Kegelapan menyelimuti mereka seperti selimut tebal yang tak berujung, menyerap setiap cahaya yang pernah ada. Suci dan Farhan berdiri di ambang pintu besar yang terbuka perlahan, mengungkapkan lorong-lorong gelap yang tampaknya tidak memiliki akhir. Di luar pintu, angin dingin berhembus, membawa bau lembab dan musti, mempertegas suasana mencekam.
“Aku tidak suka tempat ini,” ujar Farhan, menyalakan senter kecil yang dipasang di lengannya. Cahaya merahnya memancar lemah, menyoroti dinding-dinding yang tertutup oleh lumut dan kekusaman.Suci mengangguk setuju, matanya berfokus pada dinding-dinding yang tampaknya menyusutkan cahaya di sekeliling mereka. “Labirin ini terasa berbeda. Seolah-olah, setiap langkah kita hanya membawa kita lebih dalam ke dalam kegelapan.”Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, menyadari setiap langkah dapat membawa mereka pada jebakan atau ilusi yang mengerikan. Lorong-lorong itu tampak berubah, menyesatkan dengan belokaMatahari sudah terbenam saat Suci dan Farhan berdiri di tengah ruangan altar yang terletak di pusat labirin. Cahaya dari simbol di altar berkilauan, menyebarkan cahaya putih ke seluruh ruangan dan membentangkan bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding. Simbol-simbol kuno yang terukir di dinding bergetar pelan, seolah-olah terpengaruh oleh kekuatan baru yang telah mereka bangkitkan.Suci memandang dengan penuh kekhawatiran, matanya terfokus pada simbol di altar. "Kita harus hati-hati," katanya, suaranya serak karena kelelahan. "Simbol ini mungkin bukan hanya petunjuk, tapi juga jebakan terakhir."Farhan mengangguk, menatap sekeliling dengan waspada. "Ya, tapi jika kita tidak mengungkap kebenaran di balik semua ini, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mereka bergerak mendekati altar, setiap langkah mereka penuh dengan perhatian. Suci meraih salah satu simbol di altar, mencoba memahami pola-pola yang ada. Cahaya dari simbol di altar
"Farhan, kau dengar itu?" suara Suci bergetar di antara kegelapan yang pekat, hanya terpecah oleh jeritan panjang nan mengerikan yang bergema di sepanjang lorong sempit."Ya, Suci... Aku mendengarnya. Ini tidak wajar," balas Farhan, suaranya penuh kewaspadaan. Tangan mereka semakin erat menggenggam, seakan berusaha menahan dingin yang merambat hingga ke tulang.Kegelapan di sekitar mereka terasa hidup, memancarkan hawa yang menekan. Jeritan yang baru saja terdengar membawa lebih dari sekadar rasa takut; ada kemarahan yang mendalam, nyeri yang tak terungkap, seolah suara itu datang dari makhluk yang telah lama terkurung dalam penderitaan.Langkah mereka perlahan tapi pasti, menelusuri lorong yang seperti tak berujung. Masing-masing napas mereka semakin terdengar jelas di antara sunyi yang mencengkeram. Lorong itu terasa semakin menyempit, seolah kegelapan itu sendiri mulai menelan ruang dan waktu di sekitar mereka.Suci meraba dinding dengan jari-j
"Farhan, apa kau dengar itu lagi?" suara Suci terdengar parau di tengah kesunyian yang menyelimuti mereka.Farhan menoleh dengan cepat, matanya mencoba menembus kegelapan yang mengelilingi mereka. "Dengar apa? Jeritan itu? Aku pikir kita sudah jauh dari sumbernya."Suci meremas tangannya dengan gugup, hatinya berdebar kencang. "Tidak, ada sesuatu yang lebih dalam... sesuatu yang jauh lebih pribadi. Aku merasakannya, luka ini... seperti mencakar di dalam pikiranku."Keduanya berdiri di tengah lorong panjang yang gelap, seolah waktu dan ruang terdistorsi di sekitarnya. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti membawa jejak penderitaan dari masa lalu yang tak terungkap.Lorong yang mereka lewati terasa semakin dingin, dan dinding-dinding seakan merintih dengan suara hampa. Dengan setiap langkah yang mereka ambil, jeritan yang mengganggu telinga mereka semakin terdengar jelas, seolah-olah berasal dari luka-luka yang mendalam—bukan hanya
"Farhan... apa itu?" suara Suci terdengar serak, nyaris berbisik, saat matanya tertancap pada bentuk kabur yang mulai muncul di depan mereka."Aku... aku tidak tahu," balas Farhan dengan suara gemetar. Dia merasakan napasnya semakin berat, darahnya mendesir cepat di telinga. Bayangan itu semakin mendekat, mengental dari kegelapan seperti kabut yang berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih solid, lebih nyata.Suci tidak bisa memalingkan pandangannya. Mata keempatnya—sebuah anugerah yang sering kali menjadi kutukan—mulai membakar. Dia bisa merasakan energi yang mengalir di sekitar mereka, sebuah energi yang membawa kesan akan kemarahan yang membara, rasa sakit yang tidak pernah sembuh, dan dendam yang terkubur dalam. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam, lebih akrab."Aku mengenalnya," bisik Suci, suaranya retak dengan ketidakpastian.Farhan menatap Suci dengan ekspresi tercampur antara kebingungan dan ketakuta
