Haidar langsung memeluk Dinda. Memekik mengucapkan tasbih dan hamdalah. Ini adalah kejutan yang membahagiakan bagi mereka. Haidar bahkan meneteskan air mata bahagia dan haru.Dokter berpamitan keluar. Kedua suami istri itu saling menangis. Mensyukuri nikmat tak terduga itu."Akhirnya, aku merasakan hamil. Hiks...""Kau hebat, istriku."Dinda kembali memeluk Haidar. Kebahagiaannya membuncah. Berapa tahun dia menunggu momen ini. Dan, akhirnya, kini dia bisa merasakannya. Kesabaran, pasti akan berbuah manis. Dalam hati, dia berjanji akan menjaga baik-baik amanah ini. Mereka pulang ke rumah dengan kebahagiaan yang membuncah. Tak lupa, Dinda mengabari abangnya. Menyampaikan kabar gembira pada abang tercintanya."Selamat adikku. Abang kirim doa dari sini.""Terimakasih, Bang. Hiks. Terimakasih, telah menjaga dan menghibur Dinda selama ini," isaknya. Tangis karena terlalu bahagia."Sudah kewajiban abang, Din. Kamu baik-baik saja. Haidar memperlakukanmu dengan baik, bukan?" Dinda mengangguk
Pagi sekali, Niswah sudah berkutat di dapur. Uh! Sudah lama sekali dia tidak memasak. Bahkan, dulu yang masak setiap hari adalah abangnya. Niswah hanya membantu ala kadarnya saja. Semoga saja, tutorial yang dia lihat selama menjadi asisten abangnya berhasil. Setidaknya, sampai makanannya bisa dinikmati."Hmm .... Baunya enak.""Eh! Kucing!"Prang!Saking terkejutnya karena mendengar suara dadakan Arjun, gadis itu terperanjat, dan sutil yang dipegangnya terjatuh."Kau ini kenapa? Baru juga dipuji, malah grogi." Arjun mengulurkan sutil yang terjatuh tadi. Wajah Niseah yang memerah akibat berhadapan dengan kompor itu semakin merah, malu. Apalagi, penampilan Arjun yang kelewat santai. Hanya menhenakan kaos pendek dan juga celana kolor LV pendek. Bagaimanapun juga, Niswah belum terbiasa dengan pemandangan tersebut. Terutama saat di kamar, Niswah sampai was-was kalau tiba-tiba Arjun masuk. Nasib, harus sekamar ya begini."Ya bapak ngagetin kok. Jelas saya
Gadis itu menunduk lagi."Aku tidak marah. Makanan tadi memang asin. Tapi wajar bukan? Namanya juga masih belajar. Sudah, jangan terlalu dipikirkan perkataan Deka. Sekarang ayo, pergi. Sebelum kesiangan.""Tapi, hiks ... Makanannya terbuang sia-sia.""Tak masalah. Tidak banyak.""Tapi ...."Arjun menarik Niswah, memaksanya berdiri. Sementara Deka berdiri jauh dari mereka. Anak itu terlihat sedih. Mungkin karena merasa bersalah dengannya. Ah, pagi ini hanya dapat bintang dua. Tidak ramah...Mereka sarapan sebentar di sebuah rumah makan. Untung saja rumah makan itu sudah buka sejak pagi-pagi sekali. Karena memang rumah makan itu menyediakan untuk mereka yang tak sempat membuat sarapan di rumah.Selesai sarapan, lalu mengantar Deka ke sekolah. Dan selanjutnya, menuju kampus seperti biasa.Hari ini, jam pelajaran Arjun masuk kelas Niswah. Sengaja Niswah duduk paling belakang. Dia jelas merasa gugup diajar oleh suaminya itu. Ditambah ce
Tidur tidak lantas membuat rasa lapar hilang begitu saja. Memang tidak terasa pas tidur, tapi saat bangun, lapar itu kembali.Zul sempat bingung saat bangun, merasa asing dengan tempat barunya. Lupa bahwa dia baru saja pindahan. Pria itu berjalan keluar. Menatap mobilnya di halaman. Lalu mengedarkan ke sekitar. Rumah penduduk tidak terlalu jarang, juga tidak terlalu padat. Sedang-sedang saja. Hanya saja, untuk pengecualian, rumah disampingnya ini yang jaraknya dekat, dibanding dengan rumah-rumah yang lain. Tidak ada batas pagar seperti perumahan di kota. Alias langsung berjejeran satu sama lain. Rumah itu terlihat sepi, pintunya tertutup. Berhubung ini tengah hari, aktifitas penduduk tak terlalu kelihatan. Mungkin mereka berada di tempat beraktifitasnya masing-masing. Atau, justru malah di rumah saja karena malas keluar.Menguap sekali lagi, Zul melangkah keluar. Dia hendak mencari rumah makan. "Nyari apa, Mas?"Melihat kebingungan Zul, seorang i
Sorenya, Zul mendapat tamu. Dan ternyata itu adalah pak Lurah Yogi. Beliau baru sempat berkunjung selepas dari dinas di kantor. Beliau mengajak Zul ke rumahnya. Untung saja Zul sudah membereskan barang-barang dan juga baru selesai mandi. "Mari, ke rumah saya dulu."Zul nurut. Bagaimanapun juga, dia perlu bersosialisasi dengan perangkat desa disini. Dan ternyata, kediaman pak Lurah Yogi adalah rumah di samping rumahnya. Pantas saja, rumah itu terlihat lebih bagus dan rapi. Bunga-bunga dan juga pohon bonsai menjadi penghias pekarangan. Asri dan menyejukkan pastinya. Ditambah cahaya senja jingga yang memnuat suasana sore makin terasa. Dan begitu menapakkan kaki di lantai, selalu saja disuguhi rasa dingin. Wajar saja sih, daerah pegunungan. Dinginnya begitu terasa. Berbanding terbalik dengan suasana kota yang cenderung panas, berpolusi."Kapan sampainya, Mas?"Pak Yogi berbasa basi."Tadi siang, Pak.""Oo... Saya tadi masih di kantor. Sudah keliling? Bagaimana suasana desanya? Betah?"
