"Farhan, kau dengar itu?" suara Suci bergetar di antara kegelapan yang pekat, hanya terpecah oleh jeritan panjang nan mengerikan yang bergema di sepanjang lorong sempit.
"Ya, Suci... Aku mendengarnya. Ini tidak wajar," balas Farhan, suaranya penuh kewaspadaan. Tangan mereka semakin erat menggenggam, seakan berusaha menahan dingin yang merambat hingga ke tulang.Kegelapan di sekitar mereka terasa hidup, memancarkan hawa yang menekan. Jeritan yang baru saja terdengar membawa lebih dari sekadar rasa takut; ada kemarahan yang mendalam, nyeri yang tak terungkap, seolah suara itu datang dari makhluk yang telah lama terkurung dalam penderitaan.Langkah mereka perlahan tapi pasti, menelusuri lorong yang seperti tak berujung. Masing-masing napas mereka semakin terdengar jelas di antara sunyi yang mencengkeram. Lorong itu terasa semakin menyempit, seolah kegelapan itu sendiri mulai menelan ruang dan waktu di sekitar mereka.Suci meraba dinding dengan jari-j"Farhan, apa kau dengar itu lagi?" suara Suci terdengar parau di tengah kesunyian yang menyelimuti mereka.Farhan menoleh dengan cepat, matanya mencoba menembus kegelapan yang mengelilingi mereka. "Dengar apa? Jeritan itu? Aku pikir kita sudah jauh dari sumbernya."Suci meremas tangannya dengan gugup, hatinya berdebar kencang. "Tidak, ada sesuatu yang lebih dalam... sesuatu yang jauh lebih pribadi. Aku merasakannya, luka ini... seperti mencakar di dalam pikiranku."Keduanya berdiri di tengah lorong panjang yang gelap, seolah waktu dan ruang terdistorsi di sekitarnya. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti membawa jejak penderitaan dari masa lalu yang tak terungkap.Lorong yang mereka lewati terasa semakin dingin, dan dinding-dinding seakan merintih dengan suara hampa. Dengan setiap langkah yang mereka ambil, jeritan yang mengganggu telinga mereka semakin terdengar jelas, seolah-olah berasal dari luka-luka yang mendalam—bukan hanya
"Farhan... apa itu?" suara Suci terdengar serak, nyaris berbisik, saat matanya tertancap pada bentuk kabur yang mulai muncul di depan mereka."Aku... aku tidak tahu," balas Farhan dengan suara gemetar. Dia merasakan napasnya semakin berat, darahnya mendesir cepat di telinga. Bayangan itu semakin mendekat, mengental dari kegelapan seperti kabut yang berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih solid, lebih nyata.Suci tidak bisa memalingkan pandangannya. Mata keempatnya—sebuah anugerah yang sering kali menjadi kutukan—mulai membakar. Dia bisa merasakan energi yang mengalir di sekitar mereka, sebuah energi yang membawa kesan akan kemarahan yang membara, rasa sakit yang tidak pernah sembuh, dan dendam yang terkubur dalam. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam, lebih akrab."Aku mengenalnya," bisik Suci, suaranya retak dengan ketidakpastian.Farhan menatap Suci dengan ekspresi tercampur antara kebingungan dan ketakuta
"Farhan... itu... darah, kan?" Suara Suci bergetar, namun dia berusaha mempertahankan ketenangannya, meski matanya terpaku pada meja kayu usang di tengah ruangan.Farhan menghela napas panjang, wajahnya menegang. "Sepertinya begitu." Tangannya perlahan bergerak menyentuh permukaan meja, jejak darah yang tampak segar menodai ujung jarinya. "Ini belum lama terjadi..."Pemandangan di depan mereka mengunci pikiran dan emosi keduanya. Meja kayu besar dengan noda darah yang mengering di tengahnya, terletak di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari celah di atap. Aroma logam dari darah itu menembus hidung, menambah kejanggalan di tempat ini.“Ini bukan sekadar kecelakaan, ini... sesuatu yang lebih,” Suci melanjutkan, suaranya rendah namun tajam, penuh kewaspadaan.Farhan berdiri di sampingnya, memandang jejak-jejak merah itu dengan mata menyipit. “Ritual. Ini jejak ritual, Suci. Lihatlah pola aliran darahnya.” Dia menunjukkan gur
“Farhan, kau melihat ini juga, kan?” Suci bergumam dengan suara tertahan, matanya terfokus pada jarum jam di dinding yang tampaknya tak bergerak.Farhan mengangguk pelan, dahinya berkerut. “Waktu... sepertinya berhenti. Tapi kenapa kita masih bisa berbicara?”Keduanya berdiri terpaku di ruang sempit yang mereka masuki beberapa saat lalu, darah di atas meja masih tampak segar, menetes perlahan-lahan ke lantai, tetapi di sekitar mereka, segalanya terasa beku. Hening. Diam. Rasanya seperti dunia di sekeliling mereka terhenti, tetapi mereka tetap sadar, seolah terjebak dalam ilusi waktu yang berhenti.Suci menggigil, bukan karena suhu ruangan yang dingin, tetapi oleh kenyataan bahwa setiap detik terasa seperti selamanya. Perasaan tercekik waktu yang tak bergerak ini menekan batinnya. Mereka terjebak dalam dimensi waktu yang melengkung, seolah-olah ruang dan waktu itu sendiri telah diikat oleh kekuatan bayangan yang tidak mereka pahami sepenuhnya.
“Farhan, aku rasa kita harus fokus pada jam pasir itu,” kata Suci, suaranya bergetar saat dia melirik jam pasir yang kini berhenti berputar. “Kita harus menemukan cara untuk memecahkan misteri ini dan mengakhiri permainan bayangan.”Farhan mengangguk, mata penuh tekad. “Aku setuju. Kalau kita bisa memahami kunci dari jam pasir itu, kita mungkin bisa menghentikan waktu yang membeku.”Keduanya berdiri di depan jam pasir besar yang terbuat dari kaca hitam, terkurung dalam sebuah ruangan yang berbau lembab dan tua. Simbol yang diukir pada meja darah tampaknya memiliki hubungan dengan jam pasir, dan mereka berdua tahu bahwa kunci untuk melanjutkan pencarian mereka ada di sini. Jam pasir itu, meski berhenti, menyimpan rahasia yang penting.Suci memperhatikan detail jam pasir yang rumit. Gelas kaca yang berisi pasir hitam terbuat dari bahan yang tampak sangat kokoh. “Ada sesuatu yang aneh dengan pasir ini. Kenapa pasirnya hitam? Dan kenapa jam pasir ini
"Kenapa tiba-tiba semuanya sunyi begini?" Suci menatap Farhan dengan pandangan bingung, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan yang memekakan telinga.Farhan diam, matanya berkeliling mengamati sekeliling mereka yang mendadak terasa seperti terhisap ke dalam kehampaan. Setiap gerakan, langkah, bahkan napas mereka, seolah-olah terjebak dalam ruang hampa tanpa gema. Hanya ada mereka berdua di sana, di tengah kegelapan yang sunyi.Langkah kaki mereka berirama pelan, bergerak hati-hati di atas tanah yang dingin. Tidak ada suara gemerisik, tidak ada desiran angin, hanya kekosongan yang menelan semua suara. Keheningan ini bukan sekadar ketenangan; itu adalah sesuatu yang lebih, seolah-olah alam sekitar mereka telah dihapus dari keberadaan, meninggalkan mereka dalam dimensi di mana suara tidak lagi eksis.Farhan, dengan dahi mengernyit, menghentikan langkahnya. "Ini bukan keheningan biasa," gumamnya pelan. "Ada sesuatu yang bersembunyi di balik ini."
"Kau melihatnya?" bisik Farhan, matanya menatap lurus ke tanah yang basah dan dipenuhi kabut.Suci mengangguk pelan, mata tajamnya menelusuri jejak samar yang baru saja muncul di antara genangan air yang memantulkan cahaya bulan. "Ini bukan jejak biasa, Farhan. Ada sesuatu yang mengikat jejak ini dengan kekuatan yang kita cari."Keduanya berdiri dalam hening, seolah dunia di sekitar mereka menahan napas. Kabut semakin tebal, menelan sekeliling dengan keheningan yang menghantui, namun di hadapan mereka, jejak tak kasatmata itu memancar dengan sinar lemah, seolah mengundang mereka masuk ke dalam misteri yang lebih dalam."Jejak ini menghilang di tengah kabut," gumam Farhan lagi, menundukkan diri untuk memeriksanya lebih dekat. "Ini... ini bukan sesuatu yang bisa dilihat oleh manusia biasa."Suci menghela napas dalam-dalam. "Aku tahu. Kita harus hati-hati. Setiap langkah yang kita ambil bisa membawa kita lebih dekat pada kebenaran atau lebih dalam pa
"Ini pintunya, Suci." Farhan berdiri di depan sebuah pintu besar yang seakan terbuat dari logam hitam pekat, seolah-olah menyerap semua cahaya di sekitarnya. "Kita hanya perlu menemukan cara untuk membukanya."Suci menyentuh permukaan pintu, merasakan dingin yang hampir menusuk tulang. "Tidak ada gagang, tidak ada kunci, dan tidak ada tanda apapun." Dia menghela napas panjang, rasa frustrasi mulai merayap dalam pikirannya. "Tapi pintu ini jelas menyembunyikan sesuatu yang penting.""Seperti jejak yang kita ikuti," tambah Farhan. "Semua petunjuk mengarah ke sini."Keheningan mencekam kembali menyelimuti mereka. Keheningan yang tidak wajar, seolah-olah dunia di sekitarnya benar-benar berhenti. Namun kali ini, ada sesuatu yang lain—sebuah getaran halus di udara, tanda bahwa mereka tidak sendirian."Mungkin kita harus mencoba..." Farhan menghentikan kalimatnya, ragu-ragu."Tidak ada waktu untuk mencoba-coba, kita harus memastikan," potong Suc