“Farhan, kau melihat ini juga, kan?” Suci bergumam dengan suara tertahan, matanya terfokus pada jarum jam di dinding yang tampaknya tak bergerak.
Farhan mengangguk pelan, dahinya berkerut. “Waktu... sepertinya berhenti. Tapi kenapa kita masih bisa berbicara?”Keduanya berdiri terpaku di ruang sempit yang mereka masuki beberapa saat lalu, darah di atas meja masih tampak segar, menetes perlahan-lahan ke lantai, tetapi di sekitar mereka, segalanya terasa beku. Hening. Diam. Rasanya seperti dunia di sekeliling mereka terhenti, tetapi mereka tetap sadar, seolah terjebak dalam ilusi waktu yang berhenti.Suci menggigil, bukan karena suhu ruangan yang dingin, tetapi oleh kenyataan bahwa setiap detik terasa seperti selamanya. Perasaan tercekik waktu yang tak bergerak ini menekan batinnya. Mereka terjebak dalam dimensi waktu yang melengkung, seolah-olah ruang dan waktu itu sendiri telah diikat oleh kekuatan bayangan yang tidak mereka pahami sepenuhnya.“Farhan, aku rasa kita harus fokus pada jam pasir itu,” kata Suci, suaranya bergetar saat dia melirik jam pasir yang kini berhenti berputar. “Kita harus menemukan cara untuk memecahkan misteri ini dan mengakhiri permainan bayangan.”Farhan mengangguk, mata penuh tekad. “Aku setuju. Kalau kita bisa memahami kunci dari jam pasir itu, kita mungkin bisa menghentikan waktu yang membeku.”Keduanya berdiri di depan jam pasir besar yang terbuat dari kaca hitam, terkurung dalam sebuah ruangan yang berbau lembab dan tua. Simbol yang diukir pada meja darah tampaknya memiliki hubungan dengan jam pasir, dan mereka berdua tahu bahwa kunci untuk melanjutkan pencarian mereka ada di sini. Jam pasir itu, meski berhenti, menyimpan rahasia yang penting.Suci memperhatikan detail jam pasir yang rumit. Gelas kaca yang berisi pasir hitam terbuat dari bahan yang tampak sangat kokoh. “Ada sesuatu yang aneh dengan pasir ini. Kenapa pasirnya hitam? Dan kenapa jam pasir ini
"Kenapa tiba-tiba semuanya sunyi begini?" Suci menatap Farhan dengan pandangan bingung, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang memekakan telinga.Farhan diam, matanya berkeliling mengamati sekeliling mereka yang mendadak terasa seperti terhisap ke dalam kehampaan. Setiap gerakan, langkah, bahkan napas mereka, seolah-olah terjebak dalam ruang hampa tanpa gema. Hanya ada mereka berdua di sana, di tengah kegelapan yang sunyi.Langkah kaki mereka berirama pelan, bergerak hati-hati di atas tanah yang dingin. Tidak ada suara gemerisik, tidak ada desiran angin, hanya kekosongan yang menelan semua suara. Keheningan ini bukan sekadar ketenangan; itu adalah sesuatu yang lebih, seolah-olah alam sekitar mereka telah dihapus dari keberadaan, meninggalkan mereka dalam dimensi di mana suara tidak lagi eksis.Farhan, dengan dahi mengernyit, menghentikan langkahnya. "Ini bukan keheningan biasa," gumamnya pelan. "Ada sesuatu yang bersembunyi di balik ini."
"Kau melihatnya?" bisik Farhan, matanya menatap lurus ke tanah yang basah dan dipenuhi kabut.Suci mengangguk pelan, mata tajamnya menelusuri jejak samar yang baru saja muncul di antara genangan air yang memantulkan cahaya bulan. "Ini bukan jejak biasa, Farhan. Ada sesuatu yang mengikat jejak ini dengan kekuatan yang kita cari."Keduanya berdiri dalam hening, seolah dunia di sekitar mereka menahan napas. Kabut semakin tebal, menelan sekeliling dengan keheningan yang menghantui, namun di hadapan mereka, jejak tak kasatmata itu memancar dengan sinar lemah, seolah mengundang mereka masuk ke dalam misteri yang lebih dalam."Jejak ini menghilang di tengah kabut," gumam Farhan lagi, menundukkan diri untuk memeriksanya lebih dekat. "Ini... ini bukan sesuatu yang bisa dilihat oleh manusia biasa."Suci menghela napas dalam-dalam. "Aku tahu. Kita harus hati-hati. Setiap langkah yang kita ambil bisa membawa kita lebih dekat pada kebenaran atau lebih dalam pa
"Ini pintunya, Suci." Farhan berdiri di depan sebuah pintu besar yang seakan terbuat dari logam hitam pekat, seolah-olah menyerap semua cahaya di sekitarnya. "Kita hanya perlu menemukan cara untuk membukanya."Suci menyentuh permukaan pintu, merasakan dingin yang hampir menusuk tulang. "Tidak ada gagang, tidak ada kunci, dan tidak ada tanda apapun." Dia menghela napas panjang, rasa frustrasi mulai merayap dalam pikirannya. "Tapi pintu ini jelas menyembunyikan sesuatu yang penting.""Seperti jejak yang kita ikuti," tambah Farhan. "Semua petunjuk mengarah ke sini."Keheningan mencekam kembali menyelimuti mereka. Keheningan yang tidak wajar, seolah-olah dunia di sekitarnya benar-benar berhenti. Namun kali ini, ada sesuatu yang lain—sebuah getaran halus di udara, tanda bahwa mereka tidak sendirian."Mungkin kita harus mencoba..." Farhan menghentikan kalimatnya, ragu-ragu."Tidak ada waktu untuk mencoba-coba, kita harus memastikan," potong Suc
"Farhan... apa yang kau lihat?" Suci berbisik, suara lembutnya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh deras hujan di luar. Tangannya gemetar saat ia mengulurkan kunci yang baru saja mereka temukan. Kunci yang diukir dengan simbol-simbol aneh, berlumuran darah.Farhan menelan ludah, matanya terpaku pada pintu yang berdiri kokoh di depan mereka. Suara detak jantungnya menggema di telinga. Pintu itu—pintu yang selama ini menjadi penghalang utama mereka—kini berada di hadapan mereka, menanti untuk dibuka."Ini bukan sekadar pintu biasa," ucap Farhan perlahan, suaranya terdengar berat. "Ini adalah jalan menuju kebenaran... tapi juga mungkin menjadi awal dari akhir segalanya."Suci menatapnya, mengangguk, meski ketakutan menjalari tubuhnya. Mereka berdua sudah melalui banyak hal—jeritan mengerikan di kegelapan, luka-luka emosional yang dalam, pertemuan dengan bayangan yang mengancam nyawa mereka, dan ritual berdarah yang terhubung dengan masa lalu. Mereka telah
"Farhan, kau yakin ini langkah yang benar?" tanya Suci dengan suara gemetar, menatap pintu besar di hadapannya. Pintu itu memancarkan aura gelap, seakan menghisap cahaya dari sekitarnya. Di dalamnya, mereka tahu kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik bayangan akan terungkap.Farhan mengangguk perlahan. "Kita sudah terlalu jauh, Suci. Tidak ada jalan kembali sekarang."Mereka berdua berdiri di ambang pintu, bersiap menghadapi apa yang mungkin menjadi tantangan terakhir mereka. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seakan menyampaikan peringatan terakhir bahwa apa pun yang ada di balik pintu itu tidak akan membawa kedamaian.Saat Farhan mengangkat tangannya untuk membuka pintu, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Suci menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, sementara Farhan mengerutkan kening, tetap fokus pada tujuannya."Pintu ini bukan hanya tentang kebenaran, Farhan. Ini lebi
“Farhan, kau merasakannya?” suara Suci pecah dalam keheningan yang begitu mencekam, mengalir seperti desis angin yang aneh di tengah ruang hampa di sekitar mereka.Farhan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Matanya terpaku pada suatu titik di kejauhan, di mana bayangan dunia mereka mulai terdistorsi. “Ini... ini seperti ada dua dunia yang bercampur,” gumamnya akhirnya, dengan suara yang terdengar nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Suci menelan ludah, melangkah maju dengan hati-hati, merasakan setiap inci tanah di bawah kakinya mulai bergetar. “Kita... terjebak. Antara dua dimensi,” lanjutnya dengan nada putus asa.Semenjak mereka berhasil mengalahkan bayangan pertama di babak akhir, mereka telah dibawa ke ruang ini, sebuah tempat yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum alam. Semuanya terasa nyata, namun tidak sepenuhnya demikian. Benda-benda di sekitar mereka melayang, berubah bentuk seiring waktu yang tampaknya berjalan lebih lambat dari biasany
"Ini tidak mungkin...," gumam Suci, matanya terpaku pada jejak kaki berdarah yang mengotori lantai di hadapannya. Dia merasakan detak jantungnya semakin cepat, memburu seperti langkah-langkah yang pernah ia dengar di lorong gelap tadi malam.Farhan yang berdiri di sampingnya, terlihat sama bingungnya. "Jejak ini... seperti baru saja terjadi. Tapi siapa yang bisa meninggalkan jejak di tempat ini? Kita berada di antara dua dunia, Suci." Suaranya terdengar parau, terpengaruh oleh situasi aneh yang mereka hadapi."Apakah mungkin kita tidak sendiri di sini? Atau mungkin ini adalah tanda bahwa dunia bayangan dan dunia nyata semakin terhubung?" Suci bertanya, meskipun ia tidak mengharapkan jawaban yang pasti.Farhan menggelengkan kepala, tangannya meraih senjata kecil yang selalu ia bawa. "Kita harus terus maju. Setiap detik berlalu bisa berarti kematian atau kehidupan, dan jejak ini bisa menjadi petunjuk terakhir kita."Mereka melanjutkan perjalanan di