Bab 83. Rona di Kegelapan
"Apa yang kau lihat?" tanya Farhan, suara tegangnya menembus kesunyian malam.Suci berdiri di ujung ruangan, matanya terpaku pada cermin besar yang tergantung di dinding. Bayangannya tampak kabur, seolah terguncang oleh sesuatu yang tak terlihat. Cahaya dari lampu temaram memantul di permukaan kaca, memunculkan rona-rona yang tak wajar."Farhan, ada sesuatu yang tidak beres," jawab Suci, suara lembut tapi penuh ketegangan.Dia melangkah maju, mendekatkan diri pada cermin itu, perasaan aneh menggelayuti dadanya. Tiba-tiba, bayangan di cermin bukan lagi hanya bayangannya sendiri. Sesuatu yang lebih gelap, lebih misterius, mulai muncul. Mungkin itu bukan hanya ilusi."Ada yang datang," gumam Suci, matanya membesar, mencari sesuatu yang tersembunyi dalam pantulan itu.Farhan mengikuti langkah Suci, wajahnya tergerak sedikit. "Kau yakin ini bukan hanya pikiranmu?"Suci menggeleng, perlahan menanggalkSuci menatap mata Farhan dengan tatapan yang berbeda. Senyumnya yang dulu seringkali menghangatkan suasana kini tergantikan oleh tatapan tajam yang mengungkapkan kelelahan dan kecemasan yang mendalam.“Ada yang salah?” tanya Farhan, wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat tegang.Suci memicingkan matanya, mengamati setiap detail di sekeliling mereka. Ruangan ini terasa semakin berat, penuh dengan bau apek dan kesunyian yang menggigit. Terdengar desiran angin di luar yang seolah menjadi pengingat akan apa yang sedang terjadi.“Farhan,” suara Suci terdengar serak, seolah ada sesuatu yang membebani pikirannya. “Kamu ingat kasus pertama kali kita selidiki bersama? Kasus itu… yang melibatkan pembunuhan di rumah tua di luar kota.”Farhan mendesah, mengingat kembali. "Tentu saja, aku ingat. Tapi, kenapa itu relevan sekarang?"Suci diam sejenak, menatap jauh ke dalam matanya. Farhan merasa ada sesuatu yang tidak beres, sebuah perasaan tak nya
“Farhan, kenapa kau di sini?” suara Suci terdengar tegas meskipun hatinya bergejolak.Farhan berdiri di ambang pintu, dengan tatapan kosong yang menggantung di wajahnya. Tubuhnya sedikit tampak lebih kurus dari sebelumnya, dan matanya memancarkan rasa kelelahan yang dalam. “Suci, ada yang harus kau tahu,” katanya pelan, hampir seperti bisikan.Suci memandangnya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kau tampak... berbeda.”Farhan menghela napas berat, seolah sulit sekali untuk mengucapkan kata-kata yang sudah lama terkunci di dalam kepalanya. “Kita tidak punya banyak waktu. Mereka... mereka mengawasi kita.”Suci merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Siapa mereka?”Farhan mengalihkan pandangannya ke arah jendela, matanya seperti mencari sesuatu di luar sana, di balik kegelapan yang menutupi kota malam itu. “Mereka yang tidak pernah ingin kau tahu. Mereka yang selalu ada, namun tidak pernah tampak... sampai kini.”Suci menggigit bi
“Farhan! Di sini!” Suci berteriak, suaranya menggema di lorong gelap yang lembap. Dia merasa jantungnya berdegup lebih cepat, menandakan ketegangan yang meliputi setiap inci ruang di sekitarnya. Bayangan di ujung lorong bergerak, dan Suci mengerutkan dahi, berusaha mengenali sosok itu.“Kalau kau tidak menjawab, aku akan...” Farhan muncul dari balik bayangan, wajahnya tampak panik. “Kau seharusnya tidak sendirian di sini, Suci!”“Aku tahu, tapi aku harus menemukan jawaban atas semua ini,” jawab Suci dengan tegas. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres, semacam aura negatif yang menyelimuti tempat tersebut. “Ada sesuatu yang aku rasakan... sesuatu yang mengancam.”Farhan melangkah lebih dekat, wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Jangan katakan kau merasakan keberadaan mereka lagi. Kita harus pergi sebelum...”“Terlambat?” Suci memotong, suaranya meninggi. “Setiap kali kita berpaling, kebenaran semakin menjauh. Aku harus menghadapi ini!”Sa
“Farhan, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres!” Suci menatap tajam ke arah Farhan, suaranya bergetar penuh kecemasan. Mereka berdiri di tengah ruangan yang gelap, dikelilingi oleh aroma lembap dari buku-buku tua yang terabaikan. Cahayanya yang redup dari lampu meja bergetar, seolah ikut merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka. “Aku juga merasakannya,” jawab Farhan, menyilangkan tangannya. “Tapi kita harus tenang. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai kita.” Suci mengangguk, tetapi keraguan masih menggelayut di hatinya. Beberapa minggu terakhir telah dipenuhi dengan kejadian aneh—pesan misterius, suara tanpa rupa, dan visi yang menghantuinya saat malam tiba. Segalanya terasa semakin membingungkan. “Coba ingat semua petunjuk yang kita temukan,” Suci berkata, berusaha mengalihkan perhatian. “Ada satu hal yang selalu sama di setiap tempat kejadian—cermin.” “Cermin?” Farhan mengernyit. “Maksudmu, kita
