"Kenapa tiba-tiba semuanya sunyi begini?" Suci menatap Farhan dengan pandangan bingung, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang memekakan telinga.
Farhan diam, matanya berkeliling mengamati sekeliling mereka yang mendadak terasa seperti terhisap ke dalam kehampaan. Setiap gerakan, langkah, bahkan napas mereka, seolah-olah terjebak dalam ruang hampa tanpa gema. Hanya ada mereka berdua di sana, di tengah kegelapan yang sunyi.Langkah kaki mereka berirama pelan, bergerak hati-hati di atas tanah yang dingin. Tidak ada suara gemerisik, tidak ada desiran angin, hanya kekosongan yang menelan semua suara. Keheningan ini bukan sekadar ketenangan; itu adalah sesuatu yang lebih, seolah-olah alam sekitar mereka telah dihapus dari keberadaan, meninggalkan mereka dalam dimensi di mana suara tidak lagi eksis.Farhan, dengan dahi mengernyit, menghentikan langkahnya. "Ini bukan keheningan biasa," gumamnya pelan. "Ada sesuatu yang bersembunyi di balik ini."<"Kau melihatnya?" bisik Farhan, matanya menatap lurus ke tanah yang basah dan dipenuhi kabut.Suci mengangguk pelan, mata tajamnya menelusuri jejak samar yang baru saja muncul di antara genangan air yang memantulkan cahaya bulan. "Ini bukan jejak biasa, Farhan. Ada sesuatu yang mengikat jejak ini dengan kekuatan yang kita cari."Keduanya berdiri dalam hening, seolah dunia di sekitar mereka menahan napas. Kabut semakin tebal, menelan sekeliling dengan keheningan yang menghantui, namun di hadapan mereka, jejak tak kasatmata itu memancar dengan sinar lemah, seolah mengundang mereka masuk ke dalam misteri yang lebih dalam."Jejak ini menghilang di tengah kabut," gumam Farhan lagi, menundukkan diri untuk memeriksanya lebih dekat. "Ini... ini bukan sesuatu yang bisa dilihat oleh manusia biasa."Suci menghela napas dalam-dalam. "Aku tahu. Kita harus hati-hati. Setiap langkah yang kita ambil bisa membawa kita lebih dekat pada kebenaran atau lebih dalam pa
"Ini pintunya, Suci." Farhan berdiri di depan sebuah pintu besar yang seakan terbuat dari logam hitam pekat, seolah-olah menyerap semua cahaya di sekitarnya. "Kita hanya perlu menemukan cara untuk membukanya."Suci menyentuh permukaan pintu, merasakan dingin yang hampir menusuk tulang. "Tidak ada gagang, tidak ada kunci, dan tidak ada tanda apapun." Dia menghela napas panjang, rasa frustrasi mulai merayap dalam pikirannya. "Tapi pintu ini jelas menyembunyikan sesuatu yang penting.""Seperti jejak yang kita ikuti," tambah Farhan. "Semua petunjuk mengarah ke sini."Keheningan mencekam kembali menyelimuti mereka. Keheningan yang tidak wajar, seolah-olah dunia di sekitarnya benar-benar berhenti. Namun kali ini, ada sesuatu yang lain—sebuah getaran halus di udara, tanda bahwa mereka tidak sendirian."Mungkin kita harus mencoba..." Farhan menghentikan kalimatnya, ragu-ragu."Tidak ada waktu untuk mencoba-coba, kita harus memastikan," potong Suc
"Farhan... apa yang kau lihat?" Suci berbisik, suara lembutnya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh deras hujan di luar. Tangannya gemetar saat ia mengulurkan kunci yang baru saja mereka temukan. Kunci yang diukir dengan simbol-simbol aneh, berlumuran darah.Farhan menelan ludah, matanya terpaku pada pintu yang berdiri kokoh di depan mereka. Suara detak jantungnya menggema di telinga. Pintu itu—pintu yang selama ini menjadi penghalang utama mereka—kini berada di hadapan mereka, menanti untuk dibuka."Ini bukan sekadar pintu biasa," ucap Farhan perlahan, suaranya terdengar berat. "Ini adalah jalan menuju kebenaran... tapi juga mungkin menjadi awal dari akhir segalanya."Suci menatapnya, mengangguk, meski ketakutan menjalari tubuhnya. Mereka berdua sudah melalui banyak hal—jeritan mengerikan di kegelapan, luka-luka emosional yang dalam, pertemuan dengan bayangan yang mengancam nyawa mereka, dan ritual berdarah yang terhubung dengan masa lalu. Mereka telah
"Farhan, kau yakin ini langkah yang benar?" tanya Suci dengan suara gemetar, menatap pintu besar di hadapannya. Pintu itu memancarkan aura gelap, seakan menghisap cahaya dari sekitarnya. Di dalamnya, mereka tahu kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik bayangan akan terungkap.Farhan mengangguk perlahan. "Kita sudah terlalu jauh, Suci. Tidak ada jalan kembali sekarang."Mereka berdua berdiri di ambang pintu, bersiap menghadapi apa yang mungkin menjadi tantangan terakhir mereka. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seakan menyampaikan peringatan terakhir bahwa apa pun yang ada di balik pintu itu tidak akan membawa kedamaian.Saat Farhan mengangkat tangannya untuk membuka pintu, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Suci menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, sementara Farhan mengerutkan kening, tetap fokus pada tujuannya."Pintu ini bukan hanya tentang kebenaran, Farhan. Ini lebi
