"Suci, kamu yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan bergetar saat mereka berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, bayangan gelap tampak bergerak-gerak, seolah menunggu untuk menyambut mereka.
"Ini satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang terjadi," jawab Suci tegas, meskipun hatinya bergetar. Dia merasakan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. "Kita tidak bisa mundur sekarang."Farhan mengangguk, meskipun ragu. Pintu yang mereka hadapi tampak usang, dengan goresan-goresan yang membuatnya tampak lebih menakutkan. Dengan satu tarikan napas dalam, Suci mendorong pintu itu. Krek! Suara berderitnya menggema di lorong sunyi, seolah menggugah sesuatu di dalam kegelapan.Begitu mereka melangkah masuk, aroma lembap dan busuk langsung menyergap. Dalam kegelapan, cahaya dari senter Farhan hanya cukup untuk menerangi dinding yang tampak lembab dan berjamur. Suci melangkah hati-hati, merasakan ketegangan dKegelapan di lorong itu begitu pekat hingga Suci merasa jantungnya berdetak dalam irama yang sama dengan bayangan yang menelannya. Setiap langkah kaki yang ia ambil terdengar menggema, membuatnya seolah-olah berjalan di dalam kehampaan. Namun, Suci tahu ini bukanlah kehampaan biasa. Ada sesuatu—atau seseorang—di sana, menunggu di ambang pandangan, siap menerkamnya di saat yang tepat.Farhan sudah jauh tertinggal di belakang, dan itu bukan kesengajaan. Sejak mereka memasuki rumah tua yang terlantar ini, waktu terasa berjalan berbeda. Ada momen di mana Suci merasa sudah berjam-jam berada di sini, sementara pada saat lain, ia merasa baru saja tiba. Semuanya kabur, terbungkus dalam kabut ingatan yang tidak bisa dijelaskan.Langkah kaki Suci terhenti di depan pintu yang terbuka sedikit, tepat di ujung lorong. Suara bisikan samar terdengar dari balik pintu itu, tapi terlalu pelan untuk bisa dikenali. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri saat mendekati pintu itu, seolah-ola
Jeritan tanpa suara di lorong sunyi itu masih terngiang di benak Suci. Ia belum bisa melupakan apa yang baru saja terjadi. Farhan, dengan wajah yang pias, nyaris tak berkata apapun. Mereka berdua hanya berdiri diam di ujung koridor yang gelap, diapit dinding yang lembab, dengan udara yang terasa begitu berat, seakan setiap molekul di sekitarnya membawa jejak kesakitan dari masa lalu yang tak pernah selesai.Suci menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tatapan matanya beralih ke Farhan, berharap menemukan penjelasan. Namun Farhan hanya menunduk, matanya merah, entah dari kelelahan atau rasa takut yang tak terkatakan. Suci merasa waktu seolah membeku di sekitar mereka, seperti ada sesuatu yang menahan setiap langkah mereka.“Kita... kita harus keluar dari sini,” suara Farhan akhirnya pecah, meski terdengar lebih seperti bisikan. Ada ketakutan yang tak terdefinisikan dalam suaranya.Suci menggeleng perlahan. “Tidak, kita belum bisa pergi. Sesu
Suci duduk diam di tepi ranjangnya, pandangannya lurus ke depan namun pikirannya berkecamuk tak tentu arah. Di sudut kamar, cermin besar yang selalu ia hindari tampak memantulkan bayangan buram dari dirinya. Cermin itu adalah peninggalan dari almarhum kakeknya, benda yang telah menjadi saksi bisu bagi banyak hal yang seharusnya tak pernah terungkap. Dalam bayangannya, Suci merasakan kehadiran sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang sedang mengintai dari balik pantulan.“Ini hanya perasaan,” gumamnya pelan, meski batinnya tahu itu bukan sekadar ilusi. Mata batinnya selalu tahu lebih dari sekadar yang kasat mata.Farhan, sahabat sekaligus rekannya dalam memecahkan kasus-kasus pelik, sudah memperingatkan agar Suci berhenti memaksa dirinya. “Istirahatlah, Suci,” katanya dengan nada tegas yang jarang ia gunakan. “Kamu sudah terlalu jauh masuk ke dalam misteri ini. Tidak semua yang kamu lihat harus kamu selidiki.”Tapi Suci tahu betul, berhenti bukanlah pil
