Suci duduk diam di tepi ranjangnya, pandangannya lurus ke depan namun pikirannya berkecamuk tak tentu arah. Di sudut kamar, cermin besar yang selalu ia hindari tampak memantulkan bayangan buram dari dirinya. Cermin itu adalah peninggalan dari almarhum kakeknya, benda yang telah menjadi saksi bisu bagi banyak hal yang seharusnya tak pernah terungkap. Dalam bayangannya, Suci merasakan kehadiran sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang sedang mengintai dari balik pantulan.
“Ini hanya perasaan,” gumamnya pelan, meski batinnya tahu itu bukan sekadar ilusi. Mata batinnya selalu tahu lebih dari sekadar yang kasat mata.Farhan, sahabat sekaligus rekannya dalam memecahkan kasus-kasus pelik, sudah memperingatkan agar Suci berhenti memaksa dirinya. “Istirahatlah, Suci,” katanya dengan nada tegas yang jarang ia gunakan. “Kamu sudah terlalu jauh masuk ke dalam misteri ini. Tidak semua yang kamu lihat harus kamu selidiki.”Tapi Suci tahu betul, berhenti bukanlah pilSuci menatap lurus ke depan, matanya tak berkedip, seolah menyelami kegelapan yang semakin dalam. Langkah-langkah kecilnya, namun pasti, menggema dalam lorong sunyi itu. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tetapi karena perasaan yang lebih dalam, lebih menggerogoti. Perasaan itu datang begitu mendalam, merayapi setiap pori-pori kulitnya, seperti rantai yang tak kasat mata, namun begitu kuat, menjerat hatinya.Lorong sempit yang dipenuhi bayang-bayang, tidak sepi seperti yang ia kira. Sesuatu mengikutinya. Sesuatu yang ia kenal, meskipun hanya dari bayangannya. Di sana, di kedalaman, ia merasa ada yang mengintai, mengamati setiap langkahnya dengan cermat. Wajah-wajah yang pernah ia kenal dalam kegelapan, kini kembali menghantui, seolah tak pernah meninggalkannya."Farhan…" gumam Suci pelan, suaranya hampir tenggelam dalam bisikan angin malam yang memeluk dinding lorong itu. Ia tahu, entah mengapa, meski tak ada suara yang terdengar, ia merasakannya. Farha
"Apakah ini semua hanya ilusi?"Suara Farhan terdengar gementar, mengalun di antara derap langkah Suci yang berhenti tiba-tiba. Suci tidak menjawab, matanya tertuju pada pintu kamar yang ada di depan mereka. Pintu itu terlihat biasa saja, seolah tak ada yang istimewa, namun ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati Suci."Ini tidak benar, Suci," Farhan melanjutkan, suaranya hampir seperti bisikan. "Kita sudah berputar-putar di sini selama berjam-jam. Semua ini seperti mimpi buruk."Suci menghela napas, mencoba merasakan setiap sudut kamar itu. Indra keenamnya berfungsi dengan sangat tajam malam ini. Ada sesuatu yang tak beres, dan entah kenapa, pintu ini seolah memanggil mereka.Farhan terlihat semakin tertekan, keringat dingin membasahi dahi. Dia menatap pintu itu, seolah menunggu sesuatu yang buruk terjadi. "Kita tidak seharusnya masuk ke sini, Suci."Suci mengabaikan peringatan itu dan melangkah maju, tangannya menyentuh gagang pintu y
"Apa yang kamu cari, Suci?" suara itu datang dari kegelapan, begitu mendalam, begitu kenyal, dan seperti berbisik langsung ke telinga. Itu adalah suara yang sudah dikenali, meskipun suara itu tidak pernah benar-benar ada.Suci berdiri di tengah ruang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang tembus melalui jendela kecil. Dalam keheningan malam, suara itu mengisi udara, membawa rasa takut yang tak terungkapkan. Matanya tajam, menelisik setiap sudut ruang itu.Farhan, yang berdiri di sampingnya, menatap kosong ke arah jendela, tampak bingung dan resah. "Suci, kita harus keluar dari sini. Ada sesuatu yang tidak beres."Namun, Suci tidak menjawab. Ia terlalu terfokus pada suara yang datang dari kegelapan, suara yang seolah berasal dari dalam dirinya. Kegelapan di sekelilingnya mulai bergerak, seperti ada bayangan yang bergerak-gerak tanpa bentuk, memanggilnya. "Kamu tahu, Suci, ini tidak hanya tentang kasus itu."Suci menggigit bibirnya, merasa
"Farhan, apakah kamu yakin ini yang kita cari?" Suara Suci, penuh ketegangan, menggema di ruang sempit yang dipenuhi dengan bayang-bayang yang tampak bergerak-gerak seiring cahaya dari senter yang mereka pegang.Farhan berdiri di depan sebuah lemari kayu tua, matanya terfokus pada pintu lemari yang tampaknya sudah lama tak pernah dibuka. Di balik pintu itu, ada sesuatu yang terasa asing, sesuatu yang menyimpan rahasia."Suci, aku rasa ini sudah saatnya," jawab Farhan, suaranya tetap tenang meski ada kekhawatiran yang jelas tergambar di wajahnya. "Aku tahu ini berbahaya, tapi kita tidak punya pilihan lain."Suci menghela napas, matanya mengedip sejenak, mencoba menahan perasaan yang menghantui pikirannya. Pencarian mereka semakin mendalam, dan semakin banyak rahasia yang terungkap—bahkan lebih dari yang mereka duga.Dia memandang kembali ke arah lemari itu. "Apa sebenarnya yang kita cari, Farhan?" tanyanya pelan.Farhan mengalihkan pandang
"Suci, ini bukan jalan yang benar," suara Farhan terdengar dalam kegelapan yang semakin mencekam. "Kita harus berhenti. Kebenaran yang kita cari... mungkin lebih gelap dari yang bisa kita bayangkan."Suci hanya berjalan lebih cepat, langkah kakinya yang terburu-buru semakin menggema di lorong sempit ini. Wajahnya tampak tegang, seakan ada sesuatu yang menghantui pikirannya lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Di tangan kanan, dia menggenggam secarik kertas yang ditemukan beberapa jam yang lalu—sebuah petunjuk yang mengarah pada rumah tua yang tampaknya terabaikan di pinggir kota.Farhan mengejar, berusaha untuk meraih lengan Suci, tapi Suci menghindar dengan gerakan gesit. "Aku harus menemukan jawaban," katanya dengan suara yang terasa keras dan penuh keteguhan."Lalu bagaimana dengan kamu sendiri? Kau sudah berubah, Suci. Kau tidak lagi sama seperti dulu."Suci berhenti sejenak, menoleh ke arahnya dengan mata yang tampak kosong. "Da
“Farhan, aku merasa ada yang salah.” Suci berhenti sejenak, matanya menyapu ruang gelap yang kini mereka jelajahi. Langkahnya sedikit terganggu, namun ketegasan dalam suaranya tetap terasa. “Kamu merasakannya juga, kan?”Farhan hanya mengangguk pelan, wajahnya tampak tegang. Hanya cahaya dari lampu senter yang menuntun mereka di lorong sempit ini. “Ada sesuatu yang aneh di sini, Suci. Kita tidak seharusnya berada di tempat ini.”Tangan Suci terulur ke arah dinding, merasakan permukaan yang dingin. Pikirannya masih terhimpit oleh banyak pertanyaan, namun intuisinya mengatakan bahwa mereka sudah terlalu dekat dengan jawaban. “Kita sudah sejauh ini. Kita hanya tinggal satu langkah lagi.”Namun, jauh di dalam batinnya, ada rasa cemas yang terus merayap. Mereka sudah memasuki bagian paling dalam dari gedung tua yang terabaikan ini. Tempat yang dulunya merupakan rumah bagi keluarga yang hilang dalam peristiwa yang tidak pernah diungkapkan. Di balik kegelapan yan
Bab 83. Rona di Kegelapan"Apa yang kau lihat?" tanya Farhan, suara tegangnya menembus kesunyian malam.Suci berdiri di ujung ruangan, matanya terpaku pada cermin besar yang tergantung di dinding. Bayangannya tampak kabur, seolah terguncang oleh sesuatu yang tak terlihat. Cahaya dari lampu temaram memantul di permukaan kaca, memunculkan rona-rona yang tak wajar."Farhan, ada sesuatu yang tidak beres," jawab Suci, suara lembut tapi penuh ketegangan.Dia melangkah maju, mendekatkan diri pada cermin itu, perasaan aneh menggelayuti dadanya. Tiba-tiba, bayangan di cermin bukan lagi hanya bayangannya sendiri. Sesuatu yang lebih gelap, lebih misterius, mulai muncul. Mungkin itu bukan hanya ilusi."Ada yang datang," gumam Suci, matanya membesar, mencari sesuatu yang tersembunyi dalam pantulan itu.Farhan mengikuti langkah Suci, wajahnya tergerak sedikit. "Kau yakin ini bukan hanya pikiranmu?"Suci menggeleng, perlahan menanggalk
Suci menatap mata Farhan dengan tatapan yang berbeda. Senyumnya yang dulu seringkali menghangatkan suasana kini tergantikan oleh tatapan tajam yang mengungkapkan kelelahan dan kecemasan yang mendalam.“Ada yang salah?” tanya Farhan, wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat tegang.Suci memicingkan matanya, mengamati setiap detail di sekeliling mereka. Ruangan ini terasa semakin berat, penuh dengan bau apek dan kesunyian yang menggigit. Terdengar desiran angin di luar yang seolah menjadi pengingat akan apa yang sedang terjadi.“Farhan,” suara Suci terdengar serak, seolah ada sesuatu yang membebani pikirannya. “Kamu ingat kasus pertama kali kita selidiki bersama? Kasus itu… yang melibatkan pembunuhan di rumah tua di luar kota.”Farhan mendesah, mengingat kembali. "Tentu saja, aku ingat. Tapi, kenapa itu relevan sekarang?"Suci diam sejenak, menatap jauh ke dalam matanya. Farhan merasa ada sesuatu yang tidak beres, sebuah perasaan tak nya