"Suci! Suci, bangun!" Suara Farhan menggema di kepalanya, mengiris kegelapan yang menelannya. Suci membuka matanya, terkejut menemukan dirinya terbaring di tanah dingin. Sekelilingnya gelap, hanya ada suara berdesir angin yang membuatnya merinding.
"Apa yang terjadi? Di mana kita?" tanyanya, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi. Ketakutan menyelubungi dirinya ketika ia teringat akan bayangan wanita yang mengerikan."Kita terperangkap di tempat yang tidak kita kenal," jawab Farhan, suaranya penuh kekhawatiran. "Tapi kita harus mencari jalan keluar dari sini!"Suci bangkit perlahan, merasakan sakit di tubuhnya. "Kita... kita harus menemukan kebenaran tentang wanita itu. Dia mengatakan sesuatu yang penting," katanya, berusaha mengingat kembali semua yang telah mereka alami."Dan kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi," Farhan menambahkan, matanya menyapu sekeliling. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini."Suci mengangguk, m"Ini saatnya, Suci," suara wanita itu menggema dalam benaknya, memecah keheningan yang melingkupi mereka. "Saatnya menghadapi kebenaran yang kau hindari."Suci mengangguk, merasakan tekadnya semakin kuat. Dengan setiap detak jantung, dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi mundur. Kegelapan mungkin masih mengintai, tetapi dia telah menemukan cahaya yang mampu menuntunnya."Di mana aku harus mulai?" tanya Suci, matanya menatap ke arah bayangan yang masih berseliweran di sekelilingnya."Kau harus kembali ke tempat itu," wanita itu menjawab. "Tempat di mana semua ini bermula. Hanya di sana kau bisa menemukan jawaban yang kau cari."Ingatannya bergejolak, dan tanpa ragu, Suci merasakan dorongan kuat untuk melangkah maju. Dia tidak ingin lagi terjebak dalam kebimbangan. Dalam sekejap, kegelapan itu mulai memudar, dan dia menemukan dirinya berdiri di ambang sebuah ruangan yang familiar—ruang penyelidikan yang pernah dia gunakan untuk menangani kasus-kasus pe
"Ini tidak bisa berakhir seperti ini, Suci!" suara wanita itu kembali bergema dalam pikirannya, membangkitkan kesadaran dari kegelapan yang melingkupinya. Suci merasa seolah terbangun dari mimpi buruk, tetapi kini dia tahu bahwa dia terjebak dalam realitas yang lebih menyeramkan.Saat cahaya mulai memudar, dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekeliling. Dia menemukan dirinya terbaring di lantai dingin, ruangan yang kini tampak lebih gelap dan misterius daripada sebelumnya. Di sekelilingnya, dinding-dinding batu yang dingin memancarkan aura yang menakutkan. "Di mana aku?" pikirnya, mencoba mengingat bagaimana dia sampai di sini."Di tempat yang seharusnya kau hindari," suara misterius itu terdengar lagi, lebih dekat dan lebih jelas. "Tempat kebenaran dan kebohongan bertemu."Dengan cepat, Suci bangkit dan mencari sumber suara. Di sudut ruangan, sosok bertopeng yang dia lihat sebelumnya kini berdiri dengan postur mengancam. "Apa yang kau inginkan d
"Ini terasa terlalu tenang, bukan?" Suci berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian lorong panjang di depan mereka. Dinding-dinding yang dingin tampak semakin menyusut seiring dengan langkah mereka yang hati-hati.Darius mengangguk, matanya melirik ke sekeliling. "Ya, seperti ada sesuatu yang mengintai di balik bayangan. Kita harus tetap waspada."Mereka melangkah maju, setiap langkah bergema di ruang kosong yang seakan menyimpan banyak rahasia. Suci merasakan ketegangan di udara, seolah setiap partikel bergetar dengan kekuatan yang tak terlihat. Setelah menghadapi sosok bertopeng, dia tahu bahwa kegelapan yang mereka hadapi belum sepenuhnya sirna. Ini adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar—sebuah misi untuk menggali kebenaran dan menyingkirkan ancaman yang mengintai."Apakah kau yakin kita di jalur yang benar?" Suci bertanya, merasakan keraguan mengendap di hatinya. "Semua ini terasa begitu misterius.""Kita tidak punya pilihan l
"Suci, kamu yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan bergetar saat mereka berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, bayangan gelap tampak bergerak-gerak, seolah menunggu untuk menyambut mereka."Ini satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang terjadi," jawab Suci tegas, meskipun hatinya bergetar. Dia merasakan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. "Kita tidak bisa mundur sekarang."Farhan mengangguk, meskipun ragu. Pintu yang mereka hadapi tampak usang, dengan goresan-goresan yang membuatnya tampak lebih menakutkan. Dengan satu tarikan napas dalam, Suci mendorong pintu itu. Krek! Suara berderitnya menggema di lorong sunyi, seolah menggugah sesuatu di dalam kegelapan.Begitu mereka melangkah masuk, aroma lembap dan busuk langsung menyergap. Dalam kegelapan, cahaya dari senter Farhan hanya cukup untuk menerangi dinding yang tampak lembab dan berjamur. Suci melangkah hati-hati, merasakan ketegangan d