Suci menatap lurus ke depan, matanya tak berkedip, seolah menyelami kegelapan yang semakin dalam. Langkah-langkah kecilnya, namun pasti, menggema dalam lorong sunyi itu. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tetapi karena perasaan yang lebih dalam, lebih menggerogoti. Perasaan itu datang begitu mendalam, merayapi setiap pori-pori kulitnya, seperti rantai yang tak kasat mata, namun begitu kuat, menjerat hatinya.Lorong sempit yang dipenuhi bayang-bayang, tidak sepi seperti yang ia kira. Sesuatu mengikutinya. Sesuatu yang ia kenal, meskipun hanya dari bayangannya. Di sana, di kedalaman, ia merasa ada yang mengintai, mengamati setiap langkahnya dengan cermat. Wajah-wajah yang pernah ia kenal dalam kegelapan, kini kembali menghantui, seolah tak pernah meninggalkannya."Farhan…" gumam Suci pelan, suaranya hampir tenggelam dalam bisikan angin malam yang memeluk dinding lorong itu. Ia tahu, entah mengapa, meski tak ada suara yang terdengar, ia merasakannya. Farha
"Apakah ini semua hanya ilusi?"Suara Farhan terdengar gementar, mengalun di antara derap langkah Suci yang berhenti tiba-tiba. Suci tidak menjawab, matanya tertuju pada pintu kamar yang ada di depan mereka. Pintu itu terlihat biasa saja, seolah tak ada yang istimewa, namun ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati Suci."Ini tidak benar, Suci," Farhan melanjutkan, suaranya hampir seperti bisikan. "Kita sudah berputar-putar di sini selama berjam-jam. Semua ini seperti mimpi buruk."Suci menghela napas, mencoba merasakan setiap sudut kamar itu. Indra keenamnya berfungsi dengan sangat tajam malam ini. Ada sesuatu yang tak beres, dan entah kenapa, pintu ini seolah memanggil mereka.Farhan terlihat semakin tertekan, keringat dingin membasahi dahi. Dia menatap pintu itu, seolah menunggu sesuatu yang buruk terjadi. "Kita tidak seharusnya masuk ke sini, Suci."Suci mengabaikan peringatan itu dan melangkah maju, tangannya menyentuh gagang pintu y
"Apa yang kamu cari, Suci?" suara itu datang dari kegelapan, begitu mendalam, begitu kenyal, dan seperti berbisik langsung ke telinga. Itu adalah suara yang sudah dikenali, meskipun suara itu tidak pernah benar-benar ada.Suci berdiri di tengah ruang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang tembus melalui jendela kecil. Dalam keheningan malam, suara itu mengisi udara, membawa rasa takut yang tak terungkapkan. Matanya tajam, menelisik setiap sudut ruang itu.Farhan, yang berdiri di sampingnya, menatap kosong ke arah jendela, tampak bingung dan resah. "Suci, kita harus keluar dari sini. Ada sesuatu yang tidak beres."Namun, Suci tidak menjawab. Ia terlalu terfokus pada suara yang datang dari kegelapan, suara yang seolah berasal dari dalam dirinya. Kegelapan di sekelilingnya mulai bergerak, seperti ada bayangan yang bergerak-gerak tanpa bentuk, memanggilnya. "Kamu tahu, Suci, ini tidak hanya tentang kasus itu."Suci menggigit bibirnya, merasa
"Farhan, apakah kamu yakin ini yang kita cari?" Suara Suci, penuh ketegangan, menggema di ruang sempit yang dipenuhi dengan bayang-bayang yang tampak bergerak-gerak seiring cahaya dari senter yang mereka pegang.Farhan berdiri di depan sebuah lemari kayu tua, matanya terfokus pada pintu lemari yang tampaknya sudah lama tak pernah dibuka. Di balik pintu itu, ada sesuatu yang terasa asing, sesuatu yang menyimpan rahasia."Suci, aku rasa ini sudah saatnya," jawab Farhan, suaranya tetap tenang meski ada kekhawatiran yang jelas tergambar di wajahnya. "Aku tahu ini berbahaya, tapi kita tidak punya pilihan lain."Suci menghela napas, matanya mengedip sejenak, mencoba menahan perasaan yang menghantui pikirannya. Pencarian mereka semakin mendalam, dan semakin banyak rahasia yang terungkap—bahkan lebih dari yang mereka duga.Dia memandang kembali ke arah lemari itu. "Apa sebenarnya yang kita cari, Farhan?" tanyanya pelan.Farhan mengalihkan pandang
"Suci, ini bukan jalan yang benar," suara Farhan terdengar dalam kegelapan yang semakin mencekam. "Kita harus berhenti. Kebenaran yang kita cari... mungkin lebih gelap dari yang bisa kita bayangkan."Suci hanya berjalan lebih cepat, langkah kakinya yang terburu-buru semakin menggema di lorong sempit ini. Wajahnya tampak tegang, seakan ada sesuatu yang menghantui pikirannya lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Di tangan kanan, dia menggenggam secarik kertas yang ditemukan beberapa jam yang lalu—sebuah petunjuk yang mengarah pada rumah tua yang tampaknya terabaikan di pinggir kota.Farhan mengejar, berusaha untuk meraih lengan Suci, tapi Suci menghindar dengan gerakan gesit. "Aku harus menemukan jawaban," katanya dengan suara yang terasa keras dan penuh keteguhan."Lalu bagaimana dengan kamu sendiri? Kau sudah berubah, Suci. Kau tidak lagi sama seperti dulu."Suci berhenti sejenak, menoleh ke arahnya dengan mata yang tampak kosong. "Da