“Farhan, kau merasakannya?” suara Suci pecah dalam keheningan yang begitu mencekam, mengalir seperti desis angin yang aneh di tengah ruang hampa di sekitar mereka.Farhan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Matanya terpaku pada suatu titik di kejauhan, di mana bayangan dunia mereka mulai terdistorsi. “Ini... ini seperti ada dua dunia yang bercampur,” gumamnya akhirnya, dengan suara yang terdengar nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Suci menelan ludah, melangkah maju dengan hati-hati, merasakan setiap inci tanah di bawah kakinya mulai bergetar. “Kita... terjebak. Antara dua dimensi,” lanjutnya dengan nada putus asa.Semenjak mereka berhasil mengalahkan bayangan pertama di babak akhir, mereka telah dibawa ke ruang ini, sebuah tempat yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum alam. Semuanya terasa nyata, namun tidak sepenuhnya demikian. Benda-benda di sekitar mereka melayang, berubah bentuk seiring waktu yang tampaknya berjalan lebih lambat dari biasany
"Ini tidak mungkin...," gumam Suci, matanya terpaku pada jejak kaki berdarah yang mengotori lantai di hadapannya. Dia merasakan detak jantungnya semakin cepat, memburu seperti langkah-langkah yang pernah ia dengar di lorong gelap tadi malam.Farhan yang berdiri di sampingnya, terlihat sama bingungnya. "Jejak ini... seperti baru saja terjadi. Tapi siapa yang bisa meninggalkan jejak di tempat ini? Kita berada di antara dua dunia, Suci." Suaranya terdengar parau, terpengaruh oleh situasi aneh yang mereka hadapi."Apakah mungkin kita tidak sendiri di sini? Atau mungkin ini adalah tanda bahwa dunia bayangan dan dunia nyata semakin terhubung?" Suci bertanya, meskipun ia tidak mengharapkan jawaban yang pasti.Farhan menggelengkan kepala, tangannya meraih senjata kecil yang selalu ia bawa. "Kita harus terus maju. Setiap detik berlalu bisa berarti kematian atau kehidupan, dan jejak ini bisa menjadi petunjuk terakhir kita."Mereka melanjutkan perjalanan di
"Ini tidak mungkin, Farhan! Kenapa semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah usai?" Suara Suci pecah dalam keheningan, getaran emosinya menggema di sepanjang lorong gelap. Farhan berdiri diam, matanya terpaku pada jejak kaki berdarah yang baru saja mereka temukan di bab sebelumnya. Keheningan antara mereka bagaikan palu yang menghantam kesadaran mereka berdua—sesuatu yang mengerikan sedang menanti di ujung perjalanan ini, dan mereka tahu tak ada jalan untuk mundur lagi.Farhan menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Kita harus hadapi ini, Suci. Jejak ini tidak bisa diabaikan. Sesuatu di sini menghubungkan kita dengan masa lalu, dan kita harus menyelesaikan semua ini."Jejak kaki yang mereka ikuti sejak bab sebelumnya kini membawa mereka ke sebuah ruangan tua yang penuh dengan simbol-simbol misterius dan peralatan sains yang sudah berkarat. Udara di ruangan itu terasa tebal dengan rahasia yang sudah lama terkubur.
"Apa kau mendengar itu?" Farhan menghentikan langkahnya, suaranya nyaris tenggelam dalam hembusan angin yang semakin kencang. Dia menoleh ke arah Suci, yang berada beberapa langkah di belakangnya, matanya menatap tajam ke arah gelap yang menjulang di depan mereka.Suci menggeleng perlahan, meski wajahnya mengerut dalam ketegangan. "Apa yang kau maksud?" tanyanya seraya mendekat, matanya berusaha menembus kabut tebal yang mulai turun, menyelimuti sekeliling mereka dengan keheningan yang mencekam."Keheningan," Farhan berbisik. "Ini terlalu tenang... seperti badai yang tengah menunggu."Angin bertiup semakin kuat, menderu seakan membawa pesan dari dimensi lain. Pohon-pohon di sekitar mereka berderak, ranting-rantingnya melambai-lambai seperti tangan yang meraih udara kosong, dan bayangan gelap di sekitar mereka seolah hidup, mengintai di balik setiap sudut.Namun, di balik deru angin dan desis kabut, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebi