“Farhan, kenapa kau di sini?” suara Suci terdengar tegas meskipun hatinya bergejolak.
Farhan berdiri di ambang pintu, dengan tatapan kosong yang menggantung di wajahnya. Tubuhnya sedikit tampak lebih kurus dari sebelumnya, dan matanya memancarkan rasa kelelahan yang dalam. “Suci, ada yang harus kau tahu,” katanya pelan, hampir seperti bisikan.Suci memandangnya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kau tampak... berbeda.”Farhan menghela napas berat, seolah sulit sekali untuk mengucapkan kata-kata yang sudah lama terkunci di dalam kepalanya. “Kita tidak punya banyak waktu. Mereka... mereka mengawasi kita.”Suci merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Siapa mereka?”Farhan mengalihkan pandangannya ke arah jendela, matanya seperti mencari sesuatu di luar sana, di balik kegelapan yang menutupi kota malam itu. “Mereka yang tidak pernah ingin kau tahu. Mereka yang selalu ada, namun tidak pernah tampak... sampai kini.”Suci menggigit bi“Farhan! Di sini!” Suci berteriak, suaranya menggema di lorong gelap yang lembap. Dia merasa jantungnya berdegup lebih cepat, menandakan ketegangan yang meliputi setiap inci ruang di sekitarnya. Bayangan di ujung lorong bergerak, dan Suci mengerutkan dahi, berusaha mengenali sosok itu.“Kalau kau tidak menjawab, aku akan...” Farhan muncul dari balik bayangan, wajahnya tampak panik. “Kau seharusnya tidak sendirian di sini, Suci!”“Aku tahu, tapi aku harus menemukan jawaban atas semua ini,” jawab Suci dengan tegas. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres, semacam aura negatif yang menyelimuti tempat tersebut. “Ada sesuatu yang aku rasakan... sesuatu yang mengancam.”Farhan melangkah lebih dekat, wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Jangan katakan kau merasakan keberadaan mereka lagi. Kita harus pergi sebelum...”“Terlambat?” Suci memotong, suaranya meninggi. “Setiap kali kita berpaling, kebenaran semakin menjauh. Aku harus menghadapi ini!”Sa
“Farhan, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres!” Suci menatap tajam ke arah Farhan, suaranya bergetar penuh kecemasan. Mereka berdiri di tengah ruangan yang gelap, dikelilingi oleh aroma lembap dari buku-buku tua yang terabaikan. Cahayanya yang redup dari lampu meja bergetar, seolah ikut merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka. “Aku juga merasakannya,” jawab Farhan, menyilangkan tangannya. “Tapi kita harus tenang. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai kita.” Suci mengangguk, tetapi keraguan masih menggelayut di hatinya. Beberapa minggu terakhir telah dipenuhi dengan kejadian aneh—pesan misterius, suara tanpa rupa, dan visi yang menghantuinya saat malam tiba. Segalanya terasa semakin membingungkan. “Coba ingat semua petunjuk yang kita temukan,” Suci berkata, berusaha mengalihkan perhatian. “Ada satu hal yang selalu sama di setiap tempat kejadian—cermin.” “Cermin?” Farhan mengernyit. “Maksudmu, kita
"Kenapa kita harus kembali ke sini, Farhan?" tanya Suci sambil menatap bangunan tua di hadapannya. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha tetap tenang. Farhan berdiri di sebelahnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.“Kita belum menyelesaikannya, Suci,” jawab Farhan dengan suara datar, tanpa menoleh. "Ada sesuatu yang tertinggal di sini. Sesuatu yang belum kita lihat."Suci mendesah berat. Sejak mereka meninggalkan tempat ini beberapa hari yang lalu, ia tahu mereka akan kembali. Ada sesuatu di gedung tua itu yang terus memanggilnya, seolah labirin di dalamnya masih menyimpan rahasia yang lebih dalam. Tapi, kali ini berbeda. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat, lebih pekat, seperti ada sesuatu yang menunggu di dalam, mengintai setiap langkah mereka.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding-dinding berlumut ketika mereka masuk. Bau lembab dan debu menyengat hidung, membuat Suci harus menutup hidungnya sesaat. Di depannya, Farhan berjalan
"Apa kau dengar itu?" Suara Farhan nyaris berbisik, menggantung di udara yang tegang. Ia memegang erat lengan Suci, matanya menatap lurus ke arah pintu di ujung koridor. Ketukan aneh, hampir tidak terdengar, bergema sekali lagi. "Ada seseorang di balik sana," lanjutnya, mencoba merasionalisasi situasi yang semakin ganjil."Farhan, jangan bergerak," perintah Suci, suaranya datar, dingin, penuh kewaspadaan. Mata tajamnya berkedip sesaat, merasakan sesuatu yang lain. Bukan hanya sekadar ketukan. Ada kehadiran... sesuatu, di luar kemampuan mata normal untuk menangkap.Mereka berdua telah mengikuti jejak yang berkelok-kelok melalui labirin bangunan tua ini, di mana setiap sudut menyimpan bayangan yang tampaknya hidup. Tapi ini... pintu di hadapan mereka, terasa lebih dari sekadar pintu biasa. Rasanya... mengancam. Seakan di balik kayu tua itu, bukan hanya ada seseorang, melainkan sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini."Haruskah kita membukanya?" bisik
"Farhan, kau yakin ini jalannya?" Suara Suci terdengar ragu, meskipun tatapannya tajam menatap lorong yang seakan menjerat mereka dalam kegelapan yang tak berujung."Aku... aku tidak tahu, Suci. Setiap langkah terasa sama. Kita sudah melewati tempat ini berkali-kali," jawab Farhan, napasnya terengah, bercampur dengan keringat yang menetes dari pelipisnya.Suci menggigit bibirnya. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi di mana indra keenamnya memberikan petunjuk samar, tapi kali ini, semuanya terasa kacau. Seolah ada kekuatan yang lebih besar, lebih jahat, yang berusaha menutupi kebenaran yang sedang mereka kejar."Kita harus tetap tenang," bisik Suci lebih kepada dirinya sendiri. Tapi dalam hatinya, ia tahu—ada sesuatu yang tidak beres di sini.Langkah mereka terhenti di depan pintu besar yang berkarat. Pintu itu tidak seharusnya ada di sini, mereka sudah melewatinya sebelumnya, tapi sekarang seolah hidup kembali, muncul di hadapan mereka dengan beg
"Apakah kau mendengar itu?" bisik Suci, tangannya meraih gagang pintu yang sedikit bergetar di hadapannya. Suaranya pelan, tapi tegang, seakan sedang menunggu sesuatu di balik kegelapan.Farhan menggelengkan kepala, matanya menatap pintu yang sama, namun ekspresinya tetap tenang. “Tidak ada suara apa-apa,” jawabnya dengan nada datar, meskipun alisnya sedikit berkerut. Ia tahu Suci tak mungkin salah dengan pendengarannya, apalagi dengan kemampuan spesialnya yang sering kali menangkap hal-hal tak kasat mata. “Apa yang kau dengar?”Suci terdiam sejenak, berusaha memahami bisikan yang menyelinap masuk ke pikirannya. Suara itu seperti serangkaian kata yang diucapkan dengan terburu-buru, seolah datang dari balik dunia lain. “Seseorang… atau sesuatu. Mereka terus memanggilku, menyuruhku membuka pintu ini,” ucapnya pelan, tetapi pasti.Farhan mendekat, menaruh tangannya di pundak Suci. "Kau yakin ini bukan jebakan? Semua ini semakin aneh sejak kita menemukan buku
"Farhan, apakah kamu ingat apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" suara Suci memecah keheningan, nada suaranya dingin namun penuh keraguan. Tatapan matanya tajam, seolah ingin menguliti jawaban dari wajah Farhan yang pucat.Farhan terdiam, jari-jarinya gemetar halus. Ada sesuatu yang selama ini ia sembunyikan, dan malam itu, di antara bayangan yang mengintai, rahasia itu mulai mendesak keluar.“Aku...,” Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap ke lantai, menghindari pandangan Suci. “Malam itu tidak berjalan seperti yang kita pikir.”Suci mengernyitkan alisnya. “Apa maksudmu?”"Ada sesuatu—atau seseorang—yang ada di sana, tapi aku tak bisa melihatnya. Aku merasakannya, seperti dingin yang tiba-tiba menusuk punggungku. Itu bukan angin, bukan juga suara-suara yang biasa. Itu seperti..." Farhan berhenti, mencoba mencari kata yang tepat."Seseorang?" Suci mengulangi, suaranya terdengar penuh ketidakpercayaan. "Farhan, malam itu kita
"Suci, kau yakin kita berada di tempat yang benar?" Suara Farhan terdengar resah di antara deru angin malam yang menggoyangkan dedaunan di hutan itu. Kegelapan menyelimuti sekeliling mereka, sementara kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan, seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya.Suci, dengan tatapan mata tajamnya yang tidak pernah goyah, tetap terfokus pada kompas tua di tangannya. "Aku yakin," jawabnya singkat, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Ia tidak hanya mengandalkan kompas itu—indra keenamnya telah bergetar sejak mereka memasuki tempat ini. Ada sesuatu yang bersembunyi, menunggu di balik kabut yang semakin pekat."Kau tahu aku mempercayaimu, tapi... tempat ini, Suci. Rasanya seperti ada yang mengawasi kita," lanjut Farhan, menggigil meskipun udara tidak sedingin itu. Suci hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan setapak di depannya.Mereka terus berjalan, langkah-langkah mereka terdengar samar di bawah desiran
“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan