Aku terus mengekor kemana Yuda bergerak untuk mendapatkan jawabannya. Pasti ada sesuatu terjadi dengan Mama, karena dari wajahnya Yuda tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya."Mama sakit sayang, dia tadi pingsan." "Astaghfirullah, terus sekarang gimana bi? Udah dibawa kerumah sakit?""Masih dijalan sekarang menuju rumah sakit, kita langsung susul kesana ya.""Iya bi, sebentar aku pakai jilbab dulu." Aku begegas memakai jilbab dan menyambar tas kecilku yang kugantung dibelakang pintu.Aku keluar dari rumah, sementara Yuda sudah menunggu diteras, laki-laki itu bergegas mengunci pintu dan langsung masuk kedalam mobil. Aku mengikuti dan masuk lewat sisi kiri. Mobil dilajukannya dengan sedikit tergesa.Menurut keterangan dari Papa, Mama dilarikan ke rumah sakit Umum di Bengkulu. Yuda terus memainkan setirnya, sesekali aku menyentuh bahunya untuk memberikan peringatan supaya Yuda mengendarai dengan hati-hati. Pasalnya beberapa kali Yuda lengah dan hampir menabrak kendaraan lainnya."Bi
Koin yang kugunakan untuk memgerok mama tiba-tiba terjatuh, lidahku kelu, tak mampu menjawab pertanyaan mama, mataku memanas kian memanas.Aku ambil kembali koin itu dan melanjutkan aktivitasku, "kalau Kak Yuda bersedia menikah lagi dan dia mencintanya, insyallah Naya ikhlas Ma." Dengan gemetar aku menjawab pertanyaan Mama."Yang bener Nay?" Tanya Mama."Mama bukannya tidak menyayangimu lagi, bukannya Mama ingin memisahkan kamu, tapi jujur, Mama sangat ingin menimang cucu, Mama kan sudah tua, kesehatan Mama makin menurun." Mama berbalik badan dan menggenggam tanganku.Aku memalinhkan wajahku kesamping, menhindari kontak mata dengan Mama, rasa lahar panas disudut mataku ingin tumpah."Nay, kamu menantu yang sangat baik, tapi....""Tapi Naya tidak bisa memberikan keturunan Ma, Naya sadar, Naya juga sudah pernah meminta Kak Yuda untuk menikah lagi." Potongku."Terus bagaimana tanggapan Yuda?" Aku menggeleng, kemudian aku menarik tangaku dari genggaman Mama."Naya kebelakang dulu Ma." Ta
Rintik hujan membasahi sepanjang perjalanan. Alunan ayat-ayat suci menemani perjalanan kami. Yuda tampak fokus mengendari roda empat, pria berkemeja coklat itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, karena harus mengejar meeting penting dikantornya.Aku hanya diam memandang keluar jendela sambil menghitung rintik hujan yang menetes dikaca mobil. Tiba-tiba Yuda menggenggam tanganku."Gak ada yang harus kamu fikirin, apalagi omongan mama, aku gak mau nanti kamu malah sakit." Laki-laki belahan jiwaku itu berbicara tetapi masih dengan fokusnya."Aku hanya ingin istirahat, tidurku tidak nyenyak." Lirihku."Sebentar lagi sampai, kamu bisa tidur sepuasnya, nanti biar aku kirim ojek untuk mengantar makanan kesukaanmu.""Makasih banyak bi, fokuslah menyetir, jalanan licin." Tuturku dengan fokus masik ke jalanan."Iya sayang."Tak samapai lima belas menit, mobil sudah memasuki pelataran surgaku. Dengan buru-buru Yuda menurunkan bawaan. Setelah itu dia langsung pamit untuk kekantor. H
"Mbak Gitaaaaaaaa." Teriakku.Perempuan itu lagi-lagi hanya menampakkan gigi rapinya yang putih."Iya iya." Kemudian dia pungut lagi kantorng kresek yang berserakan dilantai."Ada angin apa kamu kesini Nay?" Tanyanya penuh sindiran, pasalnya sudah hampir empat bulan aku tak berkunjung kesini, komunikasi hanya berbalas pesan."Angin puting beliung." Jawabku asal."Kalau gak boleh ya aku kesini, yaudah aku pulang, Dim..." Baru mau aku berteriak memanggil Dimas, mbak Gita membekap mulutku."Ssttt, anak perempuan gak bagus teriak-teriak, yuk kebelakang, mas Sigit buat taman dibelakang, tadi kebetulan mbak buat bakso.""Wauuu...ayuk." seketika aku lupa pertengkaran barusan.Aku berjalan mengikuti perempuan yang hampir paruh baya itu. Diruang tengah, Dimas dan Naswa sudah asyik bermain. Dimas sudah mengeluarkan semua ciki yang dia beli.Mbak Gita menyiapkan empat porsi bakso dan membawanya ke lesehan dibelakang rumah, disekelilingnya banyak bunga kertas dengan berbagai warna. Makin indah di
