Niswah sedang rebahan santai di rumahnya. Hari ini dia tidak ada jam, alias free. Papa dan mama tirinya jiga sedang pergi, jadilah hari ini dia benar-benar menikmati waktu santainya.
Sudah lama dia tidak menikmati senggang seperti ini. Apalagi untuk sekedar ngefan-girl. Bukan karena tidak ada waktu. Bukan. Tapi, memang akhir-akhir ini pikirannya kacau. Apa lagi kalau bukan karena recokan keluarga barunya. Hari linur pun rasanya tidak semenyenangkan dulu.Gadis itu kini tengah tertawa-tiwi sendirian. Menonton variety show idol favorit nya, yang mana dia ketinggalan banyak episode. Jungkir balik posisi rebahan sampai tak sadar. Maklum saja, Niswah aslinya bar-bar. Hanya beberapa hari terakhir mulai agak mendingan dia. Mungkin usia mempengaruhi.Di tengah tontonannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada panggilan dari aplikasi hijau. Seketika Niswah mendengkus, kesal. Tak suka aktifitasnya terganggu."Ck! Siapa sih, ganggu aja!" rutuknya. Sayangnya, oAkibat ulah Arjun, Niswah membayar mahal sang sopir taksi. Memang, Arjun jelas sudah membayar lewat aplikasi. Tapi, tetap saja Niswah tak enak hati. Pak supir sudah menemaninya dan setia menunggu selama satu jam lebih. Ya, pada akhirnya, seperti yang dikatakan Arjun, Deka pulang setengah jam kemudian, tetap saja ini menyebalkan. Waktu yang seharusnya bisa dia gunakan untuk rebahan justru terbuang sia-sia."Deka, habis ini langsung tidur siang saja ya?" bujuk Niswah, setelah bocah itu berganti pakaian dan makan siang. Jujur, Niswah lelah, lelah fisik juga batin. Rasanya tidak sanggup jika harus menemani bocah itu bermain dulu. Maafkan dirinya, tapi, tak baik bermain dengan anak kecil dalam keadaan emosi yang meninggi. Takut malah kebablasan. Beruntung, Deka mengangguk, nurut."Tante temenin Deka 'kan?"Niswah tersenyum, mengangguk. "Iya, tante temenin."Bocah itu bersorak. Menarik tangan Niswah dan membawa ke kamarnya. Langsung merebahkan diri di kasur.
Namun, sayangnya, ekspektasi buruk Niswah harus buyar. Yang dilihatnya, sangat sempurna. Ruangan luas ini sangat bersih dan rapi. Niswah sampai tak sadar telah berdecak mengaguminya. Ranjang dengan sprei hitam halus, dan tatanan bantal selimut yang rapi. Sangat nyaman untuk ditiduri. Lalu, lemari besar hitam juga bebas dari gelantungan sembarangan pakaian. Juga ada lemari dengan peralatan kosmetik di atasnya. Jelas saja, Arjun pasti telaten merawat kulitnya. Niswah akui dari yang dia lihat selama ini. Lalu, ada juga lukisan klasik yang menggantung di dinding. Dan, pastinya yang gak mungkin ketinggalan, lemari rak besar berisi buku-buku yang tertata rapi. Selintas melihat, Niswah membaca otomatis beberapa judul buku. Buku kuliah, dan juga bacaan lain.Perhatiannya tertuju ke arah lain. Dahi Niswah berkerut melihat ada pintu lain, tapi bukan kamar mandi. Langkah penasarannya membawa gadis itu menuju kesana. Beberapa saat dia sempat ragu, namun penasaran lebih mendominasinya.
"Bapak mau apain saya?"Niswah memeriksa keadaannya panik, lalu melempar selimut dan terperanjat dari ranjang. Menatap galak pada Arjun yang tak kalah bingungnya."Bapak mau perkosa saya? Bapak sudah mencium saya? Huwaaa!""Heh! Apa maksudmu? Saya gak ngapa-ngapain kamu." "Halah! Lalu ngapain bapak telanjang? Pasti bapak berniat buruk 'kan? Huwaaa! Masa depanku masih panjang.""Jangan sembarangan menuduh. Ini kamar saya. Mau saya pakai baju juga terserah. Lalu, kenapa kau tidur di kamar saya? Kamu ingin menjebak saya 'kan?""Njebak apaan sih? Gak usah ngarang deh pak. Ngaku! Bapak mau merkosa saya kan? Bapak tadi sudah nyium saya? Bibirku, sudah gak perawan. Huwaa!""Hey! Siapa yang menciummu? Jangan asal bicara. Saya tidak tahu kamu ada di kamar saya.""Halah! Mana ada maling mau ngaku. Bapak mau macam-macam 'kan? Pasti saya disuruh jadi baby sitter karena bapak tertarik sama saya kan? Bapak nyari kesempatan buat merkosa saya?"Di
"Dengan terpaksa, kalian harus menikah."Netra Niswah membulat. Begitu juga Arjun."A-apa?!" Keduanya terkejut bersamaan. Menikah?"Ta-tapi, Mas ...""Kenapa menikah, Mas? Saya bahkan tidak berniat jahat pada Niswah. Itu hanya salah paham.""Iya, Niswah juga kan masih suci. Masak mau dinikahin sama orang jahat ini. Gak mau!"Arjun melirik tak suka. Dia kesal, terus dituduh oleh gadis itu. Padahal, siapa juga yang mau berniat jahat? Minat saja tidak."Mas gak menerima penolakan. Kalian harus dinikahkan untuk mencegah yang terburuk.""Tapi ...""Gak ada tapi-tapian, Nis. Kamu ini gadis. Harus lebih pintar menjaga diri. Bukan malah menuruti nafsu sesaatmu.""Ah! Tahulah! Mas egois. Terus menuduhku!" Niswah kesal. Putus asa karena tuduhan kakaknya. Gadis itu mengambil ponselnya kasar, lalu ngeloyor pergi."Mas tetap akan bilang pada papa. Jadi, jangan harap kamu bisa mengelak.""Terserah!" Niswah nampak marah. Membanting pintu ap
"Wah! Gila! Lo mau nikah sama pak Arjun?" pekik Syifa disela kepedesan akibat mie ayam setan itu. Niswah mengangguk. Matanya berair, berikut hidung kendat. Bukan karena menangis, melainkan karena kepedesan. Level lima belas adalah level puncak dari mie ayam setan tersebut."Kok bisa?" Syifa penasaran, meski sebenarnya, untuk berkata saja dia menahan pedasnya."Gara-gara pak Arjun mau perkosa gue. Ketahuan sama anaknya."Syifa makin melotot. Masak sih, seorang dosen Arjun yang tampan nan dingin itu, mau melakukan tindakan bejat. Pantas saja Niswah sampai menangis uring-uringan tadi. Tapi yang aneh ...."Terus, ngapain abang lo malah maksa lo buat nikah sama pak Arjun?" Ayolah, mie ini memang pedas, tapi cerita Niswah membuatnya penasaran. Jadi, meski ditengah huh hah-nya, Syifa tetap bertanya."Gak tahu. Mas Haidar nyebelin."Wajah Niswah memerah. Kali ini air matanya sudah bergabung antara kecewa dan juga kepedesan. Kombinasi yang mengharukan (?)
"Saya turun di dekat Atm depan sana saja, Pak."Arjun mengerutkan dahi. Itu bahkan masih sekitar lima ratus meter dari kampus. Masih lumayan jauh. Mereka memang berangkat dari rumah bersama. Niswah sudah tidak dipegangi mobil lagi. Aksesnya dicabut oleh sang papa yang murka padanya. Bahkan, untuk uang saku juga. Niswah kere sekarang. Beruntung, Arjun memberinya kartu atm yang baru. Jadi, dia tetap punya pegangan. "Kamu serius, turun disana? Mau naik apa? Jalan kaki, hmm?" Arjun meragukannya. Meski Niswah menyebalkan, tetap saja dia tak tega.Gadis itu mengangguk. Terpaksa deh, daripada menimbulkan kecurigaan yang lain karena bareng sama dosen tampan itu."Tidak usah, sampai kampus saja," putus Arjun. Mana mungkin dia tega menurunkan seorang gadis, meski gadis itu menyebalkan."Ish! Bapak nih, dibilangin turunin saya kok. Gimana kalau ada yang tahu? Bisa kena skandal saya nanti.""Skandal?" ulang Arjun. Merasa aneh dengan bahasa yang digunakan
"Gimana, malam pertama? Seru? Pak Arjun .... Oops! Sory ...."Niswah melotot. Meski Syifa bertanya dengan berbisik, tetap saja Niswah takut ada yang mendengarnya nanti. Baru juga datang, sudah mendapat pertanyaan unfaedah.Niswah meletakkan tasnya diatas meja. Lalu duduk bertopang dagu. Merenungi nasibnya. Padahal, masih pagi. Syifa jadi tak tega. Tapi, sebenarnya apa yang membuat sahabatnya ini susah? Mendapat suami idaman para wanita, harusnya bangga dong. Niswah adalah mahasiswi terberuntung karena mendapatkan dosen ganteng tersebut. Coba aja bisa tukar takdir. Syifa pasti mau. Mau banget pokoknya."Kamu berangkat bareng pak Arjun?" bisik Syifa super pelan. Niswah menghembuskan napas berat, lalu mengangguk."Wah, keren."Niswah menoleh, menatap tajam Syifa. Syifa langsung melayangkan dua jarinya. Sepertinya dia memang tidak kapok."Jangan bahas dia, bisa gak?""Hehe. Gak bisa, Nis. Please deh. Gue tuh seneng banget tahu. Padahal, lo yang
Malam kembali menyapa. Harusnya ini malam kedua pernikahan. Tapi, memang apa istimewanya? Gak ada. Mereka akan tetap tidur di ranjang masing-masing seperti malam kemarin. Deka sendiri, sudah tertidur sejak jam setengah delapan tadi. Anak itu memang tidak pernah tidur larut. Paling malam adalah jam setengah sembilan, itu pun kalau ada tugas. Lagipula, selama ini juga hanya ada Arjun bersamanya. Tak ada teman bermain. Arjun juga, terbiasa menidurkan Deka lebih awal karena dia harus menyelesaikan pekerjaannya.Seperti malam ini, Arjun masih sibuk dengan pekerjannya. Berkutat dengan berkas dan juga tabletnya. Padahal setahu Niswah, Arjun ini sebatas dosen, tapi kenapa kelihatannya sibum sekali. Buku-buku di raknya malah isinya bisnis. Bukan bidang yang diajarkan oleh dosen itu di kampus. Niswah jadi ragu untuk membahas apa yang disarankan oleh Syifa padanya tadi pagi. Akhirnya, sembari menunggu Arjun beres, Niswah mencoret sesuatu di kertas.Jam menunjukkan pukul setengah sebelas, Niswah