"Suci, kau harus melihat ini sekarang." Farhan mendekati meja dengan tergesa-gesa, napasnya terengah. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. Kecemasan.
"Apa yang kau temukan kali ini?" Suci merespons dingin, menundukkan kepala untuk memeriksa foto-foto terbaru yang baru saja dikirim dari TKP. Pandangannya tertuju pada sepasang mata yang tak lagi hidup, menyiratkan ketakutan yang mendalam sebelum ajal menjemput.Farhan menyerahkan sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang usang. "Ini ditemukan di dekat tubuh korban terakhir. Lihat isinya."Suci membuka buku itu dengan hati-hati. Halaman-halaman yang kotor dan robek membuatnya semakin curiga. Tulisannya samar, hampir tak terbaca, namun sesuatu di sana mengirimkan rasa dingin yang menjalar ke tulang punggungnya."Ini… tulisan tangan korban?" Suci bergumam, jarinya bergetar saat menyentuh halaman yang sudah mulai lapuk."Tidak. Itu sudah ada di tempat k"Apakah kau mendengarnya?" bisik Farhan, matanya terpaku pada pintu tua yang tertutup di ujung lorong sempit itu.Suci mengangguk pelan, jantungnya berdetak lebih cepat. "Ya, aku mendengar sesuatu. Tapi itu bukan suara biasa."Farhan menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak langsung membuka pintu. "Ini seperti... ada sesuatu di balik sana, sesuatu yang berusaha keluar."Suci menatapnya sejenak sebelum mendekatkan telinga ke pintu. Suara itu terdengar jelas sekarang. Bukan hanya bisikan, tapi juga gerakan samar seperti sesuatu yang menyeret dirinya melalui kegelapan. Dia menutup matanya, mencoba merasakan lebih jauh dengan kemampuannya yang sering menuntunnya pada kebenaran yang mengerikan. Di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lebih dalam."Tidak hanya berusaha keluar," kata Suci, suaranya serak. "Ini sedang menunggu kita."Farhan mundur, wajahnya pucat. "Menunggu? Apa maksudmu?"Suci tak segera menjawab. Dia hanya menatap p
"Suci... kau mendengarnya?" Suara Farhan menggema di ruang yang terasa semakin menekan. Pintu besar di depan mereka terbuka perlahan, berderit seakan enggan membiarkan siapapun memasuki rahasia di baliknya."Apa maksudmu, Farhan?" Suci mengerutkan kening, matanya menatap lurus ke dalam kegelapan yang pekat, namun batinnya merasakan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ruangan kosong di balik pintu itu. "Tidak ada apa-apa di sini, hanya keheningan," lanjutnya, meskipun indera keenamnya terus memberi sinyal akan kehadiran yang tak kasat mata."Kau yakin? Rasanya... ada yang memperhatikan kita." Farhan menoleh sejenak ke arah Suci, ragu apakah ia sedang menduga-duga atau nalurinya benar-benar mencoba memperingatkan.Suci menarik napas dalam-dalam, menahan ketegangan yang mulai menggulung di dadanya. Langkah mereka semakin pelan, menjejak lantai dengan kehati-hatian berlebihan, seolah setiap sentuhan bisa membangunkan sesuatu yang tak boleh terjaga. Baya
"Suci, kamu tidak boleh sendirian di sini!" Farhan memecah keheningan dengan suara bergetar, tatapannya terarah ke sudut ruangan yang kosong. Suci, yang sebelumnya tampak tenang, kini diam membeku di tempatnya, seolah merasakan ada sesuatu yang menatap balik ke arahnya. "Farhan, ada yang salah dengan tempat ini," gumam Suci, tangannya perlahan meraba dinding di sebelahnya. Dingin, kasar, dan terasa seperti dinding itu berdenyut. "Dinding ini... seolah hidup." Suaranya tenggelam dalam keheningan yang semakin menyesakkan. Farhan melangkah mendekat, matanya menyipit menatap ke dalam kegelapan ruangan yang tampak tak berujung. Cahaya dari lampu senter mereka hanya mampu menyorot beberapa meter ke depan, tetapi selebihnya, kegelapan menelan segalanya. Seperti ada sesuatu di balik kegelapan itu, menunggu saat yang tepat untuk muncul. "Apa yang sebenarnya kita cari di sini?" Farhan berbisik, seolah takut ada yang mendengarnya selain Suci. "Setiap sudut tempat ini penuh dengan teka-teki
"Apa kau merasa sesuatu yang aneh?" tanya Farhan tiba-tiba, suaranya sedikit bergetar, memecah keheningan yang menggantung tebal di antara mereka. Di luar, hujan mulai turun deras, menyelimuti malam dengan suara gemuruh yang samar. Suci menatap Farhan dalam-dalam. Ada sesuatu di balik pertanyaan itu, sesuatu yang tak hanya sekadar rasa takut akan tempat mereka berada. "Kau merasakan sesuatu, Farhan?" Suci mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada yang lebih tenang, meskipun di dalam hatinya, kekhawatiran mulai menggerogoti. Farhan hanya mengangguk pelan, namun matanya memancarkan kekalutan. "Aku merasa... kita sedang diawasi. Sejak kita masuk ke ruangan ini, ada sesuatu yang tak beres," lanjutnya, suaranya semakin berbisik. Suci menarik napas dalam-dalam. Instingnya sebagai detektif, yang dipadukan dengan kemampuannya melihat hal-hal yang tak kasat mata, telah mengarahkannya ke sini. Ruangan ini, yang terletak di basement sebuah gedung tua, memiliki sejarah kelam. Beberapa pe
“Farhan, kau melihatnya, kan?!” Suci berbisik tegas, matanya menelusuri bayangan di dinding yang semakin lama semakin kabur. Bayangan itu bukan milik mereka, tetapi bergerak seiring langkah kaki mereka. Farhan menoleh, menatap dinding kosong yang disorot lampu jalanan dari jendela kecil di samping mereka. Keringat dingin menetes di pelipisnya, namun ia tetap diam."Aku... aku melihatnya," jawab Farhan dengan suara bergetar, meski tak sepenuhnya yakin apa yang sebenarnya ia lihat. Bayangan itu bergerak seperti entitas hidup, seolah-olah menyelinap di antara keduanya, mendekat, kemudian menjauh lagi. Detak jantung mereka berpacu seiring dengan intensitas momen tersebut.Suci menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang menempel di punggungnya seperti beban berat. "Ini bukan hanya sekadar kasus, Farhan. Ini... sesuatu yang jauh lebih gelap." Suaranya terdengar rendah dan dalam, menyiratkan bahwa ia menyadari sesuatu yang lebih dari sekadar teka-teki yang me
“Kau ingat sekarang, Farhan? Semua kesepakatan itu?” Suara Suci terdengar mendesak, hampir penuh kemarahan, tetapi dia tetap menjaga nada rendah untuk tidak memancing perhatian sosok yang masih berdiri di sudut ruangan. "Kau tidak bisa sembunyikan ini dariku lagi."Farhan menghela napas panjang, merasa berat setiap kali harus membuka mulut untuk menjawab. "Aku tidak punya pilihan, Suci. Waktu itu... aku terjebak. Ini bukan kesepakatan biasa. Mereka—dia—menawarkan sesuatu yang tidak bisa kutolak.""Tidak bisa kau tolak?" Suci menyipitkan matanya, menyelidik. "Farhan, kau bermain dengan kekuatan yang bahkan aku sendiri tidak mengerti sepenuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan sekarang, sebelum semuanya terlalu terlambat."Farhan menatap tanah, lalu bayangan di depannya. "Mereka memberiku kehidupan yang kedua... tapi aku tahu sekarang, setiap detik yang kujalani sejak itu adalah milik mereka. Dan waktunya... waktunya hampir habis."Suci diam, m
“Apa maksudmu, Suci?” Farhan bertanya dengan nada rendah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya terbelalak, terpaku pada sosok Suci yang berdiri di depannya, penuh tekad.“Aku bilang, aku yang akan mengambil tempatmu,” ulang Suci dengan suara yang lebih tegas, namun ada getar ketakutan yang samar di ujungnya. Dia tahu betul apa yang dia pertaruhkan, tapi pilihan ini adalah satu-satunya cara. “Aku akan menggantikanmu dalam kesepakatan ini.”Pria misterius di sudut ruangan tersenyum tipis, nyaris seperti predator yang baru saja menemukan mangsa baru. “Menarik. Sangat menarik,” katanya dengan nada penuh kepuasan. “Kau sadar, ini bukan permainan, Suci. Ini bukan sesuatu yang bisa dibatalkan begitu saja.”“Biarkan dia pergi, dan aku akan menyerahkan diriku pada kesepakatan itu,” balas Suci, tanpa ragu.Farhan mendekat, mencengkeram lengan Suci dengan kuat. “Tidak! Suci, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan! Ini jauh lebih b
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan
“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan