"Duh, pake mogok lagi."
Hari sudah malam, tapi mobilnya malah mogok. Salah sendiri tidak langsung pulang. Niswah mampir ke rumah Syifa dulu tadi. Biasalah, gak ngobrol gak asyik. Sementara sekarang sudah jam sembilan malam, di jalan yang sepi malah mobilnya mogok."Aaah! Gimana ini? Gue gak tahu permesinan lagi," decaknya kesal. Gadis itu keluar dari mobilnya. Mengelilingi mobil itu tanpa tahu apa-apa."Ah! Wah! Menyebalkan sekali. Ish!" omelnya. Gadis itu menatap sekeliling. Gelap. Hanya ada belukar dan pepohonan di pinggir jalan. Buku kuduknya berdiri. Bergidik ngeri. Mana dia hanga sendirian disini. Niswah mengeluarkan ponselnya."Arh! Cobaan apa lagi ini? Habis batere? Ya Tuhan..." keluh Niswah. Sial sekali nasibnya hari ini. Ck! Ini pasti karena dosen sialan itu. Yah, siapa lagi? Kesialan itu bermula sejak dia bertemu Arjun. Sebelumnya hidupnya baik-baik saja. Aneh bukan? Kenapa dia malah menyalahkan Arjun atas mogoknya mobilnya?Ga"Makasih, Mas."Niswah tersenyum tulus. Zul mengantarnya sampai rumah."Sama-sama. Perlu aku temani ke dalam?"Gadis itu menggeleng."Tidak usah, Mas.""Nanti papamu....""Enggak kok. Papa pasti paham.""Benar, gak papa?" Gadis itu kembali mengangguk."Sudah malam. Mas Zul harus istirahat. Besok kan nugas lagi."Zul tertawa. Tangannya terulur hendak mengusak jilbab gadis itu, tapi urung."Oke. Aku pulang dulu.""Iya, Mas. Hati-hati."Zul mengangguk, tersenyum. Dia kembali melajukan mobilnya. Mengklakson sebagai isyarat pamit. Niswah tersenyum tipis. Untung saja ada Zul. Tuhan selalu punya cara untuk menolong hambanya. Tak sia-sia mulutnya komat kamit berdoa tadi. Dan kini, dia hanya tinggal menerima omelan lain. Gadis itu menarik napas panjang. Mobil Zul sudah tak nampak, Niswah melangkah masuk. Baru saja kakinya menginjak ruang tengah, suara menggelegar langsung menyapanya."Darimana saja kamu? Anak gadis jam segini
Hubungan yang dibangun dengan keraguan dari salah satu pihak, tidak akan pernah berhasil. Kecuali pihak tersebut sanggup membuang rasa ragunya tersebut, dan yakin untuk memulai hubungan yang sebenarnya."Kau tidak membalas pesanku, tadi malam?" Zul memecah keheningan yang entah keberapa kali tersebut."Aku ketiduran," tandas Della singkat. Zul mengerutkan dahinya, Nada bicara Della terkesan cuek."Ah, aku mengganggumu karena membalas kemalaman ya? Maafkan aku. Tadi malam harus mengantar Niswah dulu. Kasian dia, mobilnya mogok di tengah jalan. Takutnya ntar kenapa-napa."Dengkusan kasar terdengar. Zul merasa Della marah padanya. Tapi dia juga harus menjelaskan, supaya Della tidak salah paham. Meski sebenarnya Della berhak salah paham. Karena memang dia bersalah."Maafkan aku."Della menoleh selintas. Menatap tangannya yang di genggam Zul. Namun, bibirnya tetap tidak mau berekasi. Diam saja. Andai dia bisa, ingin rasanya berteriak sekuat-kua
Wanita itu adalah Aini. Entah bagaimana wanita itu bisa sampai ke ruangannya. Apa hanya karena kemarin Haidar menerima kedatangan Aini, lalu resepsionis di bawah mengizinkan wanita itu untuk bebas menemuinya. Yang jelas, Haidar tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, ditilik dari sikapnya, Haidar merasa kurang patut untuk wanita bersuami menemui pria bersuami. Membawakan bekal lagi. Wanita itu dengan cekatan membuka wadah bekal. Tak lupa dengan senyum yang terus terpatri. Jujur saja, gerak gerik Aini memang halus, lemah gemulai. Andai dirinya suami dari wanita tersebut, mungkin sudah dia daratkan kecupan di pipi wanita tersebut karena gemas. Namun, kenyataan berbeda. Dan justru itu pula yang membuat Haidar tak nyaman. Ditambah Zul yang menatap curiga ke arahnya. "Aku sengaja memasak spesial untukmu. Ku harap kamu menyukainya." Aini mendaratkan wadah tersebut ke hadapan Haidar. Mempersilakan pria yang hampir menta'arufinya itu untuk mencicipi masakannya."U
Terburu Haidar menghampiri istrinya. Jelas saja dia khawatir Dinda akan salah paham. Namun, justru seulas tatapan datar yang dia terima. Jantung Haidar berdegup semakin kencang. Kalau seandainya hubungan mereka memburuk, Haidar tidak akan pernah memaafkan Aini. Terlepas dari kisah suram wanita itu atas rumah tangganya tersebut."Sayang, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," Dari tempatnya berdiri, Haidar masih berusaha memberi penjelasan seraya menelan kasar salivanya. "Memang kau pikir aku kenapa?" tandas Dinda jutek. Wanita itu malah meletakkan kantong wadah bekal di tangan suaminya, dan berjalan santai menghampiri Aini."Sepertinya kita belum berkenalan. Namaku Dinda," ujarnya dengan senyum di bibirnya. Tak lupa tangan terulur. Zul yang sedari tadi menjaga Aini supaya tidak lepas kendali, terperangah. Gerangan apa yang direncanakan wanita itu?"Aini." Wanita itu membalas uluran tangan Dinda dengan santai, tanpa merasa bersalah."Sepertinya kita per