"Kenapa kita harus kembali ke sini, Farhan?" tanya Suci sambil menatap bangunan tua di hadapannya. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha tetap tenang. Farhan berdiri di sebelahnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.“Kita belum menyelesaikannya, Suci,” jawab Farhan dengan suara datar, tanpa menoleh. "Ada sesuatu yang tertinggal di sini. Sesuatu yang belum kita lihat."Suci mendesah berat. Sejak mereka meninggalkan tempat ini beberapa hari yang lalu, ia tahu mereka akan kembali. Ada sesuatu di gedung tua itu yang terus memanggilnya, seolah labirin di dalamnya masih menyimpan rahasia yang lebih dalam. Tapi, kali ini berbeda. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat, lebih pekat, seperti ada sesuatu yang menunggu di dalam, mengintai setiap langkah mereka.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding-dinding berlumut ketika mereka masuk. Bau lembab dan debu menyengat hidung, membuat Suci harus menutup hidungnya sesaat. Di depannya, Farhan berjalan
"Apa kau dengar itu?" Suara Farhan nyaris berbisik, menggantung di udara yang tegang. Ia memegang erat lengan Suci, matanya menatap lurus ke arah pintu di ujung koridor. Ketukan aneh, hampir tidak terdengar, bergema sekali lagi. "Ada seseorang di balik sana," lanjutnya, mencoba merasionalisasi situasi yang semakin ganjil."Farhan, jangan bergerak," perintah Suci, suaranya datar, dingin, penuh kewaspadaan. Mata tajamnya berkedip sesaat, merasakan sesuatu yang lain. Bukan hanya sekadar ketukan. Ada kehadiran... sesuatu, di luar kemampuan mata normal untuk menangkap.Mereka berdua telah mengikuti jejak yang berkelok-kelok melalui labirin bangunan tua ini, di mana setiap sudut menyimpan bayangan yang tampaknya hidup. Tapi ini... pintu di hadapan mereka, terasa lebih dari sekadar pintu biasa. Rasanya... mengancam. Seakan di balik kayu tua itu, bukan hanya ada seseorang, melainkan sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini."Haruskah kita membukanya?" bisik
"Farhan, kau yakin ini jalannya?" Suara Suci terdengar ragu, meskipun tatapannya tajam menatap lorong yang seakan menjerat mereka dalam kegelapan yang tak berujung."Aku... aku tidak tahu, Suci. Setiap langkah terasa sama. Kita sudah melewati tempat ini berkali-kali," jawab Farhan, napasnya terengah, bercampur dengan keringat yang menetes dari pelipisnya.Suci menggigit bibirnya. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi di mana indra keenamnya memberikan petunjuk samar, tapi kali ini, semuanya terasa kacau. Seolah ada kekuatan yang lebih besar, lebih jahat, yang berusaha menutupi kebenaran yang sedang mereka kejar."Kita harus tetap tenang," bisik Suci lebih kepada dirinya sendiri. Tapi dalam hatinya, ia tahu—ada sesuatu yang tidak beres di sini.Langkah mereka terhenti di depan pintu besar yang berkarat. Pintu itu tidak seharusnya ada di sini, mereka sudah melewatinya sebelumnya, tapi sekarang seolah hidup kembali, muncul di hadapan mereka dengan beg
"Apakah kau mendengar itu?" bisik Suci, tangannya meraih gagang pintu yang sedikit bergetar di hadapannya. Suaranya pelan, tapi tegang, seakan sedang menunggu sesuatu di balik kegelapan.Farhan menggelengkan kepala, matanya menatap pintu yang sama, namun ekspresinya tetap tenang. “Tidak ada suara apa-apa,” jawabnya dengan nada datar, meskipun alisnya sedikit berkerut. Ia tahu Suci tak mungkin salah dengan pendengarannya, apalagi dengan kemampuan spesialnya yang sering kali menangkap hal-hal tak kasat mata. “Apa yang kau dengar?”Suci terdiam sejenak, berusaha memahami bisikan yang menyelinap masuk ke pikirannya. Suara itu seperti serangkaian kata yang diucapkan dengan terburu-buru, seolah datang dari balik dunia lain. “Seseorang… atau sesuatu. Mereka terus memanggilku, menyuruhku membuka pintu ini,” ucapnya pelan, tetapi pasti.Farhan mendekat, menaruh tangannya di pundak Suci. "Kau yakin ini bukan jebakan? Semua ini semakin aneh sejak kita menemukan buku