"Apakah kau mendengar itu?" bisik Suci, tangannya meraih gagang pintu yang sedikit bergetar di hadapannya. Suaranya pelan, tapi tegang, seakan sedang menunggu sesuatu di balik kegelapan.
Farhan menggelengkan kepala, matanya menatap pintu yang sama, namun ekspresinya tetap tenang. “Tidak ada suara apa-apa,” jawabnya dengan nada datar, meskipun alisnya sedikit berkerut. Ia tahu Suci tak mungkin salah dengan pendengarannya, apalagi dengan kemampuan spesialnya yang sering kali menangkap hal-hal tak kasat mata. “Apa yang kau dengar?”Suci terdiam sejenak, berusaha memahami bisikan yang menyelinap masuk ke pikirannya. Suara itu seperti serangkaian kata yang diucapkan dengan terburu-buru, seolah datang dari balik dunia lain. “Seseorang… atau sesuatu. Mereka terus memanggilku, menyuruhku membuka pintu ini,” ucapnya pelan, tetapi pasti.Farhan mendekat, menaruh tangannya di pundak Suci. "Kau yakin ini bukan jebakan? Semua ini semakin aneh sejak kita menemukan buku"Farhan, apakah kamu ingat apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" suara Suci memecah keheningan, nada suaranya dingin namun penuh keraguan. Tatapan matanya tajam, seolah ingin menguliti jawaban dari wajah Farhan yang pucat.Farhan terdiam, jari-jarinya gemetar halus. Ada sesuatu yang selama ini ia sembunyikan, dan malam itu, di antara bayangan yang mengintai, rahasia itu mulai mendesak keluar.“Aku...,” Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap ke lantai, menghindari pandangan Suci. “Malam itu tidak berjalan seperti yang kita pikir.”Suci mengernyitkan alisnya. “Apa maksudmu?”"Ada sesuatu—atau seseorang—yang ada di sana, tapi aku tak bisa melihatnya. Aku merasakannya, seperti dingin yang tiba-tiba menusuk punggungku. Itu bukan angin, bukan juga suara-suara yang biasa. Itu seperti..." Farhan berhenti, mencoba mencari kata yang tepat."Seseorang?" Suci mengulangi, suaranya terdengar penuh ketidakpercayaan. "Farhan, malam itu kita
"Suci, kau yakin kita berada di tempat yang benar?" Suara Farhan terdengar resah di antara deru angin malam yang menggoyangkan dedaunan di hutan itu. Kegelapan menyelimuti sekeliling mereka, sementara kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan, seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya.Suci, dengan tatapan mata tajamnya yang tidak pernah goyah, tetap terfokus pada kompas tua di tangannya. "Aku yakin," jawabnya singkat, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Ia tidak hanya mengandalkan kompas itu—indra keenamnya telah bergetar sejak mereka memasuki tempat ini. Ada sesuatu yang bersembunyi, menunggu di balik kabut yang semakin pekat."Kau tahu aku mempercayaimu, tapi... tempat ini, Suci. Rasanya seperti ada yang mengawasi kita," lanjut Farhan, menggigil meskipun udara tidak sedingin itu. Suci hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan setapak di depannya.Mereka terus berjalan, langkah-langkah mereka terdengar samar di bawah desiran
"Suci, kau yakin dengan apa yang kau lihat tadi malam?" suara Farhan memecah kesunyian di dalam mobil yang berhenti di pinggir jalan. Lampu jalanan memendar redup di kaca jendela, memperlihatkan bayangan samar wajah Suci yang terlihat pucat."Ya... Aku melihatnya. Lagi," Suci menjawab pelan, suaranya bergetar namun tegas. Tatapannya lurus ke depan, meski yang dilihat hanyalah kekosongan. "Dia... dia berada di sana, Farhan. Tepat di ujung lorong itu."Farhan mendesah, mengusap wajahnya yang lelah. "Suci, sudah berapa kali kita menemui jalan buntu? Berapa kali kau melihat bayangan itu tapi kita tidak menemukan apapun? Aku ingin percaya padamu, sungguh, tapi semuanya tidak masuk akal. Ada yang tidak beres dengan tempat ini, dengan kasus ini."Suci menoleh, tatapannya tajam. "Kau pikir aku tidak tahu itu? Aku juga merasakannya. Semakin dalam kita masuk ke dalam kasus ini, semakin banyak hal aneh yang terjadi. Bukan hanya sekedar penglihatan, Farhan. Ini nyata.
"Kenapa kau tak pernah memberitahuku?" Suara Suci bergetar di antara deru hujan yang menghantam jendela.Farhan memandangnya dari balik bayang-bayang, wajahnya nyaris tak terlihat di antara kilatan petir yang sesekali menerangi ruangan. "Aku pikir kau sudah tahu," jawabnya pelan, suaranya tenggelam dalam gemuruh."Sudah tahu?" Suci mengulangi, seakan-akan kata-kata itu terlalu asing untuk dipahami. "Bagaimana mungkin aku tahu jika kau menyembunyikan semuanya dariku? Aku bukan pembaca pikiran, Farhan, aku hanya... Aku hanya bisa melihat apa yang tak kasat mata, tapi bukan ini... bukan kebenaranmu."Farhan menunduk, air hujan dari jaketnya membasahi lantai di bawahnya, menciptakan genangan kecil yang memantulkan cahaya redup dari lampu gantung yang berkedip-kedip di atas mereka. "Suci, ini lebih rumit dari yang kau bayangkan. Ada hal-hal yang... bahkan kau tak boleh tahu."Suci merasa seluruh tubuhnya menegang. Bukan hanya karena pengakuan Farhan ya
"Siapa di sana?" Suci tiba-tiba menoleh, matanya mempersempit ketika suara langkah berat bergema di belakangnya.Farhan, yang berada tak jauh darinya, mengangkat tangan seolah ingin menenangkan. "Suci, tenang. Mungkin cuma hembusan angin.""Tidak," Suci berbisik pelan, nadanya tajam, "ini bukan angin."Suasana di sekitarnya mendadak membeku. Setiap helaan napas terasa lebih berat. Dinding-dinding di sekitarnya tampak lebih sempit dari biasanya, seakan ruangan itu bernapas bersamaan dengan mereka. Suci memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran lain di sekitar mereka. Kehadiran yang tak kasat mata, namun begitu nyata dalam indra keenamnya.Bayangan itu mulai menebal, bergerak dari sudut ruangan, semakin mendekat. Suci bisa merasakannya—sesuatu yang lebih dari sekedar bayangan biasa. Ada energi yang menekan, menyelubungi mereka berdua dalam rasa dingin yang menggigit. Matanya perlahan terbuka, menyapu sekeliling, mencari sumber dari kehadiran gela
"Suci... kamu yakin ini tempatnya?" tanya Farhan dengan nada berbisik, matanya menyapu seluruh sudut ruangan yang diterangi hanya oleh cahaya dari jendela kecil di sudut bangunan tua itu.Suci tidak langsung menjawab. Tatapannya tajam, fokus pada lantai yang dingin dan berdebu. Ia tahu sesuatu ada di sini—sesuatu yang tak kasat mata, tapi begitu nyata di dalam pandangannya. "Ya, aku yakin. Tapi tidak semua yang kita lihat bisa diartikan dengan mudah," gumamnya pelan, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan.Ruangan itu sunyi. Hanya desahan angin yang masuk melalui celah-celah jendela yang rusak, membuat suasana semakin mencekam. Di sudut lain, sebuah kursi goyang tua berdiri diam, seakan menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Suci melangkah lebih dekat ke tengah ruangan. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa. Ia bisa merasakan kehadiran, bayangan yang berdiri di belakangnya, memperhatikan setiap
"Suci, kau yakin ini tempatnya?" suara Farhan terdengar pelan, nyaris berbisik. Ia menatap ke arah pintu kayu yang setengah terbuka, suara angin mendesir pelan, memecah keheningan malam.Suci mengangguk perlahan, matanya terfokus pada cermin besar yang tergantung di dinding ruang tamu rumah tua itu. Di balik tatapan tenangnya, kilatan waspada jelas terlihat. "Ya, ini tempatnya. Pintu itu… tidak seharusnya terbuka sendiri."Farhan menelan ludah, berusaha menghilangkan rasa takut yang mulai merayap di tengkuknya. "Kau merasakan sesuatu?"Suci terdiam sejenak, lalu berbisik, "Lebih dari sekadar sesuatu. Ada sesuatu yang menunggu di sini. Sesuatu yang seharusnya tidak berada di dunia ini."---Suci sudah berada di ambang pintu ruang tamu ketika ia merasakan dorongan kuat untuk melangkah mundur. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya. Ia memejamkan mata sejenak, meresapi aliran energi yang aneh dari sekitarnya.“Cerm
"Jadi, kau benar-benar yakin kita harus ke sana malam ini?" suara Farhan memecah keheningan di dalam mobil yang melaju perlahan.Suci menghela napas panjang, pandangannya lurus ke jalan yang semakin tertutup kabut. "Aku tak punya pilihan lain. Setelah apa yang kita lihat di cermin itu, semua petunjuk mengarah ke rumah tua itu. Kita harus pergi, dan aku yakin ini akan jadi malam terpanjang dalam hidup kita."Farhan menggigit bibirnya, tak sepenuhnya yakin. Cermin itu, yang retak setelah Suci menatapnya, telah menunjukkan gambaran yang kabur. Ada sosok bayangan berdiri di depan rumah tua di pinggir kota—rumah yang, menurut legenda, tak pernah bisa dilihat oleh orang yang tidak terikat dengan masa lalu kelamnya."Aku tahu cerminnya pecah," lanjut Suci. "Tapi bayangan yang kita lihat di sana bukan kebetulan. Ada sesuatu di dalam rumah itu, sesuatu yang berhubungan dengan semua kasus ini. Pembunuhan berantai, mimpi buruk yang terus menghantui… semua berakar di