[Nay, aku harap kamu tidak usah ikut campur urusan pribadiku lagi, kamu itu hanya MANTAN, Jadi tolong jangan usik aku, apalagi menggunakan Dimas untuk mengaturku]Ada apa ini? Kenapa Mas Wira tiba-tiba mengirim pesan seperti itu?Aku bingung harus menjawab apa, pasalnya aku tak pernah sedikitpun mempengaruhi Dimas Untuk mengatur kehidupan Mas Wira, apalagi kehidupan pribadinya."Sayang, Dimas sudah tidur." Yuda keluar dari kamar Dimas dan mendekatiku yang masih syok. Tanganku hanya sibuk memutar-mutar tutup pena yang akan kugunakan untuk menulis list syarat-syarat perizinan."Yang, ada apa.""Eh, Bi, ini lhat!" Aku meyodorkan benda pipih itu kehadapan Yuda, agar Yuda bisa membaca isi pesan Mas Wira.Tanpa basa-basi, Yuda membuat panggilan ke nomor Mas Wira, namun hanya suara operator yamg menjawab, menandakan ponsel mas Wira tidak aktif."Kamu pernah berkata sesuatu pada Dimas yang?" Aku hanya menggeleng. Karena memang aku tidak pernah sekalipun mempengaruhi Dimas untuk apapun."Besok
Senja sudah ditelan gelapnya malam, suara jangkrik yang tadi terdenagar nyaring saling bersahutan kini sudah menghilang. Langit kian menggelap, beberapa kali aku melongok kepintu depan untuk melihat mobil Yuda dari kejauhan. Namun hingga pukul 09.00 malam Yuda dan Mama juga Dimas belum juga muncul.Perutku sudah mulai keroncongan, aku sengaja menunggu mereka untuk makan malam bersama, hingga gulai yang kupanaskan kini sudah berganti suhu.Aku habiskan setengah plastik jambu dari yang kubeli tadi untuk mengganjal lapar, namun yang ada, perutku makin perih. Hatiku dilema, kalau aku makan duluan pasti Mama akan marah, karena merasa tidak dihargai.Akhirnya kuputuskan untuk menunggu mereka di sofa ruang tamu sembari memainkan ponsel. Tak terasa aku ketiduran. Usapan lembut dikening membangunkan tidurku, mataku mengerjap menyesuaikan dengan cahaya ruangan."Ketiduran ya? Maaf ya lama.""Eh, kamu udah pulang? Dimas mana?" Tanyaku"Dima
Sikap Mama sangat membuatku tak nyaman, aku memutuskan untuk pergi ke toko. Tetapi aku sangat penasaran, siapa sebenarnya yang Mama tunggu. Karena setahuku Mama tidak ada teman didekat sini. Atau mungkin?"Ah tidak mungkin, untuk apa Anisa datang ke rumah." Batinku menerka-nerka. Seharusnya Mama bicara denganku atau Yuda, kalau Mama mau menerima tamu di rumah kami, atau Mama sudah bicara dengan Yuda, tapi suamiku lupa menyampaikannya padaku. Entahlah, aku tak ingin berfikir negatif pada Mama.Sebelum ke toko, aku menghubungi Gina terlebih dahulu untuk mengajaknya makan siang bersama di nanti. "Assalamualaikum Gin.""Wa'alaikumsalam Mbak, ada apa Mbak?""Siang ini kamu ada jadwal kuliah gak Gin?""Gak ada Mbak, kebetulan hari ini Gina libur.""Temenin Mbak ke salon yuk, sekalian makan siang.""Boleh Mbak." "Mbak jemput sekarang ya, kamu siap-siap.""Oke Mbak."Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di depan toko Mas Wira, aku sengaja tidak turun dan meunggu di mobil. Dari kejauhan t
Pov 3Suara langkah seorang terdengar dari luar rumah, tak hanya itu celoteh bocah kecil juga terdengar begitu nyaring. Hilma yakin jika yang datang adalah menantunya, menantunya yg tak mempunyai rahim lagi, padahal keinginan dia menimang cucu dari anak kesayangannya Yuda Pratama sudah di ambang mata, ketika Kanaya mengandung buah hatinya bersama Yuda.Namun, Hilma harus kecewa dengan musibah yang menimpa Kanaya, janin yang dikandung menantunya harus lahir sebelum waktunya, yang lebih menyedihakan lagi, rahim Kanaya harus diangkat lantaran pendarahan yang tiada henti. Sehingga dengan terpaksa, dokter mengambil tindakan untuk mengangkat rahim Kanaya.Hancur, itulah hati Kanaya dan Yuda, selama enam bulan mengandung janinnya, Kanaya tiada henti mengalami mabuk yang luar biasa bahkan tubuhnya sangat lemah, bahkan kemana-mana dia harus naik kurai roda."Tante senang sekali kamu mau main, apalagi kalau kamu mau jadi menantu tante, pasti Yuda bisa mendapatkan anak dari kamu Nis." Suara Hil