"Kenapa kita harus kembali ke sini, Farhan?" tanya Suci sambil menatap bangunan tua di hadapannya. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha tetap tenang. Farhan berdiri di sebelahnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Kita belum menyelesaikannya, Suci,” jawab Farhan dengan suara datar, tanpa menoleh. "Ada sesuatu yang tertinggal di sini. Sesuatu yang belum kita lihat."Suci mendesah berat. Sejak mereka meninggalkan tempat ini beberapa hari yang lalu, ia tahu mereka akan kembali. Ada sesuatu di gedung tua itu yang terus memanggilnya, seolah labirin di dalamnya masih menyimpan rahasia yang lebih dalam. Tapi, kali ini berbeda. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat, lebih pekat, seperti ada sesuatu yang menunggu di dalam, mengintai setiap langkah mereka.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding-dinding berlumut ketika mereka masuk. Bau lembab dan debu menyengat hidung, membuat Suci harus menutup hidungnya sesaat. Di depannya, Farhan berjalan"Apa kau dengar itu?" Suara Farhan nyaris berbisik, menggantung di udara yang tegang. Ia memegang erat lengan Suci, matanya menatap lurus ke arah pintu di ujung koridor. Ketukan aneh, hampir tidak terdengar, bergema sekali lagi. "Ada seseorang di balik sana," lanjutnya, mencoba merasionalisasi situasi yang semakin ganjil."Farhan, jangan bergerak," perintah Suci, suaranya datar, dingin, penuh kewaspadaan. Mata tajamnya berkedip sesaat, merasakan sesuatu yang lain. Bukan hanya sekadar ketukan. Ada kehadiran... sesuatu, di luar kemampuan mata normal untuk menangkap.Mereka berdua telah mengikuti jejak yang berkelok-kelok melalui labirin bangunan tua ini, di mana setiap sudut menyimpan bayangan yang tampaknya hidup. Tapi ini... pintu di hadapan mereka, terasa lebih dari sekadar pintu biasa. Rasanya... mengancam. Seakan di balik kayu tua itu, bukan hanya ada seseorang, melainkan sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini."Haruskah kita membukanya?" bisik
"Farhan, kau yakin ini jalannya?" Suara Suci terdengar ragu, meskipun tatapannya tajam menatap lorong yang seakan menjerat mereka dalam kegelapan yang tak berujung."Aku... aku tidak tahu, Suci. Setiap langkah terasa sama. Kita sudah melewati tempat ini berkali-kali," jawab Farhan, napasnya terengah, bercampur dengan keringat yang menetes dari pelipisnya.Suci menggigit bibirnya. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi di mana indra keenamnya memberikan petunjuk samar, tapi kali ini, semuanya terasa kacau. Seolah ada kekuatan yang lebih besar, lebih jahat, yang berusaha menutupi kebenaran yang sedang mereka kejar."Kita harus tetap tenang," bisik Suci lebih kepada dirinya sendiri. Tapi dalam hatinya, ia tahu—ada sesuatu yang tidak beres di sini.Langkah mereka terhenti di depan pintu besar yang berkarat. Pintu itu tidak seharusnya ada di sini, mereka sudah melewatinya sebelumnya, tapi sekarang seolah hidup kembali, muncul di hadapan mereka dengan beg
"Apakah kau mendengar itu?" bisik Suci, tangannya meraih gagang pintu yang sedikit bergetar di hadapannya. Suaranya pelan, tapi tegang, seakan sedang menunggu sesuatu di balik kegelapan.Farhan menggelengkan kepala, matanya menatap pintu yang sama, namun ekspresinya tetap tenang. “Tidak ada suara apa-apa,” jawabnya dengan nada datar, meskipun alisnya sedikit berkerut. Ia tahu Suci tak mungkin salah dengan pendengarannya, apalagi dengan kemampuan spesialnya yang sering kali menangkap hal-hal tak kasat mata. “Apa yang kau dengar?”Suci terdiam sejenak, berusaha memahami bisikan yang menyelinap masuk ke pikirannya. Suara itu seperti serangkaian kata yang diucapkan dengan terburu-buru, seolah datang dari balik dunia lain. “Seseorang… atau sesuatu. Mereka terus memanggilku, menyuruhku membuka pintu ini,” ucapnya pelan, tetapi pasti.Farhan mendekat, menaruh tangannya di pundak Suci. "Kau yakin ini bukan jebakan? Semua ini semakin aneh sejak kita menemukan buku
"Farhan, apakah kamu ingat apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" suara Suci memecah keheningan, nada suaranya dingin namun penuh keraguan. Tatapan matanya tajam, seolah ingin menguliti jawaban dari wajah Farhan yang pucat.Farhan terdiam, jari-jarinya gemetar halus. Ada sesuatu yang selama ini ia sembunyikan, dan malam itu, di antara bayangan yang mengintai, rahasia itu mulai mendesak keluar.“Aku...,” Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap ke lantai, menghindari pandangan Suci. “Malam itu tidak berjalan seperti yang kita pikir.”Suci mengernyitkan alisnya. “Apa maksudmu?”"Ada sesuatu—atau seseorang—yang ada di sana, tapi aku tak bisa melihatnya. Aku merasakannya, seperti dingin yang tiba-tiba menusuk punggungku. Itu bukan angin, bukan juga suara-suara yang biasa. Itu seperti..." Farhan berhenti, mencoba mencari kata yang tepat."Seseorang?" Suci mengulangi, suaranya terdengar penuh ketidakpercayaan. "Farhan, malam itu kita
"Suci, kau yakin kita berada di tempat yang benar?" Suara Farhan terdengar resah di antara deru angin malam yang menggoyangkan dedaunan di hutan itu. Kegelapan menyelimuti sekeliling mereka, sementara kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan, seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya.Suci, dengan tatapan mata tajamnya yang tidak pernah goyah, tetap terfokus pada kompas tua di tangannya. "Aku yakin," jawabnya singkat, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Ia tidak hanya mengandalkan kompas itu—indra keenamnya telah bergetar sejak mereka memasuki tempat ini. Ada sesuatu yang bersembunyi, menunggu di balik kabut yang semakin pekat."Kau tahu aku mempercayaimu, tapi... tempat ini, Suci. Rasanya seperti ada yang mengawasi kita," lanjut Farhan, menggigil meskipun udara tidak sedingin itu. Suci hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan setapak di depannya.Mereka terus berjalan, langkah-langkah mereka terdengar samar di bawah desiran
"Suci, kau yakin dengan apa yang kau lihat tadi malam?" suara Farhan memecah kesunyian di dalam mobil yang berhenti di pinggir jalan. Lampu jalanan memendar redup di kaca jendela, memperlihatkan bayangan samar wajah Suci yang terlihat pucat."Ya... Aku melihatnya. Lagi," Suci menjawab pelan, suaranya bergetar namun tegas. Tatapannya lurus ke depan, meski yang dilihat hanyalah kekosongan. "Dia... dia berada di sana, Farhan. Tepat di ujung lorong itu."Farhan mendesah, mengusap wajahnya yang lelah. "Suci, sudah berapa kali kita menemui jalan buntu? Berapa kali kau melihat bayangan itu tapi kita tidak menemukan apapun? Aku ingin percaya padamu, sungguh, tapi semuanya tidak masuk akal. Ada yang tidak beres dengan tempat ini, dengan kasus ini."Suci menoleh, tatapannya tajam. "Kau pikir aku tidak tahu itu? Aku juga merasakannya. Semakin dalam kita masuk ke dalam kasus ini, semakin banyak hal aneh yang terjadi. Bukan hanya sekedar penglihatan, Farhan. Ini nyata.
"Kenapa kau tak pernah memberitahuku?" Suara Suci bergetar di antara deru hujan yang menghantam jendela.Farhan memandangnya dari balik bayang-bayang, wajahnya nyaris tak terlihat di antara kilatan petir yang sesekali menerangi ruangan. "Aku pikir kau sudah tahu," jawabnya pelan, suaranya tenggelam dalam gemuruh."Sudah tahu?" Suci mengulangi, seakan-akan kata-kata itu terlalu asing untuk dipahami. "Bagaimana mungkin aku tahu jika kau menyembunyikan semuanya dariku? Aku bukan pembaca pikiran, Farhan, aku hanya... Aku hanya bisa melihat apa yang tak kasat mata, tapi bukan ini... bukan kebenaranmu."Farhan menunduk, air hujan dari jaketnya membasahi lantai di bawahnya, menciptakan genangan kecil yang memantulkan cahaya redup dari lampu gantung yang berkedip-kedip di atas mereka. "Suci, ini lebih rumit dari yang kau bayangkan. Ada hal-hal yang... bahkan kau tak boleh tahu."Suci merasa seluruh tubuhnya menegang. Bukan hanya karena pengakuan Farhan ya
"Siapa di sana?" Suci tiba-tiba menoleh, matanya mempersempit ketika suara langkah berat bergema di belakangnya.Farhan, yang berada tak jauh darinya, mengangkat tangan seolah ingin menenangkan. "Suci, tenang. Mungkin cuma hembusan angin.""Tidak," Suci berbisik pelan, nadanya tajam, "ini bukan angin."Suasana di sekitarnya mendadak membeku. Setiap helaan napas terasa lebih berat. Dinding-dinding di sekitarnya tampak lebih sempit dari biasanya, seakan ruangan itu bernapas bersamaan dengan mereka. Suci memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran lain di sekitar mereka. Kehadiran yang tak kasat mata, namun begitu nyata dalam indra keenamnya.Bayangan itu mulai menebal, bergerak dari sudut ruangan, semakin mendekat. Suci bisa merasakannya—sesuatu yang lebih dari sekedar bayangan biasa. Ada energi yang menekan, menyelubungi mereka berdua dalam rasa dingin yang menggigit. Matanya perlahan terbuka, menyapu sekeliling, mencari sumber dari kehadiran gela