"Apa kau merasa sesuatu yang aneh?" tanya Farhan tiba-tiba, suaranya sedikit bergetar, memecah keheningan yang menggantung tebal di antara mereka. Di luar, hujan mulai turun deras, menyelimuti malam dengan suara gemuruh yang samar. Suci menatap Farhan dalam-dalam. Ada sesuatu di balik pertanyaan itu, sesuatu yang tak hanya sekadar rasa takut akan tempat mereka berada. "Kau merasakan sesuatu, Farhan?" Suci mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada yang lebih tenang, meskipun di dalam hatinya, kekhawatiran mulai menggerogoti. Farhan hanya mengangguk pelan, namun matanya memancarkan kekalutan. "Aku merasa... kita sedang diawasi. Sejak kita masuk ke ruangan ini, ada sesuatu yang tak beres," lanjutnya, suaranya semakin berbisik. Suci menarik napas dalam-dalam. Instingnya sebagai detektif, yang dipadukan dengan kemampuannya melihat hal-hal yang tak kasat mata, telah mengarahkannya ke sini. Ruangan ini, yang terletak di basement sebuah gedung tua, memiliki sejarah kelam. Beberapa pe
“Farhan, kau melihatnya, kan?!” Suci berbisik tegas, matanya menelusuri bayangan di dinding yang semakin lama semakin kabur. Bayangan itu bukan milik mereka, tetapi bergerak seiring langkah kaki mereka. Farhan menoleh, menatap dinding kosong yang disorot lampu jalanan dari jendela kecil di samping mereka. Keringat dingin menetes di pelipisnya, namun ia tetap diam."Aku... aku melihatnya," jawab Farhan dengan suara bergetar, meski tak sepenuhnya yakin apa yang sebenarnya ia lihat. Bayangan itu bergerak seperti entitas hidup, seolah-olah menyelinap di antara keduanya, mendekat, kemudian menjauh lagi. Detak jantung mereka berpacu seiring dengan intensitas momen tersebut.Suci menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang menempel di punggungnya seperti beban berat. "Ini bukan hanya sekadar kasus, Farhan. Ini... sesuatu yang jauh lebih gelap." Suaranya terdengar rendah dan dalam, menyiratkan bahwa ia menyadari sesuatu yang lebih dari sekadar teka-teki yang me
“Kau ingat sekarang, Farhan? Semua kesepakatan itu?” Suara Suci terdengar mendesak, hampir penuh kemarahan, tetapi dia tetap menjaga nada rendah untuk tidak memancing perhatian sosok yang masih berdiri di sudut ruangan. "Kau tidak bisa sembunyikan ini dariku lagi."Farhan menghela napas panjang, merasa berat setiap kali harus membuka mulut untuk menjawab. "Aku tidak punya pilihan, Suci. Waktu itu... aku terjebak. Ini bukan kesepakatan biasa. Mereka—dia—menawarkan sesuatu yang tidak bisa kutolak.""Tidak bisa kau tolak?" Suci menyipitkan matanya, menyelidik. "Farhan, kau bermain dengan kekuatan yang bahkan aku sendiri tidak mengerti sepenuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan sekarang, sebelum semuanya terlalu terlambat."Farhan menatap tanah, lalu bayangan di depannya. "Mereka memberiku kehidupan yang kedua... tapi aku tahu sekarang, setiap detik yang kujalani sejak itu adalah milik mereka. Dan waktunya... waktunya hampir habis."Suci diam, m
“Apa maksudmu, Suci?” Farhan bertanya dengan nada rendah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya terbelalak, terpaku pada sosok Suci yang berdiri di depannya, penuh tekad.“Aku bilang, aku yang akan mengambil tempatmu,” ulang Suci dengan suara yang lebih tegas, namun ada getar ketakutan yang samar di ujungnya. Dia tahu betul apa yang dia pertaruhkan, tapi pilihan ini adalah satu-satunya cara. “Aku akan menggantikanmu dalam kesepakatan ini.”Pria misterius di sudut ruangan tersenyum tipis, nyaris seperti predator yang baru saja menemukan mangsa baru. “Menarik. Sangat menarik,” katanya dengan nada penuh kepuasan. “Kau sadar, ini bukan permainan, Suci. Ini bukan sesuatu yang bisa dibatalkan begitu saja.”“Biarkan dia pergi, dan aku akan menyerahkan diriku pada kesepakatan itu,” balas Suci, tanpa ragu.Farhan mendekat, mencengkeram lengan Suci dengan kuat. “Tidak! Suci, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan! Ini jauh lebih b
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai