“Apa kau yakin kita ada di tempat yang benar, Farhan?” tanya Suci dengan nada ragu, matanya menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi bayangan gelap. Suci berusaha menenangkan dirinya, tetapi kegelisahan yang membara di dalam dirinya semakin sulit diabaikan.
Farhan menghela napas panjang, menatap peta hologram yang melayang di depan mereka. “Semua petunjuk mengarah ke sini. Tapi... ada sesuatu yang tidak benar.” Tatapannya bergeser ke Suci, mencari kepastian yang sama yang kini memudar di balik keraguan.Ruangan yang mereka masuki bukanlah ruang biasa. Di sini, batas antara kenyataan dan bayangan terasa kabur. Dinding-dindingnya terbuat dari materi yang memantulkan, seolah-olah mereka berada di dalam prisma tak kasatmata. Suara langkah kaki mereka bergema tak beraturan, seperti tertelan oleh kehampaan.Mereka berdiri di depan sebuah pintu besar, tertutup rapat dengan segel yang berkilau samar, seakan hidup. Segel itu berdenyut, seirama dengan detak jantung“Farhan, aku merasakan sesuatu di sini. Semakin lama kita tinggal di ruangan ini, semakin aku merasa ada yang tidak beres,” Suci berkata, suaranya bergetar, tetapi ada ketegasan dalam nada itu.Farhan menatap dinding kaca yang memantulkan bayangan mereka, menilai kembali situasi yang dihadapi. “Kita harus menemukan cara untuk keluar, Suci. Setiap detik di sini semakin menekan kita.”Suci mengangguk, merasa berat dengan kehadiran bayangan pria tua yang telah mereka temui. “Tapi bagaimana jika kita tidak bisa keluar dari sini? Bagaimana jika ini adalah akhir dari segalanya?”“Suci,” Farhan menjawab, berusaha untuk terdengar meyakinkan, “kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Kita harus menghadapi apa pun yang ada di depan kita.”Saat itu, pintu yang sebelumnya terbuka dengan sendirinya kini menutup kembali dengan suara yang menggema. Suara dentingan logam menambah suasana tegang, menandakan bahwa mereka terjebak. Seakan mengerti ketidakpastian yang m
“Apa kita benar-benar harus melakukannya?” Suara Suci bergetar saat ia menatap pintu besar yang kini sedikit terbuka di hadapan mereka. Cahaya samar yang merembes keluar menciptakan bayangan yang tampak hidup, menari di lantai berdebu.Farhan, yang masih terpengaruh oleh penglihatan di bab sebelumnya, menatap pintu itu dengan ragu. “Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang,” jawabnya pelan, tapi nadanya tidak sepenuhnya yakin. Pikirannya masih dipenuhi bayangan dirinya yang lebih tua, yang penuh dengan penyesalan dan kekecewaan.Suci melangkah lebih dekat, tangannya terulur ragu-ragu ke arah pintu. Sentuhan jemarinya memicu bunyi geretan pelan, seolah pintu itu merespons kehadirannya. “Farhan, aku merasa seperti kita sedang diawasi...”Farhan memandang berkeliling, mencoba mencari sumber kegelisahan yang tiba-tiba menyelimuti mereka. Ruangan di sekitar mereka terasa semakin sempit, seolah-olah dinding-dinding bergerak mendekat perlahan. “Aku juga me
"Apakah kamu yakin kita harus masuk ke sini, Suci?" tanya Farhan dengan suara bergetar, matanya melirik ke arah pintu yang perlahan terbuka sendiri, seolah mengundang mereka untuk menjelajahi kegelapan di baliknya.Suci menatap pintu yang berderit itu, teringat akan bisikan-bisikan yang menghantuinya. "Kita tidak punya pilihan. Ini satu-satunya cara untuk menemukan jawaban yang kita butuhkan."Farhan mengangguk, meskipun raut wajahnya masih mencerminkan ketidakpastian. Mereka melangkah ke dalam ruang yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari sisa-sisa lampu yang bergetar. Dinding-dinding ruangan itu dipenuhi dengan gambar-gambar hitam-putih yang tampak usang, menciptakan suasana mencekam."Siapa yang tinggal di sini?" Farhan berbisik, mencoba menetralkan ketegangan yang mengikat tenggorokannya.Suci meneliti sekeliling. "Dulu, ini adalah tempat persembunyian para pelaku kejahatan yang tidak pernah tertangkap. Banyak yang mengataka
"Kita harus bergerak cepat, Suci!" suara Farhan memecah keheningan, menariknya kembali dari pikirannya yang berkecamuk.Suci menatap pintu bercahaya yang tampak mengundang, rasa takut dan rasa ingin tahunya berperang di dalam dirinya. "Tapi, Farhan... kita tidak tahu apa yang ada di baliknya.""Lebih baik kita menghadapi apa pun itu daripada terjebak di sini," jawab Farhan, suaranya penuh tekad. "Kau sudah merasakan apa yang bisa terjadi jika kita ragu."Suci mengangguk, meskipun keringat dingin mengalir di dahinya. Dia melangkah maju, dan Farhan mengikuti di belakangnya. Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, dia meraih pegangan pintu dan mendorongnya dengan hati-hati.Pintu itu terbuka dengan suara berdecit, mengungkapkan ruangan lain yang tampak lebih terang, tetapi atmosfirnya tetap mencekam. Di dalam, suasana terasa aneh, seolah waktu dan ruang terdistorsi. Di dinding, ada cermin lain—lebih besar dan lebih mengesankan—yang memantulkan bayanga