"Farhan... itu... darah, kan?" Suara Suci bergetar, namun dia berusaha mempertahankan ketenangannya, meski matanya terpaku pada meja kayu usang di tengah ruangan.Farhan menghela napas panjang, wajahnya menegang. "Sepertinya begitu." Tangannya perlahan bergerak menyentuh permukaan meja, jejak darah yang tampak segar menodai ujung jarinya. "Ini belum lama terjadi..."Pemandangan di depan mereka mengunci pikiran dan emosi keduanya. Meja kayu besar dengan noda darah yang mengering di tengahnya, terletak di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari celah di atap. Aroma logam dari darah itu menembus hidung, menambah kejanggalan di tempat ini.“Ini bukan sekadar kecelakaan, ini... sesuatu yang lebih,” Suci melanjutkan, suaranya rendah namun tajam, penuh kewaspadaan.Farhan berdiri di sampingnya, memandang jejak-jejak merah itu dengan mata menyipit. “Ritual. Ini jejak ritual, Suci. Lihatlah pola aliran darahnya.” Dia menunjukkan gur
“Farhan, kau melihat ini juga, kan?” Suci bergumam dengan suara tertahan, matanya terfokus pada jarum jam di dinding yang tampaknya tak bergerak.Farhan mengangguk pelan, dahinya berkerut. “Waktu... sepertinya berhenti. Tapi kenapa kita masih bisa berbicara?”Keduanya berdiri terpaku di ruang sempit yang mereka masuki beberapa saat lalu, darah di atas meja masih tampak segar, menetes perlahan-lahan ke lantai, tetapi di sekitar mereka, segalanya terasa beku. Hening. Diam. Rasanya seperti dunia di sekeliling mereka terhenti, tetapi mereka tetap sadar, seolah terjebak dalam ilusi waktu yang berhenti.Suci menggigil, bukan karena suhu ruangan yang dingin, tetapi oleh kenyataan bahwa setiap detik terasa seperti selamanya. Perasaan tercekik waktu yang tak bergerak ini menekan batinnya. Mereka terjebak dalam dimensi waktu yang melengkung, seolah-olah ruang dan waktu itu sendiri telah diikat oleh kekuatan bayangan yang tidak mereka pahami sepenuhnya.
“Farhan, aku rasa kita harus fokus pada jam pasir itu,” kata Suci, suaranya bergetar saat dia melirik jam pasir yang kini berhenti berputar. “Kita harus menemukan cara untuk memecahkan misteri ini dan mengakhiri permainan bayangan.”Farhan mengangguk, mata penuh tekad. “Aku setuju. Kalau kita bisa memahami kunci dari jam pasir itu, kita mungkin bisa menghentikan waktu yang membeku.”Keduanya berdiri di depan jam pasir besar yang terbuat dari kaca hitam, terkurung dalam sebuah ruangan yang berbau lembab dan tua. Simbol yang diukir pada meja darah tampaknya memiliki hubungan dengan jam pasir, dan mereka berdua tahu bahwa kunci untuk melanjutkan pencarian mereka ada di sini. Jam pasir itu, meski berhenti, menyimpan rahasia yang penting.Suci memperhatikan detail jam pasir yang rumit. Gelas kaca yang berisi pasir hitam terbuat dari bahan yang tampak sangat kokoh. “Ada sesuatu yang aneh dengan pasir ini. Kenapa pasirnya hitam? Dan kenapa jam pasir ini
"Kenapa tiba-tiba semuanya sunyi begini?" Suci menatap Farhan dengan pandangan bingung, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang memekakan telinga.Farhan diam, matanya berkeliling mengamati sekeliling mereka yang mendadak terasa seperti terhisap ke dalam kehampaan. Setiap gerakan, langkah, bahkan napas mereka, seolah-olah terjebak dalam ruang hampa tanpa gema. Hanya ada mereka berdua di sana, di tengah kegelapan yang sunyi.Langkah kaki mereka berirama pelan, bergerak hati-hati di atas tanah yang dingin. Tidak ada suara gemerisik, tidak ada desiran angin, hanya kekosongan yang menelan semua suara. Keheningan ini bukan sekadar ketenangan; itu adalah sesuatu yang lebih, seolah-olah alam sekitar mereka telah dihapus dari keberadaan, meninggalkan mereka dalam dimensi di mana suara tidak lagi eksis.Farhan, dengan dahi mengernyit, menghentikan langkahnya. "Ini bukan keheningan biasa," gumamnya pelan. "Ada sesuatu yang bersembunyi di balik ini."
“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan