Jeda matkul kedua ada sekitar dua jam-an, mereka berdua manfaatkan untuk ke perpustakaan. Makalah yang lalu belum selesai. Alasan pertama, Niswah terlalu kesal untuk mengerjakannya. Dan yang kedua, dia tinggal liburan. Ternyata liburan memberi efek yang bagus untuk semangatnya. Buktinya, sekarang dia yang mengajak Syifa terlebih dahulu. Pun, gadis itu begitu serius mengerjakan makalahnya. Syifa sampai terbengong melihatnya. Kesambet demit apa coba, tiba-tiba jadi serajin ini.
"Ah! Tinggal materi tentang dampaknya yang belum ada.""Biar gue cariin bukunya.""Gak usah. Gue cari aja. Jagain laptop gue ya," tersenyum manis sampai Syifa terpana sendiri. Benar-benar, Niswah pasti kesambet demit.Deretan rak buku di perpustakaan awalnya adalah musuh bebuyutan Niswah. Terutama, tidak dia temukan novel diantara ribuan buku tersebut. Selalu dan selalu hanya buku pelajaran atau ensiklopedia yang super tebal. Berbanding terbanding terbalik dengan hari ini, gadis itu riSuara Arjun terdengar jelas dari volume yang sengaja Deka perbesar. Niswah dan Syifa langsung mengarahkan pandangan ke Deka, was-was. Terutama Niswah, menelan salivanya kasar. Matilah dia kalau sampek pak Arjun kesini. Bocah itu masih memegang ponsel yang ukurannya saja lebih besar daripada tangannya."Deka... Ikut tante Niswah, Pa." Matanya mengerjap polos."Tan... te? Niswah?! K-kok bisa sama tante Niswah?"Astaga... Seseorang tolong timpuk wajah Niswah supaya tidak dikenali lagi. Sekelas tambah hening, pasang telinga. Saling pandang dan menggendikkan bahu. Terang saja mereka tidak asing dengan suara itu. Hanya saja, mereka butuh meyakinkan pendengaran. Makanya saling pandang bertanya, meski gak guna."Iya, tadi Papa marah sih. Makanya Deka main. Eh, ketemu sama tante Niswah.""Lalu, sekarang dimana?""Gak tahu. Dikelas. Tapi gak tahu dimana.""Coba, tanya sama tante."Deka mengangguk. Mendongak pada gadis yang menutupi wajahnya denga
"Ikut ke ruangan saya sekarang!"Suasana berubah tegang. Teman Niswah yang tadi memberi video tersebut tak kalah terkejut. Menatap Niswah seolah menyiratkan penyesalan. Dia tidak tahu kalau Arjun akan semarah itu. Sayangnya, percuma. Dosen dingin itu marah.Usai mengatakan peringatan tadi, Arjun mendengkus dan berlalu, diikuti langkah lemas Niswah."Papa!" sela Deka. Membuat langkah keduanya terhenti."Deka, bagaimana?" Bocah itu mengerjapkan matanya. Ah, benar. Bukannya tadi Arjun hendak menjemput Deka? Kenapa malah pergi dan meninggalkan putranya tersebut? Tapi dasar pria dingin dan tinggi ego, dia tidak mau terlihat salah tingkah. Berpaling ke arah Syifa yang menunduk seraya menggigit bawahnya itu."Ikut tante Syifa dulu," tukasnya dengan sorot mata tajam mengintimidasi. Syifa terkejut, sampai mulutnya hanya menganga tanpa bisa menolak.Arjun berbalik, mensejajarkan tingginya dengan Deka. Tersenyum lembut seraya mengusak surai bocah ena
Tak!Jitakan kecil mendarat di kening gadis itu. Niswah mengaduh seraya memegangi jidatnya, meringis kecil."Jangan mikir aneh-aneh. Ibu yang saya maksud bukan ibu yang sebenarnya. Tapi, jadilah teman bagi Deka seperti kau bersikap sebagai ibu untuknya.""Ish! Ya bapak bilangnya sepotong-sepotong sih. Jelas saja salah paham lah," tukasnya membela diri. Merutuk dalam hati, karena jitakan Arjun lumayan nyeri juga."Ck. Kamunya saja yang lola. Begitu saja tidak paham.""Lah, malah saya yang dimarahin. Jelas-jelas bapak yang salah---" Niswah kembali bungkam saat mendapat pelototan dari pria itu. Oke deh. Daripada harus dipenjara atau membayar denda."Iya deh. Saya yang salah."Jarang-jarang kan ada cewek yang ngaku salah."Terus, saya harus bagaimana? Maksud saya, saya tidak harus nginep di rumah bapak 'kan?""Tidak. Tidak perlu. Kamu menginap hanya akan menambah masalah bagi saya. Cukup, kau ajak main Deka, atau temani dia di sekolahnya saat kam
"Wow!"Decakan kagum keluar dari bibir gadis itu. Setelah dari supermarket untuk berbelanja jajanan, mereka langsung ke apartemen, sesuai dengan perintah bapak dosen yang terhormat. Untung saja Niswah bisa membaca maps. Entah kalau tidak, mungkin nyasar dulu.Apartemen ini luas juga rapi. Padahal yang menempati hanyalah pria, tidak ada wanita disini. Tapi, jangan tanyakan kebersihannya. Sangat bersih dan rapi."Ini, papamu nyewa pembantu?"Deka menggeleng."Tidak, Tante. Papa tidak mengizinkan orang asing masuk ke rumah. Cuma tante orang pertama yang dibolehin sama papa."Niswah tertawa, bangga."Wow! Orang pertama. Hihi."Entah kenapa dia membanggakan itu."Enaknya kita ngapain ya?"Melihat ke sekitar. Ruang tamu hanya ada sofa dan meja. Lalu, ruang tengah ada sofa dan televisi besar serta akuarium. Kamar? Dapur? Entahlah, Niswah belum menjelajah."Nonton aja yuk.""Oke. Nonton. Nonton apa tapi?""Papa kemarin
"Ba-bapak, kok ada disini?" tanyanya tergagap. Arjun membuang pandangan ke arah lain."Ini rumahku. Jelas saja aku ada disini.""Ru-rumah?" Niswah mengedarkan pandangannya dengan raut bingung. Rupanya kesadarannya belum kembali sepenuhnya."Aaah, benar. Sa-saya di apartemen bapak ya. Hehe." Gadis itu membenarkan letak duduk dan juga jilbabnya yang pasti sudah tidak jelas."Maaf, saya ketiduran.""Hem. Tak apa.""Em, bapak... Sudah pulang sejak tadi?""Tidak. Baru saja.""Aa... Baru saja..." Niswah diam-diam mengela napas lega."Kalau begitu, saya sudah boleh pulang?"Arjun mengangguk."Terimakasih, Pak."Niswah bangkit dengan semangat. Sayangnya, dia darah rendah. Terhuyung dan kembali jatuh di sofa. Arjun tak kalah terkejut, tangannya reflek maju hendak menangkap gadis itu, tapi tak jadi."Hehe. Sa-saya gak papa, Pak. Sudah biasa. Hehe," ringisnya seraya kembali bangkit. Mengambil tasnya yang tergetak di lantai. Mulutnya merutuk.
"Duh, pake mogok lagi."Hari sudah malam, tapi mobilnya malah mogok. Salah sendiri tidak langsung pulang. Niswah mampir ke rumah Syifa dulu tadi. Biasalah, gak ngobrol gak asyik. Sementara sekarang sudah jam sembilan malam, di jalan yang sepi malah mobilnya mogok."Aaah! Gimana ini? Gue gak tahu permesinan lagi," decaknya kesal. Gadis itu keluar dari mobilnya. Mengelilingi mobil itu tanpa tahu apa-apa. "Ah! Wah! Menyebalkan sekali. Ish!" omelnya. Gadis itu menatap sekeliling. Gelap. Hanya ada belukar dan pepohonan di pinggir jalan. Buku kuduknya berdiri. Bergidik ngeri. Mana dia hanga sendirian disini. Niswah mengeluarkan ponselnya."Arh! Cobaan apa lagi ini? Habis batere? Ya Tuhan..." keluh Niswah. Sial sekali nasibnya hari ini. Ck! Ini pasti karena dosen sialan itu. Yah, siapa lagi? Kesialan itu bermula sejak dia bertemu Arjun. Sebelumnya hidupnya baik-baik saja. Aneh bukan? Kenapa dia malah menyalahkan Arjun atas mogoknya mobilnya?Ga
"Makasih, Mas."Niswah tersenyum tulus. Zul mengantarnya sampai rumah."Sama-sama. Perlu aku temani ke dalam?"Gadis itu menggeleng."Tidak usah, Mas.""Nanti papamu....""Enggak kok. Papa pasti paham.""Benar, gak papa?" Gadis itu kembali mengangguk."Sudah malam. Mas Zul harus istirahat. Besok kan nugas lagi."Zul tertawa. Tangannya terulur hendak mengusak jilbab gadis itu, tapi urung."Oke. Aku pulang dulu.""Iya, Mas. Hati-hati."Zul mengangguk, tersenyum. Dia kembali melajukan mobilnya. Mengklakson sebagai isyarat pamit. Niswah tersenyum tipis. Untung saja ada Zul. Tuhan selalu punya cara untuk menolong hambanya. Tak sia-sia mulutnya komat kamit berdoa tadi. Dan kini, dia hanya tinggal menerima omelan lain. Gadis itu menarik napas panjang. Mobil Zul sudah tak nampak, Niswah melangkah masuk. Baru saja kakinya menginjak ruang tengah, suara menggelegar langsung menyapanya."Darimana saja kamu? Anak gadis jam segini
Hubungan yang dibangun dengan keraguan dari salah satu pihak, tidak akan pernah berhasil. Kecuali pihak tersebut sanggup membuang rasa ragunya tersebut, dan yakin untuk memulai hubungan yang sebenarnya."Kau tidak membalas pesanku, tadi malam?" Zul memecah keheningan yang entah keberapa kali tersebut."Aku ketiduran," tandas Della singkat. Zul mengerutkan dahinya, Nada bicara Della terkesan cuek."Ah, aku mengganggumu karena membalas kemalaman ya? Maafkan aku. Tadi malam harus mengantar Niswah dulu. Kasian dia, mobilnya mogok di tengah jalan. Takutnya ntar kenapa-napa."Dengkusan kasar terdengar. Zul merasa Della marah padanya. Tapi dia juga harus menjelaskan, supaya Della tidak salah paham. Meski sebenarnya Della berhak salah paham. Karena memang dia bersalah."Maafkan aku."Della menoleh selintas. Menatap tangannya yang di genggam Zul. Namun, bibirnya tetap tidak mau berekasi. Diam saja. Andai dia bisa, ingin rasanya berteriak sekuat-kua