"Ikut ke ruangan saya sekarang!"
Suasana berubah tegang. Teman Niswah yang tadi memberi video tersebut tak kalah terkejut. Menatap Niswah seolah menyiratkan penyesalan. Dia tidak tahu kalau Arjun akan semarah itu. Sayangnya, percuma. Dosen dingin itu marah.Usai mengatakan peringatan tadi, Arjun mendengkus dan berlalu, diikuti langkah lemas Niswah."Papa!" sela Deka. Membuat langkah keduanya terhenti."Deka, bagaimana?" Bocah itu mengerjapkan matanya.Ah, benar. Bukannya tadi Arjun hendak menjemput Deka? Kenapa malah pergi dan meninggalkan putranya tersebut? Tapi dasar pria dingin dan tinggi ego, dia tidak mau terlihat salah tingkah. Berpaling ke arah Syifa yang menunduk seraya menggigit bawahnya itu."Ikut tante Syifa dulu," tukasnya dengan sorot mata tajam mengintimidasi. Syifa terkejut, sampai mulutnya hanya menganga tanpa bisa menolak.Arjun berbalik, mensejajarkan tingginya dengan Deka. Tersenyum lembut seraya mengusak surai bocah enaTak!Jitakan kecil mendarat di kening gadis itu. Niswah mengaduh seraya memegangi jidatnya, meringis kecil."Jangan mikir aneh-aneh. Ibu yang saya maksud bukan ibu yang sebenarnya. Tapi, jadilah teman bagi Deka seperti kau bersikap sebagai ibu untuknya.""Ish! Ya bapak bilangnya sepotong-sepotong sih. Jelas saja salah paham lah," tukasnya membela diri. Merutuk dalam hati, karena jitakan Arjun lumayan nyeri juga."Ck. Kamunya saja yang lola. Begitu saja tidak paham.""Lah, malah saya yang dimarahin. Jelas-jelas bapak yang salah---" Niswah kembali bungkam saat mendapat pelototan dari pria itu. Oke deh. Daripada harus dipenjara atau membayar denda."Iya deh. Saya yang salah."Jarang-jarang kan ada cewek yang ngaku salah."Terus, saya harus bagaimana? Maksud saya, saya tidak harus nginep di rumah bapak 'kan?""Tidak. Tidak perlu. Kamu menginap hanya akan menambah masalah bagi saya. Cukup, kau ajak main Deka, atau temani dia di sekolahnya saat kam
"Wow!"Decakan kagum keluar dari bibir gadis itu. Setelah dari supermarket untuk berbelanja jajanan, mereka langsung ke apartemen, sesuai dengan perintah bapak dosen yang terhormat. Untung saja Niswah bisa membaca maps. Entah kalau tidak, mungkin nyasar dulu.Apartemen ini luas juga rapi. Padahal yang menempati hanyalah pria, tidak ada wanita disini. Tapi, jangan tanyakan kebersihannya. Sangat bersih dan rapi."Ini, papamu nyewa pembantu?"Deka menggeleng."Tidak, Tante. Papa tidak mengizinkan orang asing masuk ke rumah. Cuma tante orang pertama yang dibolehin sama papa."Niswah tertawa, bangga."Wow! Orang pertama. Hihi."Entah kenapa dia membanggakan itu."Enaknya kita ngapain ya?"Melihat ke sekitar. Ruang tamu hanya ada sofa dan meja. Lalu, ruang tengah ada sofa dan televisi besar serta akuarium. Kamar? Dapur? Entahlah, Niswah belum menjelajah."Nonton aja yuk.""Oke. Nonton. Nonton apa tapi?""Papa kemarin
"Ba-bapak, kok ada disini?" tanyanya tergagap. Arjun membuang pandangan ke arah lain."Ini rumahku. Jelas saja aku ada disini.""Ru-rumah?" Niswah mengedarkan pandangannya dengan raut bingung. Rupanya kesadarannya belum kembali sepenuhnya."Aaah, benar. Sa-saya di apartemen bapak ya. Hehe." Gadis itu membenarkan letak duduk dan juga jilbabnya yang pasti sudah tidak jelas."Maaf, saya ketiduran.""Hem. Tak apa.""Em, bapak... Sudah pulang sejak tadi?""Tidak. Baru saja.""Aa... Baru saja..." Niswah diam-diam mengela napas lega."Kalau begitu, saya sudah boleh pulang?"Arjun mengangguk."Terimakasih, Pak."Niswah bangkit dengan semangat. Sayangnya, dia darah rendah. Terhuyung dan kembali jatuh di sofa. Arjun tak kalah terkejut, tangannya reflek maju hendak menangkap gadis itu, tapi tak jadi."Hehe. Sa-saya gak papa, Pak. Sudah biasa. Hehe," ringisnya seraya kembali bangkit. Mengambil tasnya yang tergetak di lantai. Mulutnya merutuk.
