"Ini tidak mungkin, Farhan! Kenapa semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah usai?" Suara Suci pecah dalam keheningan, getaran emosinya menggema di sepanjang lorong gelap. Farhan berdiri diam, matanya terpaku pada jejak kaki berdarah yang baru saja mereka temukan di bab sebelumnya. Keheningan antara mereka bagaikan palu yang menghantam kesadaran mereka berdua—sesuatu yang mengerikan sedang menanti di ujung perjalanan ini, dan mereka tahu tak ada jalan untuk mundur lagi.
Farhan menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Kita harus hadapi ini, Suci. Jejak ini tidak bisa diabaikan. Sesuatu di sini menghubungkan kita dengan masa lalu, dan kita harus menyelesaikan semua ini."Jejak kaki yang mereka ikuti sejak bab sebelumnya kini membawa mereka ke sebuah ruangan tua yang penuh dengan simbol-simbol misterius dan peralatan sains yang sudah berkarat. Udara di ruangan itu terasa tebal dengan rahasia yang sudah lama terkubur."Apa kau mendengar itu?" Farhan menghentikan langkahnya, suaranya nyaris tenggelam dalam hembusan angin yang semakin kencang. Dia menoleh ke arah Suci, yang berada beberapa langkah di belakangnya, matanya menatap tajam ke arah gelap yang menjulang di depan mereka.Suci menggeleng perlahan, meski wajahnya mengerut dalam ketegangan. "Apa yang kau maksud?" tanyanya seraya mendekat, matanya berusaha menembus kabut tebal yang mulai turun, menyelimuti sekeliling mereka dengan keheningan yang mencekam."Keheningan," Farhan berbisik. "Ini terlalu tenang... seperti badai yang tengah menunggu."Angin bertiup semakin kuat, menderu seakan membawa pesan dari dimensi lain. Pohon-pohon di sekitar mereka berderak, ranting-rantingnya melambai-lambai seperti tangan yang meraih udara kosong, dan bayangan gelap di sekitar mereka seolah hidup, mengintai di balik setiap sudut.Namun, di balik deru angin dan desis kabut, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebi
"Ini tidak masuk akal, Suci. Keheningan ini... seperti jebakan," kata Farhan dengan nada gemetar, matanya menatap lurus ke arah jalan yang seolah-olah tak berujung. Bayangan samar bergerak di antara kabut tebal, namun tak ada suara, tak ada tanda kehidupan selain detak jantung mereka yang semakin cepat.Suci meneguk napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Farhan, kita tidak punya banyak waktu. Jika kita berhenti di sini, kita akan semakin tersedot ke dalamnya. Kita harus maju."Farhan menelan ludah, langkahnya sedikit ragu sebelum akhirnya mengikuti Suci, kakinya menapak tanah basah yang memantulkan sisa hujan badai. Setiap langkah mereka terasa berat, bukan hanya karena medan, tapi juga karena tekanan tak kasat mata yang seolah-olah menahan setiap gerakan mereka. Udara di sekitar mereka semakin dingin, keheningan itu semakin mencekam. Mereka tahu sesuatu yang besar menunggu di ujung jalan ini.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara napas mereka yang
"Farhan, apa kau melihatnya?" tanya Suci dengan suara bergetar. Matanya terpaku pada simbol aneh yang bersinar di dinding gua gelap tempat mereka berada, sebuah tanda yang tampak seperti perpaduan antara tulisan kuno dan pola geometris rumit.Farhan mengerutkan kening, mendekati tanda tersebut dengan hati-hati. "Ini… sepertinya bukan sekadar ukiran biasa. Ada energi yang keluar dari sini," jawabnya sambil merasakan hawa dingin yang seolah merayap ke seluruh tubuhnya. "Ini bisa jadi kunci terakhir yang kita cari."Suci menatapnya, jelas terguncang oleh kehadiran tanda tersebut. "Kunci terakhir… tapi kenapa terasa seperti kita masih berada di tengah permainan yang belum selesai?"Farhan terdiam sejenak, merenung. “Mungkin tanda ini bukan hanya petunjuk, tapi juga ujian terakhir. Kita harus siap dengan apapun yang akan terjadi setelah ini.”Mereka berdua berdiri di depan tanda itu, merasakan kekuatan yang memancar dari setiap guratan di dinding. Suas
"Apa ini benar-benar akhir dari semua ini, Suci?" Farhan membuka pembicaraan dengan nada ragu, matanya terpaku pada simbol terakhir yang baru saja mereka temukan di dinding tua yang retak.Suci menatap tanda itu, sebuah lingkaran dengan garis terputus-putus di tengahnya, seolah-olah itu memandang balik padanya. “Kita sudah menemukan semua jawabannya, tapi kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang masih tersembunyi?” gumam Suci, suaranya bergetar dengan perasaan aneh yang sulit dijelaskan.Mereka berdiri di ruang sempit yang dulunya mungkin sebuah ruang penyimpanan di bawah tanah, dikelilingi oleh bayangan yang terus bergerak seiring cahaya dari lampu senter yang bergetar di tangan Farhan. Setiap sudut ruangan itu terasa mengintai, membawa keheningan yang jauh lebih menakutkan daripada teriakan apapun. Udara di sekitar mereka terasa tebal, hampir seperti menyelimuti tubuh dengan beban yang tidak terlihat.“Semua petunjuk membawa kita ke sini, Farhan,” lanjut
