"Saya turun di dekat Atm depan sana saja, Pak."
Arjun mengerutkan dahi. Itu bahkan masih sekitar lima ratus meter dari kampus. Masih lumayan jauh. Mereka memang berangkat dari rumah bersama. Niswah sudah tidak dipegangi mobil lagi. Aksesnya dicabut oleh sang papa yang murka padanya. Bahkan, untuk uang saku juga. Niswah kere sekarang. Beruntung, Arjun memberinya kartu atm yang baru. Jadi, dia tetap punya pegangan."Kamu serius, turun disana? Mau naik apa? Jalan kaki, hmm?" Arjun meragukannya. Meski Niswah menyebalkan, tetap saja dia tak tega.Gadis itu mengangguk. Terpaksa deh, daripada menimbulkan kecurigaan yang lain karena bareng sama dosen tampan itu."Tidak usah, sampai kampus saja," putus Arjun. Mana mungkin dia tega menurunkan seorang gadis, meski gadis itu menyebalkan."Ish! Bapak nih, dibilangin turunin saya kok. Gimana kalau ada yang tahu? Bisa kena skandal saya nanti.""Skandal?" ulang Arjun. Merasa aneh dengan bahasa yang digunakan"Gimana, malam pertama? Seru? Pak Arjun .... Oops! Sory ...."Niswah melotot. Meski Syifa bertanya dengan berbisik, tetap saja Niswah takut ada yang mendengarnya nanti. Baru juga datang, sudah mendapat pertanyaan unfaedah.Niswah meletakkan tasnya diatas meja. Lalu duduk bertopang dagu. Merenungi nasibnya. Padahal, masih pagi. Syifa jadi tak tega. Tapi, sebenarnya apa yang membuat sahabatnya ini susah? Mendapat suami idaman para wanita, harusnya bangga dong. Niswah adalah mahasiswi terberuntung karena mendapatkan dosen ganteng tersebut. Coba aja bisa tukar takdir. Syifa pasti mau. Mau banget pokoknya."Kamu berangkat bareng pak Arjun?" bisik Syifa super pelan. Niswah menghembuskan napas berat, lalu mengangguk."Wah, keren."Niswah menoleh, menatap tajam Syifa. Syifa langsung melayangkan dua jarinya. Sepertinya dia memang tidak kapok."Jangan bahas dia, bisa gak?""Hehe. Gak bisa, Nis. Please deh. Gue tuh seneng banget tahu. Padahal, lo yang
Malam kembali menyapa. Harusnya ini malam kedua pernikahan. Tapi, memang apa istimewanya? Gak ada. Mereka akan tetap tidur di ranjang masing-masing seperti malam kemarin. Deka sendiri, sudah tertidur sejak jam setengah delapan tadi. Anak itu memang tidak pernah tidur larut. Paling malam adalah jam setengah sembilan, itu pun kalau ada tugas. Lagipula, selama ini juga hanya ada Arjun bersamanya. Tak ada teman bermain. Arjun juga, terbiasa menidurkan Deka lebih awal karena dia harus menyelesaikan pekerjaannya.Seperti malam ini, Arjun masih sibuk dengan pekerjannya. Berkutat dengan berkas dan juga tabletnya. Padahal setahu Niswah, Arjun ini sebatas dosen, tapi kenapa kelihatannya sibum sekali. Buku-buku di raknya malah isinya bisnis. Bukan bidang yang diajarkan oleh dosen itu di kampus. Niswah jadi ragu untuk membahas apa yang disarankan oleh Syifa padanya tadi pagi. Akhirnya, sembari menunggu Arjun beres, Niswah mencoret sesuatu di kertas.Jam menunjukkan pukul setengah sebelas, Niswah
"Se-setahun?" ulang Niswah, menelan salivanya."He'em. Kenapa? Apa keberatan? Atau, lebih cepat lagi?"Niswah buru-buru menggeleng. Tidak! Jangan terlalu cepat. Dia harus mencari uang dulu untuk persiapan hidup sendiri."Baik. Ada lagi, poin yang kamu ingin kan? Tulis saja. Biar nanti saya ketik. Dan bisa kita tanda tangani besok."Niswah menggeleng. "Sementara itu aja dulu. Kasih kolom untuk tambahan. Biar sewaktu-waktu, kalau mau nambahin enak.""Oke. Sudah malam. Kau tidurlah."Arjun berpaling. Kembali pada pekerjaanya."Ehm! Bapak ... Gak tidur?" Rasanya aneh bersikap peduli seperti ini."Nanti. Pekerjaanku belum selesai," sahut Arjun tanpa menoleh."Oh, oke." Niswah lalu merebahkan badannya. Memasang headset di telinga. Menoleh selintas ke arah pria yang masih fokus pada pekerjaannya itu. Lalu, gadis itu memejamkan matanya. Menjemput mimpinya dalam alam bawah sadar..."Niswah belum menelponmu?" tanya Dinda saat sarapan pagi bersama suaminya. Haidar menggeleng."Sepertinya, dia