"Farhan, cepat! Kita tidak punya banyak waktu!" suara Suci bergetar saat dia berusaha menarik Farhan dari cengkeraman bayangan yang semakin mencekam. Cahaya dari cermin tampak semakin redup, seolah terhisap oleh kekuatan kegelapan yang mengintai.Farhan menatap Suci dengan tatapan panik. "Aku tidak bisa! Dia... dia menginginkan sesuatu dari kita!" Suaranya hampir tak terdengar, terperangkap dalam ketakutan. Suci merasakan ketegangan di udara, seolah waktu berhenti, sementara bayangan itu terus berusaha mendekat."Jangan biarkan dia memecah kita!" Suci menegaskan, berusaha menyalurkan semua keberanian yang ada dalam dirinya. Dia tahu, mereka harus bersatu untuk menghadapi kegelapan ini. Dengan segenap tenaga, Suci menarik Farhan, melawan dorongan yang mencoba memisahkan mereka."Tapi apa yang dia inginkan? Apa yang kita lakukan untuk menarik perhatian makhluk ini?" Farhan berusaha mengendalikan napasnya, berjuang melawan rasa takut yang semakin membesar.
"Suci! Bangun, Suci!" Suara Farhan menggema di telinga Suci, membangunkannya dari kegelapan yang mengelilingi mereka. Saat matanya terbuka, dia mendapati dirinya terbaring di lantai dingin dengan Farhan berlutut di sampingnya, wajahnya tampak cemas."Apa yang terjadi?" Suci bertanya, suaranya serak dan nyaris tidak terdengar. Dia merasa pusing, kenangan yang baru saja dia ingat masih mengaburkan pikirannya."Kita terjebak dalam cermin itu. Bayangan—dia mencoba menarik kita lebih dalam," jawab Farhan dengan napas yang tersengal-sengal. "Tapi kita berhasil keluar. Aku tidak tahu bagaimana, tapi kita di sini sekarang."Suci mencoba bangkit, tetapi rasa lelah menghambat gerakannya. Dia merasakan ketegangan di leher dan bahunya, seolah-olah dia baru saja bertarung melawan sesuatu yang lebih kuat dari dirinya. "Kita harus pergi dari sini," katanya, berusaha menahan rasa takut yang mulai melanda."Ke mana kita harus pergi? Kegelapan ini masih mengintai k
"Suci! Suci, bangun!" Suara Farhan menggema di kepalanya, mengiris kegelapan yang menelannya. Suci membuka matanya, terkejut menemukan dirinya terbaring di tanah dingin. Sekelilingnya gelap, hanya ada suara berdesir angin yang membuatnya merinding."Apa yang terjadi? Di mana kita?" tanyanya, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi. Ketakutan menyelubungi dirinya ketika ia teringat akan bayangan wanita yang mengerikan."Kita terperangkap di tempat yang tidak kita kenal," jawab Farhan, suaranya penuh kekhawatiran. "Tapi kita harus mencari jalan keluar dari sini!"Suci bangkit perlahan, merasakan sakit di tubuhnya. "Kita... kita harus menemukan kebenaran tentang wanita itu. Dia mengatakan sesuatu yang penting," katanya, berusaha mengingat kembali semua yang telah mereka alami."Dan kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi," Farhan menambahkan, matanya menyapu sekeliling. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini."Suci mengangguk, m
"Ini saatnya, Suci," suara wanita itu menggema dalam benaknya, memecah keheningan yang melingkupi mereka. "Saatnya menghadapi kebenaran yang kau hindari."Suci mengangguk, merasakan tekadnya semakin kuat. Dengan setiap detak jantung, dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi mundur. Kegelapan mungkin masih mengintai, tetapi dia telah menemukan cahaya yang mampu menuntunnya."Di mana aku harus mulai?" tanya Suci, matanya menatap ke arah bayangan yang masih berseliweran di sekelilingnya."Kau harus kembali ke tempat itu," wanita itu menjawab. "Tempat di mana semua ini bermula. Hanya di sana kau bisa menemukan jawaban yang kau cari."Ingatannya bergejolak, dan tanpa ragu, Suci merasakan dorongan kuat untuk melangkah maju. Dia tidak ingin lagi terjebak dalam kebimbangan. Dalam sekejap, kegelapan itu mulai memudar, dan dia menemukan dirinya berdiri di ambang sebuah ruangan yang familiar—ruang penyelidikan yang pernah dia gunakan untuk menangani kasus-kasus pe
“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan