama menetap di desa ini dan aku tidak banyak tahu tentang desa ini, begitu juga dengan Mbah Kur. Pertama kali aku mengenali sosoknya ketika ayahku menanyakan alamat pada beliau saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini.

Aku dan ibuku sempat takut karena memang rupa beliau yang menyeramkan, tapi ayah mencoba meyakinkan.

Bahkan ayah sempat berbincang-bincang dengan Mbah Kur yang terlihat normal. Mbah Kur sangat ramah, oleh karena itu aku tidak terlalu percaya bahwa Mbah Kur gila. Kupikir dia mengasingkan diri di atas bukit hanya untuk menenangkan diri setelah musibah kebakaran yang menewaskan seluruh anggota keluarganya, beberapa puluh tahun silam, seperti yang ayah katakan padaku dari cerita Mbah Kur.

"Oh iya, Sal. Dari mana kamu tau jalur itu?" tanyaku mengalihkan topik.

"Entah, aku hanya mengikuti kata hati saja, dan kebetulan tepat."

"Masalahnya tumben kamu seberani itu," tambahku lagi.

"Muak... Sya. Aku muak pada orang-orang yang mengucilkan kamu. Padahal, posisiku juga salah, bahkan sangat salah."

"Ya sudahlah, skip soal itu. Jangan dijadikan beban pikiranmu juga."

"Sya... kayaknya aku pulang duluan. Mamakku tuh," ucap Salwa tampak ciut.

"Pulang...!" teriak Cek Aton dengan suara cemprengnya yang khas.

Sontak Salwa bangkit lalu meninggalkan aku sendirian.

"Udah ribuan kali dibilang jangan kawan sama babi itu lagi!" Gertaknya lagi sehingga membuat seluruh pasang mata yang ada di sana langsung tertuju ke arahku.

Aku hanya bisa menunduk, perasaanku bercampur aduk, malu benci dan dendam berpadu jadi satu.

"Kawan lagi sama Raisya anak setan! Besok malah kamu yang dijadiin cemilan setan!" Semulus itu kata-kata kotor dari mulut seorang wanita yang dulu menganggapku layaknya anak sendiri itu.

Cek Aton yang dulu membangga-banggakan aku sebagai gadis teladan di desa ini. Bahkan dia juga yang selalu mewanti-wanti untuk menjodohkan aku dengan putranya Habil, abangnya Salwa.

Tapi itu dulu, sekarang tak ada lagi nama Raisya jika tidak diikuti dengan kata anak setan. Menjadi bahan gunjingan emak-emak sekaligus kata-kata kotor memang sudah menjadi makanan pokok selain nasi bagiku dan keluargaku.

Begitulah manusia, ibarat hujan di musim kemarau. Namun, sekali hujan turun maka hilanglah kemarau tak berbekas. Sekali saja didapati kesalahan, hilang jua seribu kebaikan dahulu, tak bersisa.

***

Related chapters

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Mahasiswa KKN

    Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bekerja Sama

    "Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Lagi-Lagi Mayat Tak Dikenal

    Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Tragedi

    Aku Raisya, usiaku 17 tahun. Aku tinggal di desa Pulo Tanjong, sebuah desa terpencil yang terletak di kaki pegunungan tepatnya di bagian Barat Tanah Rencong. Meskipun terpencil, sentuhan tangan pemerintah sudah terasa jauh sebelum aku dan keluarga bermukim ke desa ini, sebuah sekolah dasar yang dibangun di jalur utama desa menjadi buktinya.Satu hal yang menarik perhatianku tentang desa ini adalah adanya sebuah bangunan tua khas Eropa di dalam pekarangan SD tersebut.Kudengar, bangunan unik berbentuk kastil itu telah ada sejak abad ke-18, konon katanya bangunan itu adalah bangunan setan, siapa saja yang berani masuk maka nyawa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, penduduk desa Pulo Tanjong menjunjung tinggi sebuah pantangan dari para leluhur mereka untuk tidak memasuki bangunan tua itu.***"Usir dia dari desa ini!""Bakar rumahnya!""Pasung dia!"Masih kuingat kejadian beberapa bulan yang lalu, bagaimana aku dan keluargaku diarak dan dihakimi oleh seluruh penduduk desa. Aku dianggap

Latest chapter

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Lagi-Lagi Mayat Tak Dikenal

    Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga menuju ke sawah, kebun atau ladangnya. Aku keluar dari rumah setelah mendengar kabar dari penduduk desa, bahwa ada sesosok mayat gadis tak dikenal mengapung di sungai. Lokasinya sekitar 100 meter dari rumahku. Cuaca mendung dengan kabut yang mulai turun, aku tidak peduli! Gerimis halus menemani setiap langkahku di sore itu, dari jauh kulihat banyak warga yang sudah memadati lokasi itu. Jalanan selebar 1 meter yang dihiasi oleh semak-semak di pinggirnya akhirnya berhasil kulalui. "Untung aja Ayah Bunda ngga di rumah," gumamku merasa bebas karena orang tuaku serta Malik belum kembali dari pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Sambil berlari kecil aku pun mendekati kerumunan warga yang berdiri di atas jembatan. "Syukurlah... aku tiba tepat sebelum mayatnya diangkat," aku merasa lega. Tampak beberapa mahasiswa KKN membantu proses evakuasi dan seperti biasa, penduduk desa tidak mau melibatkan poli

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bekerja Sama

    "Bang Fata..." aku terperangah heran, sementara Salwa sendiri terpaku dengan raut wajah penuh kekaguman. Wajah tampan penuh pesona itu tampak sempurna ketika tersentuh cahaya mentari pagi. "Setan Louis Sya, ayo kabur!" Salwa panik seraya menarik-narik lenganku. Sepertinya Salwa sadar bahwa pria berkarisma itu adalah pria asing. "Psikopat... Mamak..." Salwa ketakutan seraya bersembunyi di belakang tubuh mungilku. "Itu Bang Fata Sal, aku mengenalinya. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mau KKN di desa kita, jangan takut," aku berbisik tenang, sementara Bang Fata mulai memangkas jarak. "Cantik-cantik, kok lesbi," ucap Fata dengan ekspresi datar dan terkesan dingin, sikapnya berbanding terbalik dengan saat pertama kali kami bertemu. Fata hendak melewati kami begitu saja, seketika aku mencegatnya. Fata akhirnya menghentikan langkah tepat di sampingku. Sorot wajah tegasnya itu tampak dingin dan sama sekali tidak menoleh ke arahku. "Bang Fata salah paham, ini tidak seperti ya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Aku Tidak Benar-Benar Sendirian

    Aku pulang dengan perasaan tidak karuan, membayangkan cara Kek Qasim mengobati Bu Limah tadi membuatku hampir muntah. "Sepertinya seluruh penduduk desa harus di ruqyah, termasuk Kek Qasim sendiri," gumamku seraya memasuki halaman rumah. Di depan rumah Pak RT, terlihat sebuah mobil yang sangat aku kenali, pantas saja Pak RT tidak terlihat tadi ternyata sedang ada tamu. Sebentar! "Jaket Bang Fata..." kutepuk jidat sendiri. Sontak aku berlari menuju kamarku, tergesa-gesa aku menyibak baju-baju yang kugantung di hanger, tapi tidak kutemui jua. Dari depan terdengar obrolan ayah dan Bunda, artinya mereka sudah pulang. Gegas aku menemui Bunda untuk menanyakan jaket itu. "Bun, Bunda liat jaket hitam yang di kamar Raisya, ngga?" tanyaku. "Jaaakett..." ucap Bunda sembari mengingat sesuatu. "Iya Bun, jaket kulit berwarna hitam,"aku tak sabar menunggu jawaban Bunda. Bisa gawat kalau Bunda tidak tahu, harus bayar pakai apa jaket mahal itu jika benar-benar hilang. Tiba-tiba Bund

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kerasukan

    Tiap malam serasa panjang bagiku, setelah menutup mata, bayangan Hafizah yang minta tolong terus saja mengusik tidurku. Tidak hanya itu, wanita-wanita asing yang digantung berjejeran di dinding juga kerap hadir di dalam mimpi burukku, mereka seperti memberikan petunjuk bagiku, tapi kenapa mesti dalam wujud yang mengerikan dan bertubi-tubi, sampai-sampai aku tidak bisa beristirahat dengan tenang barang semalam saja. "Sya, kamu sakit?" tanya Bunda seraya menyentuh dahiku. Kuhentikan sarapanku. "Ngga papa Bun," jawabku lesu. "Ngga panas, kamu bergadang ya?" "Ngga juga," aku tidak bisa mengatakan pada Bunda apa yang kualami akhir-akhir ini. Aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir, bisa-bisa misiku gagal. Semenjak Hafizah menghilang, aku jadi sering mengalami mimpi buruk dan semakin lama, mimpi buruk yang sama itu semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan permasalahanku dengan Salwa, tidak nyaman berselisih, tapi di sisi lain aku merasa kecewa dengannya. Kulitku pucat d

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Berselisih

    "Malik mana, Sya?" tanya ayah yang tengah memanaskan motornya. "Masih di dalam, Yah. Lagi nyari krayon sama Bunda," jawabku seraya mencium punggung tangannya. "Itu kakimu kenapa?" Kuhentikan langkahku saat hendak mengambil sepeda untuk berangkat sekolah. "Keinjak duri kemarin, tapi udah dikeluarin durinya," terpaksa aku berbohong. "Raisya berangkat duluan, Yah," kupercepat langkah meskipun tertatih-tatih agar ayah tidak bertanya lebih banyak. Di sekolah, Salwa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Biasanya, dialah yang selalu lebih dulu menungguku di depan laboratorium Kimia. "Apa Salwa absen ya, hari ini?" batinku cemas, takut juga terjadi sesuatu dengannya karena kejadian kemarin. Bel masuk telah berbunyi, Salwa tak kunjung datang. Aku pun memutuskan berjalan hendak memasuki kelas. "Syasyasya...! aku mengenali suara yang familiar itu, akhirnya aku merasa lega. "Aku pikir kamu ngga datang hari ini." "Ini semua... gara-gara calon suamimu!" jawab Salwa seraya

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Teror

    Penglihatanku menyapu seisi ruangan, sebuah ruangan dengan pencahayaan remang. Bau anyir bercampur bau bangkai menusuk indra penciumanku, refleks aku menutup hidung. "Di mana aku?" Langkahku terasa begitu ringan, sakit di bagian telapak kaki pun sudah tidak terasa. Aku berjalan pelan untuk mencari asal bau yang menyengat itu. "Tolong..." lirih sebuah suara. Sontak aku memutar arah, mencari sumber suara wanita yang kudengar tadi. "Tolong kami... bebaskan kami..." rintih suara yang lainnya, dan itu terdengar ramai. "Siapa kalian?" suaraku menggema dalam ruangan pengap itu. "Bebaskan kami... bebaskan kami..." berulang-ulang suara tersebut mengatakan hal yang sama. Namun, di mana sumbernya? "Dia munafik!!!" kali ini, suara yang tidak bersumber itu menggertak keras, lalu disusul oleh tangisan pilu dan erangan-erangan yang meyayat hati. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap beberapa sosok tubuh yang bersandar di dinding, tapi dalam posisi melayang. Sekali lagi denga

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Mahasiswa KKN

    Entah seberapa lama lagi aku harus menundukkan kepala, tidak berani hanya sekedar mengangkatkan wajah. Ingin sekali beranjak, lalu meninggalkan warung Nek Imah, namun tetap saja nyaliku ciut. Saat ini, wajah penduduk desa yang menyaksikan drama tadi benar-benar menakutkan bagiku, lebih menakutkan dari penampakan penunggu bangunan tua, lebih menakutkan dari berhadapan dengan Mbah Kur 24 jam. Aku masih terpaku menyedihkan di kursi pojok. Aku benci situasi ini! "Nak Raisya," sapa Nek Imah. Barulah aku mengangkatkan wajah dengan hati-hati. Leherku rasanya pegal, namun perasaanku mulai stabil karena aku melihat warung sudah sepi. Beberapa warga yang menatapku sinis tadi pun sudah tidak ada lagi. "Sabarlah, Nak," ucapnya lagi seraya membelai lembut pundakku. "Terima kasih Nek," ucapku mencoba tegar. Allah Maha Baik, buktinya Dia masih menitipkan orang-orang baik seperti Nek Imah bersamaku. Aku pun mulai berbincang-bincang dengan Nek Imah sambil menunggu hujan sedikit mereda.

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Bertemu Mbah Kur

    Angin semakin kencang saja, ditambah hujan yang sama sekali tidak menunjukkan tanda akan reda. Air sungai kian berubah warna menjadi keruh tanda airnya naik.Dalam suasana mencekam, aku berusaha bersikap tenang. Pertama, kubuka pentul pengait di jilbabnya biar ia leluasa benapas, kemudian kutepuk pelan pipi Salwa sambil terus membisikkan ayat-ayat ruqyah di telinganya sebisaku.Untung saja menghadapi orang-orang kesurupan sudah terbiasa bagiku. Aku mempelajarinya saat aku masih mondok di sebuah pesantren di desa tempat tinggalku sebelumnya.Perlahan Salwa yang tadinya bergeming mulai bergerak, lalu membuka matanya yang sudah kembali normal."Alhamdulillah, Sal," aku pun merasa lega."Sya...""Hujan, Sal. Air sungai bakal naik, ayo keluar!" aku berseru pelan sambil membenarkan kembali jilbabnya.Tanpa menunggu jawaban Salwa, kupaksa dirinya yang masih linglung untuk berdiri, kemudian segera meninggalkan tempat angker ini.Hujan masih belum berhenti juga, sementara air sungai benar-bena

  • Misteri Hilangnya Sahabatku   Kembali Masuk ke Dalam Bangunan Tua

    "Sal, sebenarnya aku mau menyelidiki sebab Hafizah menghilang. Aku tidak percaya Hafizah diculik demit. Kayaknya kita harus kembali masuk ke dalam bangunan tua lagi," setelah sekian lama kupendam sendiri, akhirnya rencana itu kuutarakan juga pada Salwa.Sepulang dari sekolah, di bawah sinar mentari yang terik, Salwa menghentikan langkahnya dan menatapku tak percaya.Gila memang, tapi menurutku yang dikatakan Hafizah sebelum ia menghilang ada benarnya juga. Dalam hal ini, berhenti menghubungkan hal-hal negatif dulu, terutama yang memicu ketakutan berlebihah pada sesuatu yang tidak jelas. Aku harus memberanikan diri atau selamanya Hafizah tidak akan ditemukan. Bukankah Allah Maha Pelindung? Bukankah Dia yang menguasai langit dan bumi? Jadi, untuk apa aku takut selama yang kulakukan adalah untuk kebaikan. Terlalu mempercayai mitos semacam itu juga tidak bagus untuk keimanan, tanpa sadar bisa-bisa masuk dalam golongan orang syirik."Jangan ngada-ngada Sya, Hafizah hilang karena kita mela

DMCA.com Protection Status