Haidar langsung memeluk Dinda. Memekik mengucapkan tasbih dan hamdalah. Ini adalah kejutan yang membahagiakan bagi mereka. Haidar bahkan meneteskan air mata bahagia dan haru.Dokter berpamitan keluar. Kedua suami istri itu saling menangis. Mensyukuri nikmat tak terduga itu."Akhirnya, aku merasakan hamil. Hiks...""Kau hebat, istriku."Dinda kembali memeluk Haidar. Kebahagiaannya membuncah. Berapa tahun dia menunggu momen ini. Dan, akhirnya, kini dia bisa merasakannya. Kesabaran, pasti akan berbuah manis. Dalam hati, dia berjanji akan menjaga baik-baik amanah ini. Mereka pulang ke rumah dengan kebahagiaan yang membuncah. Tak lupa, Dinda mengabari abangnya. Menyampaikan kabar gembira pada abang tercintanya."Selamat adikku. Abang kirim doa dari sini.""Terimakasih, Bang. Hiks. Terimakasih, telah menjaga dan menghibur Dinda selama ini," isaknya. Tangis karena terlalu bahagia."Sudah kewajiban abang, Din. Kamu baik-baik saja. Haidar memperlakukanmu dengan baik, bukan?" Dinda mengangguk
Pagi sekali, Niswah sudah berkutat di dapur. Uh! Sudah lama sekali dia tidak memasak. Bahkan, dulu yang masak setiap hari adalah abangnya. Niswah hanya membantu ala kadarnya saja. Semoga saja, tutorial yang dia lihat selama menjadi asisten abangnya berhasil. Setidaknya, sampai makanannya bisa dinikmati."Hmm .... Baunya enak.""Eh! Kucing!"Prang!Saking terkejutnya karena mendengar suara dadakan Arjun, gadis itu terperanjat, dan sutil yang dipegangnya terjatuh."Kau ini kenapa? Baru juga dipuji, malah grogi." Arjun mengulurkan sutil yang terjatuh tadi. Wajah Niseah yang memerah akibat berhadapan dengan kompor itu semakin merah, malu. Apalagi, penampilan Arjun yang kelewat santai. Hanya menhenakan kaos pendek dan juga celana kolor LV pendek. Bagaimanapun juga, Niswah belum terbiasa dengan pemandangan tersebut. Terutama saat di kamar, Niswah sampai was-was kalau tiba-tiba Arjun masuk. Nasib, harus sekamar ya begini."Ya bapak ngagetin kok. Jelas saya
Gadis itu menunduk lagi."Aku tidak marah. Makanan tadi memang asin. Tapi wajar bukan? Namanya juga masih belajar. Sudah, jangan terlalu dipikirkan perkataan Deka. Sekarang ayo, pergi. Sebelum kesiangan.""Tapi, hiks ... Makanannya terbuang sia-sia.""Tak masalah. Tidak banyak.""Tapi ...."Arjun menarik Niswah, memaksanya berdiri. Sementara Deka berdiri jauh dari mereka. Anak itu terlihat sedih. Mungkin karena merasa bersalah dengannya. Ah, pagi ini hanya dapat bintang dua. Tidak ramah...Mereka sarapan sebentar di sebuah rumah makan. Untung saja rumah makan itu sudah buka sejak pagi-pagi sekali. Karena memang rumah makan itu menyediakan untuk mereka yang tak sempat membuat sarapan di rumah.Selesai sarapan, lalu mengantar Deka ke sekolah. Dan selanjutnya, menuju kampus seperti biasa.Hari ini, jam pelajaran Arjun masuk kelas Niswah. Sengaja Niswah duduk paling belakang. Dia jelas merasa gugup diajar oleh suaminya itu. Ditambah ce
Tidur tidak lantas membuat rasa lapar hilang begitu saja. Memang tidak terasa pas tidur, tapi saat bangun, lapar itu kembali.Zul sempat bingung saat bangun, merasa asing dengan tempat barunya. Lupa bahwa dia baru saja pindahan. Pria itu berjalan keluar. Menatap mobilnya di halaman. Lalu mengedarkan ke sekitar. Rumah penduduk tidak terlalu jarang, juga tidak terlalu padat. Sedang-sedang saja. Hanya saja, untuk pengecualian, rumah disampingnya ini yang jaraknya dekat, dibanding dengan rumah-rumah yang lain. Tidak ada batas pagar seperti perumahan di kota. Alias langsung berjejeran satu sama lain. Rumah itu terlihat sepi, pintunya tertutup. Berhubung ini tengah hari, aktifitas penduduk tak terlalu kelihatan. Mungkin mereka berada di tempat beraktifitasnya masing-masing. Atau, justru malah di rumah saja karena malas keluar.Menguap sekali lagi, Zul melangkah keluar. Dia hendak mencari rumah makan. "Nyari apa, Mas?"Melihat kebingungan Zul, seorang i
Sorenya, Zul mendapat tamu. Dan ternyata itu adalah pak Lurah Yogi. Beliau baru sempat berkunjung selepas dari dinas di kantor. Beliau mengajak Zul ke rumahnya. Untung saja Zul sudah membereskan barang-barang dan juga baru selesai mandi. "Mari, ke rumah saya dulu."Zul nurut. Bagaimanapun juga, dia perlu bersosialisasi dengan perangkat desa disini. Dan ternyata, kediaman pak Lurah Yogi adalah rumah di samping rumahnya. Pantas saja, rumah itu terlihat lebih bagus dan rapi. Bunga-bunga dan juga pohon bonsai menjadi penghias pekarangan. Asri dan menyejukkan pastinya. Ditambah cahaya senja jingga yang memnuat suasana sore makin terasa. Dan begitu menapakkan kaki di lantai, selalu saja disuguhi rasa dingin. Wajar saja sih, daerah pegunungan. Dinginnya begitu terasa. Berbanding terbalik dengan suasana kota yang cenderung panas, berpolusi."Kapan sampainya, Mas?"Pak Yogi berbasa basi."Tadi siang, Pak.""Oo... Saya tadi masih di kantor. Sudah keliling? Bagaimana suasana desanya? Betah?"