Udara malam terasa berat, setiap tarikan napas seperti dipenuhi serpihan kegelapan yang menggantung di antara mereka. Suci berusaha berdiri dengan napas terengah-engah, bahunya terasa berat setelah pertarungan sengit melawan bayangan yang baru saja terjadi. Cahaya bulan yang tersisa sedikit menerangi wajah Farhan yang pucat. Luka di lengannya tampak parah, darah merembes melalui kain yang robek, tapi dia tetap berdiri, matanya masih menatap lurus ke depan, mencari tanda-tanda pergerakan bayangan.
"Aku rasa... ini belum berakhir," suara Farhan pelan, nyaris seperti gumaman. Namun, ketegangan di nada suaranya tak bisa disembunyikan.Suci merasakan denyut sakit di pelipisnya. Ada kelelahan yang merayap di sekujur tubuh, tetapi lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih berat—rasa kehilangan. Seolah, dengan setiap serangan yang mereka berikan pada bayangan, mereka kehilangan sesuatu dari diri mereka sendiri. Luka yang mereka dapatkan bukan hanya fisik, tetapi juga menggoreHening membungkus mereka, seolah waktu berhenti di tengah bayangan yang masih menyelubungi. Suci membuka matanya perlahan, merasakan panas menyengat di lengan yang masih bersinar samar. Cahaya itu, yang datang entah dari mana, mulai memudar bersama dengan rasa sakit yang sempat menusuk. Dia menoleh ke arah Farhan, yang tampak pucat namun terjaga."Apa yang terjadi barusan?" gumam Farhan, suaranya serak.Suci mencoba mengingat, namun pikirannya kabur. Cahaya itu, yang datang dari luka mereka, sepertinya lebih dari sekadar kebetulan. Ia merasa ada sesuatu yang telah berubah di dalam dirinya. Mungkin bukan hanya luka fisik yang mereka derita, melainkan juga sebuah peringatan, atau mungkin... kunci."Kita harus segera menemukan jawabannya," jawab Suci sambil bangkit perlahan. Tubuhnya terasa lelah, tapi ada desakan dalam hatinya untuk terus maju. "Bayangan ini belum sepenuhnya lenyap. Aku bisa merasakannya."Farhan menarik napas panjang dan mengu
Kegelapan menyelimuti mereka seperti selimut tebal yang tak berujung, menyerap setiap cahaya yang pernah ada. Suci dan Farhan berdiri di ambang pintu besar yang terbuka perlahan, mengungkapkan lorong-lorong gelap yang tampaknya tidak memiliki akhir. Di luar pintu, angin dingin berhembus, membawa bau lembab dan musti, mempertegas suasana mencekam.“Aku tidak suka tempat ini,” ujar Farhan, menyalakan senter kecil yang dipasang di lengannya. Cahaya merahnya memancar lemah, menyoroti dinding-dinding yang tertutup oleh lumut dan kekusaman.Suci mengangguk setuju, matanya berfokus pada dinding-dinding yang tampaknya menyusutkan cahaya di sekeliling mereka. “Labirin ini terasa berbeda. Seolah-olah, setiap langkah kita hanya membawa kita lebih dalam ke dalam kegelapan.”Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, menyadari setiap langkah dapat membawa mereka pada jebakan atau ilusi yang mengerikan. Lorong-lorong itu tampak berubah, menyesatkan dengan beloka
Matahari sudah terbenam saat Suci dan Farhan berdiri di tengah ruangan altar yang terletak di pusat labirin. Cahaya dari simbol di altar berkilauan, menyebarkan cahaya putih ke seluruh ruangan dan membentangkan bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding. Simbol-simbol kuno yang terukir di dinding bergetar pelan, seolah-olah terpengaruh oleh kekuatan baru yang telah mereka bangkitkan.Suci memandang dengan penuh kekhawatiran, matanya terfokus pada simbol di altar. "Kita harus hati-hati," katanya, suaranya serak karena kelelahan. "Simbol ini mungkin bukan hanya petunjuk, tapi juga jebakan terakhir."Farhan mengangguk, menatap sekeliling dengan waspada. "Ya, tapi jika kita tidak mengungkap kebenaran di balik semua ini, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mereka bergerak mendekati altar, setiap langkah mereka penuh dengan perhatian. Suci meraih salah satu simbol di altar, mencoba memahami pola-pola yang ada. Cahaya dari simbol di altar
"Farhan, kau dengar itu?" suara Suci bergetar di antara kegelapan yang pekat, hanya terpecah oleh jeritan panjang nan mengerikan yang bergema di sepanjang lorong sempit."Ya, Suci... Aku mendengarnya. Ini tidak wajar," balas Farhan, suaranya penuh kewaspadaan. Tangan mereka semakin erat menggenggam, seakan berusaha menahan dingin yang merambat hingga ke tulang.Kegelapan di sekitar mereka terasa hidup, memancarkan hawa yang menekan. Jeritan yang baru saja terdengar membawa lebih dari sekadar rasa takut; ada kemarahan yang mendalam, nyeri yang tak terungkap, seolah suara itu datang dari makhluk yang telah lama terkurung dalam penderitaan.Langkah mereka perlahan tapi pasti, menelusuri lorong yang seperti tak berujung. Masing-masing napas mereka semakin terdengar jelas di antara sunyi yang mencengkeram. Lorong itu terasa semakin menyempit, seolah kegelapan itu sendiri mulai menelan ruang dan waktu di sekitar mereka.Suci meraba dinding dengan jari-j
"Farhan, apa kau dengar itu lagi?" suara Suci terdengar parau di tengah kesunyian yang menyelimuti mereka.Farhan menoleh dengan cepat, matanya mencoba menembus kegelapan yang mengelilingi mereka. "Dengar apa? Jeritan itu? Aku pikir kita sudah jauh dari sumbernya."Suci meremas tangannya dengan gugup, hatinya berdebar kencang. "Tidak, ada sesuatu yang lebih dalam... sesuatu yang jauh lebih pribadi. Aku merasakannya, luka ini... seperti mencakar di dalam pikiranku."Keduanya berdiri di tengah lorong panjang yang gelap, seolah waktu dan ruang terdistorsi di sekitarnya. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti membawa jejak penderitaan dari masa lalu yang tak terungkap.Lorong yang mereka lewati terasa semakin dingin, dan dinding-dinding seakan merintih dengan suara hampa. Dengan setiap langkah yang mereka ambil, jeritan yang mengganggu telinga mereka semakin terdengar jelas, seolah-olah berasal dari luka-luka yang mendalam—bukan hanya
"Farhan... apa itu?" suara Suci terdengar serak, nyaris berbisik, saat matanya tertancap pada bentuk kabur yang mulai muncul di depan mereka."Aku... aku tidak tahu," balas Farhan dengan suara gemetar. Dia merasakan napasnya semakin berat, darahnya mendesir cepat di telinga. Bayangan itu semakin mendekat, mengental dari kegelapan seperti kabut yang berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih solid, lebih nyata.Suci tidak bisa memalingkan pandangannya. Mata keempatnya—sebuah anugerah yang sering kali menjadi kutukan—mulai membakar. Dia bisa merasakan energi yang mengalir di sekitar mereka, sebuah energi yang membawa kesan akan kemarahan yang membara, rasa sakit yang tidak pernah sembuh, dan dendam yang terkubur dalam. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam, lebih akrab."Aku mengenalnya," bisik Suci, suaranya retak dengan ketidakpastian.Farhan menatap Suci dengan ekspresi tercampur antara kebingungan dan ketakuta
"Farhan... itu... darah, kan?" Suara Suci bergetar, namun dia berusaha mempertahankan ketenangannya, meski matanya terpaku pada meja kayu usang di tengah ruangan.Farhan menghela napas panjang, wajahnya menegang. "Sepertinya begitu." Tangannya perlahan bergerak menyentuh permukaan meja, jejak darah yang tampak segar menodai ujung jarinya. "Ini belum lama terjadi..."Pemandangan di depan mereka mengunci pikiran dan emosi keduanya. Meja kayu besar dengan noda darah yang mengering di tengahnya, terletak di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari celah di atap. Aroma logam dari darah itu menembus hidung, menambah kejanggalan di tempat ini.“Ini bukan sekadar kecelakaan, ini... sesuatu yang lebih,” Suci melanjutkan, suaranya rendah namun tajam, penuh kewaspadaan.Farhan berdiri di sampingnya, memandang jejak-jejak merah itu dengan mata menyipit. “Ritual. Ini jejak ritual, Suci. Lihatlah pola aliran darahnya.” Dia menunjukkan gur
“Farhan, kau melihat ini juga, kan?” Suci bergumam dengan suara tertahan, matanya terfokus pada jarum jam di dinding yang tampaknya tak bergerak.Farhan mengangguk pelan, dahinya berkerut. “Waktu... sepertinya berhenti. Tapi kenapa kita masih bisa berbicara?”Keduanya berdiri terpaku di ruang sempit yang mereka masuki beberapa saat lalu, darah di atas meja masih tampak segar, menetes perlahan-lahan ke lantai, tetapi di sekitar mereka, segalanya terasa beku. Hening. Diam. Rasanya seperti dunia di sekeliling mereka terhenti, tetapi mereka tetap sadar, seolah terjebak dalam ilusi waktu yang berhenti.Suci menggigil, bukan karena suhu ruangan yang dingin, tetapi oleh kenyataan bahwa setiap detik terasa seperti selamanya. Perasaan tercekik waktu yang tak bergerak ini menekan batinnya. Mereka terjebak dalam dimensi waktu yang melengkung, seolah-olah ruang dan waktu itu sendiri telah diikat oleh kekuatan bayangan yang tidak mereka pahami sepenuhnya.