"Farhan, kau yakin ini langkah yang benar?" tanya Suci dengan suara gemetar, menatap pintu besar di hadapannya. Pintu itu memancarkan aura gelap, seakan menghisap cahaya dari sekitarnya. Di dalamnya, mereka tahu kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik bayangan akan terungkap.
Farhan mengangguk perlahan. "Kita sudah terlalu jauh, Suci. Tidak ada jalan kembali sekarang."Mereka berdua berdiri di ambang pintu, bersiap menghadapi apa yang mungkin menjadi tantangan terakhir mereka. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seakan menyampaikan peringatan terakhir bahwa apa pun yang ada di balik pintu itu tidak akan membawa kedamaian.Saat Farhan mengangkat tangannya untuk membuka pintu, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Suci menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, sementara Farhan mengerutkan kening, tetap fokus pada tujuannya."Pintu ini bukan hanya tentang kebenaran, Farhan. Ini lebi“Farhan, kau merasakannya?” suara Suci pecah dalam keheningan yang begitu mencekam, mengalir seperti desis angin yang aneh di tengah ruang hampa di sekitar mereka.Farhan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Matanya terpaku pada suatu titik di kejauhan, di mana bayangan dunia mereka mulai terdistorsi. “Ini... ini seperti ada dua dunia yang bercampur,” gumamnya akhirnya, dengan suara yang terdengar nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Suci menelan ludah, melangkah maju dengan hati-hati, merasakan setiap inci tanah di bawah kakinya mulai bergetar. “Kita... terjebak. Antara dua dimensi,” lanjutnya dengan nada putus asa.Semenjak mereka berhasil mengalahkan bayangan pertama di babak akhir, mereka telah dibawa ke ruang ini, sebuah tempat yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum alam. Semuanya terasa nyata, namun tidak sepenuhnya demikian. Benda-benda di sekitar mereka melayang, berubah bentuk seiring waktu yang tampaknya berjalan lebih lambat dari biasany
"Ini tidak mungkin...," gumam Suci, matanya terpaku pada jejak kaki berdarah yang mengotori lantai di hadapannya. Dia merasakan detak jantungnya semakin cepat, memburu seperti langkah-langkah yang pernah ia dengar di lorong gelap tadi malam.Farhan yang berdiri di sampingnya, terlihat sama bingungnya. "Jejak ini... seperti baru saja terjadi. Tapi siapa yang bisa meninggalkan jejak di tempat ini? Kita berada di antara dua dunia, Suci." Suaranya terdengar parau, terpengaruh oleh situasi aneh yang mereka hadapi."Apakah mungkin kita tidak sendiri di sini? Atau mungkin ini adalah tanda bahwa dunia bayangan dan dunia nyata semakin terhubung?" Suci bertanya, meskipun ia tidak mengharapkan jawaban yang pasti.Farhan menggelengkan kepala, tangannya meraih senjata kecil yang selalu ia bawa. "Kita harus terus maju. Setiap detik berlalu bisa berarti kematian atau kehidupan, dan jejak ini bisa menjadi petunjuk terakhir kita."Mereka melanjutkan perjalanan di
"Ini tidak mungkin, Farhan! Kenapa semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah usai?" Suara Suci pecah dalam keheningan, getaran emosinya menggema di sepanjang lorong gelap. Farhan berdiri diam, matanya terpaku pada jejak kaki berdarah yang baru saja mereka temukan di bab sebelumnya. Keheningan antara mereka bagaikan palu yang menghantam kesadaran mereka berdua—sesuatu yang mengerikan sedang menanti di ujung perjalanan ini, dan mereka tahu tak ada jalan untuk mundur lagi.Farhan menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Kita harus hadapi ini, Suci. Jejak ini tidak bisa diabaikan. Sesuatu di sini menghubungkan kita dengan masa lalu, dan kita harus menyelesaikan semua ini."Jejak kaki yang mereka ikuti sejak bab sebelumnya kini membawa mereka ke sebuah ruangan tua yang penuh dengan simbol-simbol misterius dan peralatan sains yang sudah berkarat. Udara di ruangan itu terasa tebal dengan rahasia yang sudah lama terkubur.