Kegelapan di lorong itu begitu pekat hingga Suci merasa jantungnya berdetak dalam irama yang sama dengan bayangan yang menelannya. Setiap langkah kaki yang ia ambil terdengar menggema, membuatnya seolah-olah berjalan di dalam kehampaan. Namun, Suci tahu ini bukanlah kehampaan biasa. Ada sesuatu—atau seseorang—di sana, menunggu di ambang pandangan, siap menerkamnya di saat yang tepat.Farhan sudah jauh tertinggal di belakang, dan itu bukan kesengajaan. Sejak mereka memasuki rumah tua yang terlantar ini, waktu terasa berjalan berbeda. Ada momen di mana Suci merasa sudah berjam-jam berada di sini, sementara pada saat lain, ia merasa baru saja tiba. Semuanya kabur, terbungkus dalam kabut ingatan yang tidak bisa dijelaskan.Langkah kaki Suci terhenti di depan pintu yang terbuka sedikit, tepat di ujung lorong. Suara bisikan samar terdengar dari balik pintu itu, tapi terlalu pelan untuk bisa dikenali. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri saat mendekati pintu itu, seolah-ola
Jeritan tanpa suara di lorong sunyi itu masih terngiang di benak Suci. Ia belum bisa melupakan apa yang baru saja terjadi. Farhan, dengan wajah yang pias, nyaris tak berkata apapun. Mereka berdua hanya berdiri diam di ujung koridor yang gelap, diapit dinding yang lembab, dengan udara yang terasa begitu berat, seakan setiap molekul di sekitarnya membawa jejak kesakitan dari masa lalu yang tak pernah selesai.Suci menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tatapan matanya beralih ke Farhan, berharap menemukan penjelasan. Namun Farhan hanya menunduk, matanya merah, entah dari kelelahan atau rasa takut yang tak terkatakan. Suci merasa waktu seolah membeku di sekitar mereka, seperti ada sesuatu yang menahan setiap langkah mereka.“Kita... kita harus keluar dari sini,” suara Farhan akhirnya pecah, meski terdengar lebih seperti bisikan. Ada ketakutan yang tak terdefinisikan dalam suaranya.Suci menggeleng perlahan. “Tidak, kita belum bisa pergi. Sesu
Suci duduk diam di tepi ranjangnya, pandangannya lurus ke depan namun pikirannya berkecamuk tak tentu arah. Di sudut kamar, cermin besar yang selalu ia hindari tampak memantulkan bayangan buram dari dirinya. Cermin itu adalah peninggalan dari almarhum kakeknya, benda yang telah menjadi saksi bisu bagi banyak hal yang seharusnya tak pernah terungkap. Dalam bayangannya, Suci merasakan kehadiran sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang sedang mengintai dari balik pantulan.“Ini hanya perasaan,” gumamnya pelan, meski batinnya tahu itu bukan sekadar ilusi. Mata batinnya selalu tahu lebih dari sekadar yang kasat mata.Farhan, sahabat sekaligus rekannya dalam memecahkan kasus-kasus pelik, sudah memperingatkan agar Suci berhenti memaksa dirinya. “Istirahatlah, Suci,” katanya dengan nada tegas yang jarang ia gunakan. “Kamu sudah terlalu jauh masuk ke dalam misteri ini. Tidak semua yang kamu lihat harus kamu selidiki.”Tapi Suci tahu betul, berhenti bukanlah pil
Suci menatap lurus ke depan, matanya tak berkedip, seolah menyelami kegelapan yang semakin dalam. Langkah-langkah kecilnya, namun pasti, menggema dalam lorong sunyi itu. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tetapi karena perasaan yang lebih dalam, lebih menggerogoti. Perasaan itu datang begitu mendalam, merayapi setiap pori-pori kulitnya, seperti rantai yang tak kasat mata, namun begitu kuat, menjerat hatinya.Lorong sempit yang dipenuhi bayang-bayang, tidak sepi seperti yang ia kira. Sesuatu mengikutinya. Sesuatu yang ia kenal, meskipun hanya dari bayangannya. Di sana, di kedalaman, ia merasa ada yang mengintai, mengamati setiap langkahnya dengan cermat. Wajah-wajah yang pernah ia kenal dalam kegelapan, kini kembali menghantui, seolah tak pernah meninggalkannya."Farhan…" gumam Suci pelan, suaranya hampir tenggelam dalam bisikan angin malam yang memeluk dinding lorong itu. Ia tahu, entah mengapa, meski tak ada suara yang terdengar, ia merasakannya. Farha