"Iya. Aku memang salah. Karena tidak menjelaskan sejak awal tentang Aini."Dinda memalingkan wajah. Dia tahu, kelemahannya adalah menatap manik mata sang suami. Karena pasti ketebak akhirnya, dia bakal luluh. "Tentu saja. Takut ketahuan 'kan?"Zul diam-diam menyingkir. Tidak mau menjadi korban dari ledakan boom yang sewaktu-waktu meledak. Mending cari aman. Sekalian meratapi nasibnya sendiri.Helaan napas berat terdengar. Juga, saat tangan kekar Haidar meraih tangannya. Ayolah, please, jangan sampai jebol pertahanan. Jangan terlihat lemah."Dia cuma masalalu. Jadi, aku tidak mau membahasnya."Dinda terkekeh sinis."Sepertinya dia sering kesini. Sampai bawain makan siang segala.""Dia baru dua kali ini.""Em .... Dua kali ya. Yang di kantor. Entah kalau di luar.""Aku tidak pernah menemuinya.""Kenapa? Dia wanita idamanmu itu 'kan? Cantik. Kenapa gak nikah sama dia aja?" sindir Dinda setengah mengejek."Karena wanita yan
Niswah sedang rebahan santai di rumahnya. Hari ini dia tidak ada jam, alias free. Papa dan mama tirinya jiga sedang pergi, jadilah hari ini dia benar-benar menikmati waktu santainya. Sudah lama dia tidak menikmati senggang seperti ini. Apalagi untuk sekedar ngefan-girl. Bukan karena tidak ada waktu. Bukan. Tapi, memang akhir-akhir ini pikirannya kacau. Apa lagi kalau bukan karena recokan keluarga barunya. Hari linur pun rasanya tidak semenyenangkan dulu.Gadis itu kini tengah tertawa-tiwi sendirian. Menonton variety show idol favorit nya, yang mana dia ketinggalan banyak episode. Jungkir balik posisi rebahan sampai tak sadar. Maklum saja, Niswah aslinya bar-bar. Hanya beberapa hari terakhir mulai agak mendingan dia. Mungkin usia mempengaruhi.Di tengah tontonannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada panggilan dari aplikasi hijau. Seketika Niswah mendengkus, kesal. Tak suka aktifitasnya terganggu."Ck! Siapa sih, ganggu aja!" rutuknya. Sayangnya, o
Akibat ulah Arjun, Niswah membayar mahal sang sopir taksi. Memang, Arjun jelas sudah membayar lewat aplikasi. Tapi, tetap saja Niswah tak enak hati. Pak supir sudah menemaninya dan setia menunggu selama satu jam lebih. Ya, pada akhirnya, seperti yang dikatakan Arjun, Deka pulang setengah jam kemudian, tetap saja ini menyebalkan. Waktu yang seharusnya bisa dia gunakan untuk rebahan justru terbuang sia-sia."Deka, habis ini langsung tidur siang saja ya?" bujuk Niswah, setelah bocah itu berganti pakaian dan makan siang. Jujur, Niswah lelah, lelah fisik juga batin. Rasanya tidak sanggup jika harus menemani bocah itu bermain dulu. Maafkan dirinya, tapi, tak baik bermain dengan anak kecil dalam keadaan emosi yang meninggi. Takut malah kebablasan. Beruntung, Deka mengangguk, nurut."Tante temenin Deka 'kan?"Niswah tersenyum, mengangguk. "Iya, tante temenin."Bocah itu bersorak. Menarik tangan Niswah dan membawa ke kamarnya. Langsung merebahkan diri di kasur.
Namun, sayangnya, ekspektasi buruk Niswah harus buyar. Yang dilihatnya, sangat sempurna. Ruangan luas ini sangat bersih dan rapi. Niswah sampai tak sadar telah berdecak mengaguminya. Ranjang dengan sprei hitam halus, dan tatanan bantal selimut yang rapi. Sangat nyaman untuk ditiduri. Lalu, lemari besar hitam juga bebas dari gelantungan sembarangan pakaian. Juga ada lemari dengan peralatan kosmetik di atasnya. Jelas saja, Arjun pasti telaten merawat kulitnya. Niswah akui dari yang dia lihat selama ini. Lalu, ada juga lukisan klasik yang menggantung di dinding. Dan, pastinya yang gak mungkin ketinggalan, lemari rak besar berisi buku-buku yang tertata rapi. Selintas melihat, Niswah membaca otomatis beberapa judul buku. Buku kuliah, dan juga bacaan lain.Perhatiannya tertuju ke arah lain. Dahi Niswah berkerut melihat ada pintu lain, tapi bukan kamar mandi. Langkah penasarannya membawa gadis itu menuju kesana. Beberapa saat dia sempat ragu, namun penasaran lebih mendominasinya.