"Apa kau mendengar itu?" Farhan menghentikan langkahnya, suaranya nyaris tenggelam dalam hembusan angin yang semakin kencang. Dia menoleh ke arah Suci, yang berada beberapa langkah di belakangnya, matanya menatap tajam ke arah gelap yang menjulang di depan mereka.Suci menggeleng perlahan, meski wajahnya mengerut dalam ketegangan. "Apa yang kau maksud?" tanyanya seraya mendekat, matanya berusaha menembus kabut tebal yang mulai turun, menyelimuti sekeliling mereka dengan keheningan yang mencekam."Keheningan," Farhan berbisik. "Ini terlalu tenang... seperti badai yang tengah menunggu."Angin bertiup semakin kuat, menderu seakan membawa pesan dari dimensi lain. Pohon-pohon di sekitar mereka berderak, ranting-rantingnya melambai-lambai seperti tangan yang meraih udara kosong, dan bayangan gelap di sekitar mereka seolah hidup, mengintai di balik setiap sudut.Namun, di balik deru angin dan desis kabut, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebi
"Ini tidak masuk akal, Suci. Keheningan ini... seperti jebakan," kata Farhan dengan nada gemetar, matanya menatap lurus ke arah jalan yang seolah-olah tak berujung. Bayangan samar bergerak di antara kabut tebal, namun tak ada suara, tak ada tanda kehidupan selain detak jantung mereka yang semakin cepat.Suci meneguk napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Farhan, kita tidak punya banyak waktu. Jika kita berhenti di sini, kita akan semakin tersedot ke dalamnya. Kita harus maju."Farhan menelan ludah, langkahnya sedikit ragu sebelum akhirnya mengikuti Suci, kakinya menapak tanah basah yang memantulkan sisa hujan badai. Setiap langkah mereka terasa berat, bukan hanya karena medan, tapi juga karena tekanan tak kasat mata yang seolah-olah menahan setiap gerakan mereka. Udara di sekitar mereka semakin dingin, keheningan itu semakin mencekam. Mereka tahu sesuatu yang besar menunggu di ujung jalan ini.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara napas mereka yang
Pagi itu cerah, dengan sinar matahari yang memancarkan cahaya keemasan ke seluruh kota. Namun, suasana di taman kota yang sepi itu terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak beres. Suci melangkah pelan, mendekati lokasi kejadian yang baru saja dilaporkan oleh pihak kepolisian. Taman yang biasanya dipenuhi anak-anak bermain dan pasangan yang bercengkerama kini tampak kosong. Keceriaan pagi hari seolah lenyap, digantikan oleh rasa cemas yang menggantung di udara. Dia memperhatikan setiap detail dengan tatapan tajam dan penuh konsentrasi. Dari jauh, dia bisa melihat tubuh seorang pria tergeletak di tanah, dikelilingi oleh petugas yang sedang melakukan penyelidikan. Suci menghampiri dengan langkah mantap, meski hati kecilnya merasakan getaran aneh. Wajah pria itu tampak pucat, dengan ekspresi terkejut yang seolah mengatakan bahwa dia tidak siap menghadapi akhir hidupnya. Suci membungkuk untuk melihat lebih dekat. Pria itu mungkin berusia sekitar empat puluhan, dengan rambut hitam yang
Suci menatap layar komputernya, terjebak dalam tumpukan data dan catatan yang bertebaran di mejanya. Aroma kopi yang sudah dingin dan lampu meja yang bersinar redup menambah suasana suram malam itu. Satu-satunya suara yang terdengar adalah ketikan cepat jari-jemarinya di keyboard saat dia mencoba menganalisis setiap detail yang dia miliki tentang kasus terbaru yang dia tangani.Setelah penemuan catatan kecil yang misterius di lokasi kejadian, pikirannya tidak bisa berhenti bertanya-tanya tentang makna pesan tersebut. "Jangan... jangan... mereka datang..."—kata-kata itu terus berputar di kepalanya, seperti bisikan dari kegelapan yang menuntut jawaban.Dari kejauhan, pintu ruangan terbuka dengan lembut, dan Farhan, rekan kerjanya, melangkah masuk. Pria bertubuh tinggi dengan rambut coklat keemasan yang sedikit berantakan, Farhan selalu tampak seperti sosok yang tenang, namun malam ini ada ketegangan yang tampak jelas di wajahnya. Dia meletakkan berkas di meja dan duduk di kursi di hadap
“Suci, apa kamu yakin ini tempatnya?” tanya Farhan dengan nada keraguan, mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah tua yang tampak semakin menyeramkan saat malam semakin larut.Suci mengangguk pelan, matanya masih fokus pada catatan yang dia pegang. “Iya, ini alamat yang sama dengan yang disebut dalam buku itu. Aku yakin ada sesuatu di sini yang bisa membantu kita.”Keduanya berdiri di depan sebuah rumah tua yang tampaknya sudah lama tidak dihuni. Kayu-kayu jendela dan pintu yang mulai lapuk memberi kesan bahwa rumah itu hampir runtuh. Lampu mobil yang menerangi halaman depan rumah seolah tidak mampu mengusir gelap yang menyelimuti bangunan itu.Farhan menggigit bibirnya, merasakan dingin menyengat yang semakin menusuk. “Kalau ini tidak ada hubungannya dengan kasus kita, aku janji akan menuntut pengembalian uang bensin untuk semua perjalanan kita.”Suci hanya tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak mampu menghapus kekhawatiran di wajahnya. “Kalau kau yakin ini tidak penting, kenapa k