"Suci... kamu yakin ini tempatnya?" tanya Farhan dengan nada berbisik, matanya menyapu seluruh sudut ruangan yang diterangi hanya oleh cahaya dari jendela kecil di sudut bangunan tua itu.
Suci tidak langsung menjawab. Tatapannya tajam, fokus pada lantai yang dingin dan berdebu. Ia tahu sesuatu ada di sini—sesuatu yang tak kasat mata, tapi begitu nyata di dalam pandangannya. "Ya, aku yakin. Tapi tidak semua yang kita lihat bisa diartikan dengan mudah," gumamnya pelan, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan.Ruangan itu sunyi. Hanya desahan angin yang masuk melalui celah-celah jendela yang rusak, membuat suasana semakin mencekam. Di sudut lain, sebuah kursi goyang tua berdiri diam, seakan menunggu untuk mengungkapkan rahasianya.Suci melangkah lebih dekat ke tengah ruangan. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa. Ia bisa merasakan kehadiran, bayangan yang berdiri di belakangnya, memperhatikan setiap"Suci, kau yakin ini tempatnya?" suara Farhan terdengar pelan, nyaris berbisik. Ia menatap ke arah pintu kayu yang setengah terbuka, suara angin mendesir pelan, memecah keheningan malam.Suci mengangguk perlahan, matanya terfokus pada cermin besar yang tergantung di dinding ruang tamu rumah tua itu. Di balik tatapan tenangnya, kilatan waspada jelas terlihat. "Ya, ini tempatnya. Pintu itu… tidak seharusnya terbuka sendiri."Farhan menelan ludah, berusaha menghilangkan rasa takut yang mulai merayap di tengkuknya. "Kau merasakan sesuatu?"Suci terdiam sejenak, lalu berbisik, "Lebih dari sekadar sesuatu. Ada sesuatu yang menunggu di sini. Sesuatu yang seharusnya tidak berada di dunia ini."---Suci sudah berada di ambang pintu ruang tamu ketika ia merasakan dorongan kuat untuk melangkah mundur. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya. Ia memejamkan mata sejenak, meresapi aliran energi yang aneh dari sekitarnya.“Cerm
"Jadi, kau benar-benar yakin kita harus ke sana malam ini?" suara Farhan memecah keheningan di dalam mobil yang melaju perlahan.Suci menghela napas panjang, pandangannya lurus ke jalan yang semakin tertutup kabut. "Aku tak punya pilihan lain. Setelah apa yang kita lihat di cermin itu, semua petunjuk mengarah ke rumah tua itu. Kita harus pergi, dan aku yakin ini akan jadi malam terpanjang dalam hidup kita."Farhan menggigit bibirnya, tak sepenuhnya yakin. Cermin itu, yang retak setelah Suci menatapnya, telah menunjukkan gambaran yang kabur. Ada sosok bayangan berdiri di depan rumah tua di pinggir kota—rumah yang, menurut legenda, tak pernah bisa dilihat oleh orang yang tidak terikat dengan masa lalu kelamnya."Aku tahu cerminnya pecah," lanjut Suci. "Tapi bayangan yang kita lihat di sana bukan kebetulan. Ada sesuatu di dalam rumah itu, sesuatu yang berhubungan dengan semua kasus ini. Pembunuhan berantai, mimpi buruk yang terus menghantui… semua berakar di
“Jadi, apa yang sebenarnya kau lihat, Suci?” tanya Farhan, suaranya tegas namun penuh rasa ingin tahu. Ia menatap Suci, yang terlihat gelisah. Dalam keremangan ruang tamu yang sepi, hanya suara detakan jam di dinding yang mengisi kekosongan. Suci menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Aku melihat bayangan, Farhan. Bayangan dari masa lalu yang terus membayangi setiap langkahku,” jawab Suci, suaranya bergetar. Di luar, hujan mulai turun dengan deras, mengalir deras di jendela.Farhan berdiri, berjalan mendekat ke arah Suci. “Mungkin itu hanya ilusi, Suci. Kau terlalu terbebani dengan semua yang terjadi. Kita harus fokus pada kasus ini.”“Tidak, ini lebih dari sekadar ilusi,” potong Suci, matanya menyala. “Semua ini berkaitan dengan kejadian yang sama. Pembunuhan-pembunuhan ini, semuanya saling terhubung. Dan aku merasakannya.” Dia menyentuh cermin besar di belakangnya, seolah berusaha menembus bayangan yang ada di dalamnya.Farhan menatap cerm
“Farhan, apakah kamu yakin kita harus melanjutkan?” suara Suci bergetar, menandakan ketidakpastian yang menggelayuti hatinya. Dia berdiri di depan pintu kayu tua, yang tampak semakin menyeramkan dalam cahaya remang-remang. “Kita tidak tahu apa yang menunggu di balik pintu ini.”“Aku rasa kita tidak punya pilihan lain,” jawab Farhan dengan tegas. “Kita sudah terlalu dalam terjerat dalam misteri ini. Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Suci menghela napas berat, berusaha menenangkan pikirannya. Dalam perjalanan mereka yang panjang dan melelahkan, banyak rahasia yang terungkap. Dari kasus pembunuhan aneh hingga kehadiran sosok misterius yang terus membayangi mereka. Kegelapan yang menyelimuti pikiran Suci semakin dalam, dan dia merasa seolah-olah semakin jauh dari dirinya yang sebenarnya.“Jangan khawatir, Suci,” Farhan melanjutkan, merasakan kecemasan yang membebani Suci. “Kita berdua akan menghadapi ini bersama. Kita akan menemukan jawaban