“Apa maksudmu, semua ini rencanamu?” tanya Suci dengan nada tercekik, menatap sosok di depannya. Ia tidak percaya bahwa orang yang selama ini mereka anggap sebagai sekutu ternyata memiliki agenda tersembunyi. Senyuman tipis yang menghiasi wajah tokoh misterius itu, senyuman yang selama ini tampak ramah, sekarang terlihat seperti topeng yang menutupi niat sebenarnya.Farhan berdiri di sebelah Suci, matanya membara dengan amarah yang sulit dibendung. “Kau mempermainkan kami selama ini?” suaranya bergetar, antara marah dan tidak percaya.Sosok itu tidak langsung menjawab, hanya menatap mereka berdua dengan tenang, senyuman kecil yang sama masih bertahan di bibirnya. “Kadang, kebenaran yang paling pahit adalah yang ada di depan mata, namun tak pernah kita lihat.”Suci tertegun, mencoba merangkai kata-kata sosok itu dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Selama ini, mereka berjuang melawan bayangan dan ancaman, tetapi tidak pernah menyadari bahwa salah satu
“Apa kau yakin ini jalan yang benar?” Farhan bertanya, suaranya bergetar dalam gelapnya malam yang menyelimuti mereka.Suci berhenti sejenak, menatap Farhan dengan mata yang penuh kelelahan tapi juga tekad yang tak tergoyahkan. “Kita sudah terlalu jauh untuk berbalik sekarang. Jejak ini... ini adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa,” jawabnya, suaranya tegas meski ada ketidakpastian di dalamnya.Mereka berdiri di tengah hutan yang sepi, hanya ditemani suara gemerisik angin dan bayang-bayang pepohonan yang bergerak pelan. Jejak kaki yang samar di tanah basah itu, jejak yang baru saja mereka temukan di akhir bab sebelumnya, tampak membawa mereka ke dalam kegelapan yang lebih pekat.Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalur yang hampir tak terlihat. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka menolak untuk dilewati. Farhan menyalakan senter di tangannya, cahaya kecil itu mencoba memecah pekatnya malam, namun hanya mengun
“Farhan, kau yakin kita harus masuk ke sana?” tanya Suci, suaranya bergetar, memecah keheningan malam yang terasa semakin mencekam. Di hadapan mereka, berdiri sebuah bangunan tua dengan jendela-jendela gelap yang tampak seperti mata kosong menatap balik, memancarkan aura yang mengintimidasi.Farhan mengangguk, matanya tetap terfokus pada pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong. “Jejak terakhir mengarah ke sini. Ini satu-satunya tempat yang belum kita periksa.”Mereka melangkah masuk, hati-hati menyusuri lorong panjang yang dipenuhi debu dan bayangan, seakan menyembunyikan rahasia-rahasia yang enggan terungkap. Sinar lampu senter yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan, membuat kegelapan di sekitar mereka terasa semakin pekat dan menyeramkan. Mereka berdua tahu, di balik kegelapan itu, sesuatu menunggu.Setelah melewati begitu banyak rintangan dan ancaman, langkah-langkah ini terasa seperti perjalanan yang paling sulit.
“Apa kau yakin kita ada di tempat yang benar, Farhan?” tanya Suci dengan nada ragu, matanya menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi bayangan gelap. Suci berusaha menenangkan dirinya, tetapi kegelisahan yang membara di dalam dirinya semakin sulit diabaikan.Farhan menghela napas panjang, menatap peta hologram yang melayang di depan mereka. “Semua petunjuk mengarah ke sini. Tapi... ada sesuatu yang tidak benar.” Tatapannya bergeser ke Suci, mencari kepastian yang sama yang kini memudar di balik keraguan.Ruangan yang mereka masuki bukanlah ruang biasa. Di sini, batas antara kenyataan dan bayangan terasa kabur. Dinding-dindingnya terbuat dari materi yang memantulkan, seolah-olah mereka berada di dalam prisma tak kasatmata. Suara langkah kaki mereka bergema tak beraturan, seperti tertelan oleh kehampaan.Mereka berdiri di depan sebuah pintu besar, tertutup rapat dengan segel yang berkilau samar, seakan hidup. Segel itu berdenyut, seirama dengan detak jantung