"Duh, pake mogok lagi."Hari sudah malam, tapi mobilnya malah mogok. Salah sendiri tidak langsung pulang. Niswah mampir ke rumah Syifa dulu tadi. Biasalah, gak ngobrol gak asyik. Sementara sekarang sudah jam sembilan malam, di jalan yang sepi malah mobilnya mogok."Aaah! Gimana ini? Gue gak tahu permesinan lagi," decaknya kesal. Gadis itu keluar dari mobilnya. Mengelilingi mobil itu tanpa tahu apa-apa. "Ah! Wah! Menyebalkan sekali. Ish!" omelnya. Gadis itu menatap sekeliling. Gelap. Hanya ada belukar dan pepohonan di pinggir jalan. Buku kuduknya berdiri. Bergidik ngeri. Mana dia hanga sendirian disini. Niswah mengeluarkan ponselnya."Arh! Cobaan apa lagi ini? Habis batere? Ya Tuhan..." keluh Niswah. Sial sekali nasibnya hari ini. Ck! Ini pasti karena dosen sialan itu. Yah, siapa lagi? Kesialan itu bermula sejak dia bertemu Arjun. Sebelumnya hidupnya baik-baik saja. Aneh bukan? Kenapa dia malah menyalahkan Arjun atas mogoknya mobilnya?Ga
"Makasih, Mas."Niswah tersenyum tulus. Zul mengantarnya sampai rumah."Sama-sama. Perlu aku temani ke dalam?"Gadis itu menggeleng."Tidak usah, Mas.""Nanti papamu....""Enggak kok. Papa pasti paham.""Benar, gak papa?" Gadis itu kembali mengangguk."Sudah malam. Mas Zul harus istirahat. Besok kan nugas lagi."Zul tertawa. Tangannya terulur hendak mengusak jilbab gadis itu, tapi urung."Oke. Aku pulang dulu.""Iya, Mas. Hati-hati."Zul mengangguk, tersenyum. Dia kembali melajukan mobilnya. Mengklakson sebagai isyarat pamit. Niswah tersenyum tipis. Untung saja ada Zul. Tuhan selalu punya cara untuk menolong hambanya. Tak sia-sia mulutnya komat kamit berdoa tadi. Dan kini, dia hanya tinggal menerima omelan lain. Gadis itu menarik napas panjang. Mobil Zul sudah tak nampak, Niswah melangkah masuk. Baru saja kakinya menginjak ruang tengah, suara menggelegar langsung menyapanya."Darimana saja kamu? Anak gadis jam segini
Hubungan yang dibangun dengan keraguan dari salah satu pihak, tidak akan pernah berhasil. Kecuali pihak tersebut sanggup membuang rasa ragunya tersebut, dan yakin untuk memulai hubungan yang sebenarnya."Kau tidak membalas pesanku, tadi malam?" Zul memecah keheningan yang entah keberapa kali tersebut."Aku ketiduran," tandas Della singkat. Zul mengerutkan dahinya, Nada bicara Della terkesan cuek."Ah, aku mengganggumu karena membalas kemalaman ya? Maafkan aku. Tadi malam harus mengantar Niswah dulu. Kasian dia, mobilnya mogok di tengah jalan. Takutnya ntar kenapa-napa."Dengkusan kasar terdengar. Zul merasa Della marah padanya. Tapi dia juga harus menjelaskan, supaya Della tidak salah paham. Meski sebenarnya Della berhak salah paham. Karena memang dia bersalah."Maafkan aku."Della menoleh selintas. Menatap tangannya yang di genggam Zul. Namun, bibirnya tetap tidak mau berekasi. Diam saja. Andai dia bisa, ingin rasanya berteriak sekuat-kua
Wanita itu adalah Aini. Entah bagaimana wanita itu bisa sampai ke ruangannya. Apa hanya karena kemarin Haidar menerima kedatangan Aini, lalu resepsionis di bawah mengizinkan wanita itu untuk bebas menemuinya. Yang jelas, Haidar tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, ditilik dari sikapnya, Haidar merasa kurang patut untuk wanita bersuami menemui pria bersuami. Membawakan bekal lagi. Wanita itu dengan cekatan membuka wadah bekal. Tak lupa dengan senyum yang terus terpatri. Jujur saja, gerak gerik Aini memang halus, lemah gemulai. Andai dirinya suami dari wanita tersebut, mungkin sudah dia daratkan kecupan di pipi wanita tersebut karena gemas. Namun, kenyataan berbeda. Dan justru itu pula yang membuat Haidar tak nyaman. Ditambah Zul yang menatap curiga ke arahnya. "Aku sengaja memasak spesial untukmu. Ku harap kamu menyukainya." Aini mendaratkan wadah tersebut ke hadapan Haidar. Mempersilakan pria yang hampir menta'arufinya itu untuk mencicipi masakannya."U
Terburu Haidar menghampiri istrinya. Jelas saja dia khawatir Dinda akan salah paham. Namun, justru seulas tatapan datar yang dia terima. Jantung Haidar berdegup semakin kencang. Kalau seandainya hubungan mereka memburuk, Haidar tidak akan pernah memaafkan Aini. Terlepas dari kisah suram wanita itu atas rumah tangganya tersebut."Sayang, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," Dari tempatnya berdiri, Haidar masih berusaha memberi penjelasan seraya menelan kasar salivanya. "Memang kau pikir aku kenapa?" tandas Dinda jutek. Wanita itu malah meletakkan kantong wadah bekal di tangan suaminya, dan berjalan santai menghampiri Aini."Sepertinya kita belum berkenalan. Namaku Dinda," ujarnya dengan senyum di bibirnya. Tak lupa tangan terulur. Zul yang sedari tadi menjaga Aini supaya tidak lepas kendali, terperangah. Gerangan apa yang direncanakan wanita itu?"Aini." Wanita itu membalas uluran tangan Dinda dengan santai, tanpa merasa bersalah."Sepertinya kita per