"Farhan, kau yakin kita harus masuk ke dalam sini?" tanya Suci, suaranya bergetar sedikit, meski ia berusaha terdengar tenang. Rasa tidak nyaman mulai merayap di dalam dirinya saat menatap pintu kayu tua yang tergores oleh waktu di depan mereka."Kalau bukan kita, lalu siapa? Kita sudah berlari cukup jauh dari kenyataan," jawab Farhan, menatap Suci dengan serius. Mata mereka bertemu, dan Suci merasakan ketegangan di antara mereka. Dia tahu Farhan juga merasakan apa yang dia rasakan—sebuah ancaman yang tidak tampak, namun sangat nyata."Kau ingat, kan, pesan itu? 'Jika kau berani melihat kebenaran, masuklah ke dalam bayanganmu.'" Suci mengingat kalimat itu, sebuah pesan yang mereka temukan dalam salah satu barang bukti yang mengarah kepada misteri ini. Namun, sepertinya, setiap langkah yang mereka ambil semakin mendekatkan mereka pada kegelapan yang lebih dalam.Farhan mengangguk, tetapi wajahnya tetap tegang. "Kita tidak punya pilihan lain. Setiap orang ya
"Farhan, kau dengar itu?" tanya Suci dengan suara bergetar, telinganya menajam saat bunyi berderak samar terdengar dari arah pintu. Farhan mengerutkan kening, matanya berkedip cepat, berusaha fokus di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka. "Apa itu? Seperti suara... langkah?" gumamnya, merasa ragu antara ilusi dan kenyataan. Suci menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin tak terkendali. "Sepertinya kita tidak sendirian di sini." Ia menoleh ke Farhan, matanya penuh dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. "Siapa yang akan datang ke tempat seperti ini? Di tengah malam pula?" Farhan berusaha merasionalkan situasi, meskipun dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tidak wajar sejak mereka melangkah masuk ke dalam rumah ini. Tempat ini, dengan segala bayangannya yang mengintai, membawa nuansa yang jauh dari sekadar misteri biasa. "Kau tahu siapa," jawab Suci pelan, suaranya nyar
"Suci, kau harus melihat ini sekarang." Farhan mendekati meja dengan tergesa-gesa, napasnya terengah. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. Kecemasan."Apa yang kau temukan kali ini?" Suci merespons dingin, menundukkan kepala untuk memeriksa foto-foto terbaru yang baru saja dikirim dari TKP. Pandangannya tertuju pada sepasang mata yang tak lagi hidup, menyiratkan ketakutan yang mendalam sebelum ajal menjemput.Farhan menyerahkan sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang usang. "Ini ditemukan di dekat tubuh korban terakhir. Lihat isinya."Suci membuka buku itu dengan hati-hati. Halaman-halaman yang kotor dan robek membuatnya semakin curiga. Tulisannya samar, hampir tak terbaca, namun sesuatu di sana mengirimkan rasa dingin yang menjalar ke tulang punggungnya."Ini… tulisan tangan korban?" Suci bergumam, jarinya bergetar saat menyentuh halaman yang sudah mulai lapuk."Tidak. Itu sudah ada di tempat k
"Apakah kau mendengarnya?" bisik Farhan, matanya terpaku pada pintu tua yang tertutup di ujung lorong sempit itu.Suci mengangguk pelan, jantungnya berdetak lebih cepat. "Ya, aku mendengar sesuatu. Tapi itu bukan suara biasa."Farhan menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak langsung membuka pintu. "Ini seperti... ada sesuatu di balik sana, sesuatu yang berusaha keluar."Suci menatapnya sejenak sebelum mendekatkan telinga ke pintu. Suara itu terdengar jelas sekarang. Bukan hanya bisikan, tapi juga gerakan samar seperti sesuatu yang menyeret dirinya melalui kegelapan. Dia menutup matanya, mencoba merasakan lebih jauh dengan kemampuannya yang sering menuntunnya pada kebenaran yang mengerikan. Di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lebih dalam."Tidak hanya berusaha keluar," kata Suci, suaranya serak. "Ini sedang menunggu kita."Farhan mundur, wajahnya pucat. "Menunggu? Apa maksudmu?"Suci tak segera menjawab. Dia hanya menatap p