"De-Della ..." desisnya. Sang kasir yang ternyata adalah wanita yang dicarinya selama ini. "K-kau disini?" Raut terkejutnya berubah menjadi senyum bahagia. Meski berbanding terbalik dengan respon sang wanita. Awalnya, Della juga sama terkejut seperti dirinya. Itulah kenapa, uang yang dia ulurkan tak kunjung mendapat respon. Namun, wanita itu kembali menguasai dirinya. Menyambar lembar merah itu dan mencatat di komputer. Mengambil kembalian lalu menyerahkan pada Zul."Kembaliannya delapan puluh lima ribu," ucapnya datar. Bukannya mengambil uang kembalian, Zul malah melemparkan senyum lebarnya. Jelas saja jantungnya berdebar senang. Takdir membawanya kembali pada wanitanya."A-apa kabarmu?"Della melengos. Mengetik sesuatu di layar komputernya. Mengabaikan pria di depannya tersebut. Seolah tak mengenalnya."Ah, kau marah denganku ya? Maaf ... Aku memang salah. Seharusnya aku ...""Bisa minggir? Kamu gak lihat kalau ini meja kasir?"Zul menoleh. Ada beberapa orang dibelakangnya yang men
Della mengarah pandang pada Kevin yang memandangnya penasaran. Diam beberapa saat seakan enggan."Kenal," jawabnya singkat. Dia jujur. Lagipula, cukup aneh jika mengatakan tidak mengenal, tapi nyatanya tindakannya dan Zul mengatakan sebaliknya."Ah. Begitu. Pantas saja."Dahi Della berkerut. Pantas apanya? Apa Zul menungguinya dirinya tadi?"Apa dia ....""Aku dengar Dila menanyainya, dan dia tadi bilangnya temannya mbak. Aku kira, dia berbohong. Ternyata benar."Teman? Sudut bibir Della mengukir senyum kecut. Ternyata teman ya. Pantas saja, tak ada keseriusan yang dia dapat dari pria itu."Dia juga tadi langsung pergi dengan terburu-buru. Padahal, aku juga penasaran, pengen nanyain, malah lebih dulu pergi. Haha."Della tak menyahut. Pikirannya kembali bercabang. Kevin menyalakan motornya. Lalu, melajukan dengan kecepatan sedang, bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.Sepanjang jalan, tak ada pembicaraan. Sudah hukum ta
Ada yang mengganjal dalam pikiran Niswah. Dulu, pernah ada wanita yang mendatangi apartemen dan menemui Deka. Wanita yang sempat dia kira sebagai mamanya Deka. Namun, kemana wanita itu? Sudah lama sekali dia tidak melihat kehadiran wanita itu. Bahkan, semenjak dia menikah dengan Arjun pun, wanita itu tidak muncul sama sekali. Aneh sekali."Apa yang kamu lamunkan, hmm?"Gadis tapi sudah menikah itu mendongak. Mendesah pelan. Terang saja, dia melamun padahal ada Arjun di kamar juga. Pria itu tengah berkutat dengan laptopnya. Keseharian yang sudah dihapal Niswah. Ya maklum saja sih, pak dosen itu lebih sibuk dibandingkan dengan dirinya yang berstatus mahasiswi."Pak, bapak dulu cerai karena apa?"Arjun sontak mengangkat wajahnya dari layar. Dahinya berkerut demi mendengar pertanyaan ceplosan dari Niswah."Kenapa?""Ya gak papa sih. Penasaran aja. Bapak ini kan orangnya gak romantis. Tapi kok bisa nikah ya? Sampek punya anak lagi. Emang bapak ...."