“Tanda tangani ini!” Seru pria yang berdiri dihadapanku. Cassian Ardentio Wijaya, sosok yang tampan dengan rambut hitam dan mata tajam berwarna sama dengan matanya.
Aku menatap kertas yang disodorkannya padaku yang sedang duduk di sofa yang ada di kamar kami. Sebuah kontrak pernikahan.
“Kontrak pernikahan?” Tanyaku menyuarakan pikiranku.
Cassian dengan wajah datarnya ikut duduk di sampingku. “Kontrak pernikahan selama satu tahun, setelah itu kita bercerai.”
Aku terkejut, “Apa? Tapi, kak …”
Cassian menatapku dengan serius, “Ave, kita berdua tau kalau kita gak saling cinta. Aku menikahimu karena papa kamu yang minta.”
Cassian benar. Papa, Vincent Renaldi, sangat menyukai Cassian dan juga kecekatannya dalam bekerja di perusahaan. Papa Vincent sangat terobsesi menjadikan Cassian sebagai penerusnya, karena aku, Aveline Seraphina Rinaldi, dan adikku, Aurora Sophia Rinaldi, sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan. Dan karenanya Papa Vincent sedang sakit dan perusahaan sedang bermasalah, Papa Vincent menunjuk Cassian sebagai CEO perusahaan sekaligus menantunya.
“Gimana dengan papa?” Tanyaku yang mengkhawatirkan Papa Vincent yang saat ini masih dirawat di rumah sakit, akibat kelelahan karena pernikahan meriahku yang baru selesai kemarin.
“Kamu tenang aja. Selama setahun ini, aku akan cari cara buat bujuk papa kamu. Dan juga nyelesaian masalah di perusahaan sebelum kita bercerai.” Ujarnya dengan tenang.
Aku tidak tahu apa yang membuatnya sangat enggan untuk hidup bersamaku. Padahal kami sudah kenal sangat lama. Cassian adalah tetanggaku. Dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Dia tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumahku bersama ibu dan adik perempuannya. Ekonominya sangat sulit. Untungnya Papa Vincent datang padanya dan membantunya bersekolah dengan syarat kalau dia harus bekerja padanya di perusahaan. Setelah bekerja di perusahaan Papa Vincent, ekonominya berangsur membaik sehingga dia bisa menyekolahkan adiknya di kedokteran.
Walaupun kami bertetangga, kami sangat jarang bertemu. Mungkin karena kami yang selalu mengurung diri di dalam kamar. Dia yang fokus belajar, dan aku yang introvert.
Aku menghela napas dan menatap kontrak pernikahan di tanganku. Meraih pulpen diatas meja dan mulai membubuhkan tanda tangan diatas kertas itu.
Cassian mengambil kontrak itu dan membawanya pergi. Kemungkinan dia ke ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar kami. Di rumah besar yang dihadiahkan Papa Vincent sebagai hadiah pernikahan kami, kamar utama berada dilantai dua bersama dengan tiga kamar lainnya, satu ruang kerja dan dua kamar kosong yang mungkin diniatkan Papa Vincent sebagai kamar anak-anak kami kelak. Namun setelah kejadian tadi, aku ragu kalau harapan Papa Vincent akan terwujud.
Aku memijit pelan keningku. Aku tidak tahu kenapa aku menyetujui itu. Aku tidak bisa membantah dan menolak dibawah tatapan tajamnya. Padahal, Papa Vincent sudah mewanti-wanti agar aku sebisa mungkin tidak berpisah dengan Cassian.
Aku beranjak dari dudukku. Daripada pusing memikirkan tindakanku, aku memutuskan untuk bersiap pergi mengunjungi Papa Vincent di rumah sakit.
Aku mengendarai mobilku sendiri. Dari dulu aku sudah dididik mandiri oleh Papa Vincent. Meskipun terlahir dari keluarga yang lumayan, aku dan Aurora sama sekali tidak dimanja. Papa Vincent yang sibuk dengan perusahaan dan Mama Natalia yang sangat setia mendampinginya, membuat aku dan Aurora tinggal di rumah bersama dengan orang-orang yang bekerja di rumah.
“Loh, Ave. Kamu kesini? suami kamu mana?” Tanya Mama Natalia, Natalia Rinaldi, saat melihatku yang berjalan mendekat kearahnya di koridor rumah sakit. Di tangannya ada paper bag yang kuduga bekas makan siangnya yang hendak dibuangnya.
Aku menepuk jidatku. Aku lupa mengabari Cassian kalau aku keluar. “Aku mau jengukin papa dan lupa ngabarin Cassian," kataku dengan suara yang sedikit tergagap yang dibalas anggukan dan senyum maklum dari Mama Natalia. “Papa di dalam sendiri, Ma?”
“Iya, Papa lagi sendirian di dalam. Kamu temenin papa sebentar, yah!” Ujar Mama Natalia.
Aku mengangguk cepat dan berjalan ke arah kamar Papa Vincent.
“Cassian mana, Ave?” Tanya Papa Vincent saat melihatku masuk sendirian di kamar rawatnya.
Aku mendengus dan duduk di kursi di samping tempat tidur Papa Vincent. “Kak Ian di rumah. Aku lupa ngabarin kalau aku kesini tadi.”
Papa Vincent mengernyitkan alisnya. “Jadi kamu kesini tanpa minta ijin sama suami kamu?” Seru Papa Vincent.
Aku mengangguk. Sedetik kemudian aku mendesis kesakitan saat tangan Papa Vincent menjitak kepalaku.
“Aww.. Sakit, Pa.” Rengekku sambil mengusap kepalaku yang terasa nyeri.
“Kamu ini udah nikah, loh. Udah seharusnya apa-apa harus minta ijin suamimu. Paham?” Kata Papa Vincent tegas.
Aku mengangguk. Aku mengakui kalau saat ini aku salah karena lupa meminta izin Cassian saat ke rumah sakit.
“Kamu gak jalan-jalan atau honeymoon sama Cassian?” Tanya Papa Vincent penasaran. Itu wajar saat mengingat kami berstatus pengantin baru.
Aku menggeleng, “Aku sama Kak Ian gak ada planning, Pa.”
Papa Vincent menghela napas, “Ave sayang, kamu tau kan, kalau papa Cuma percaya sama Cassian untuk ngurus perusahaan?” Ujar Papa Vincent dengan nada lembut.
Aku mengangguk dan menunduk.
“Papa tau kalau pernikahan kalian tanpa cinta. Tapi bisa tidak kalian wujudkan itu dalam pernikahan kalian?” Lanjut Papa Vincent dengan harapan yang terpancar dari matanya.
Aku menggeleng, “Aku ragu, Pa. Aku gak yakin bisa lakuin itu.” Ingin sekali aku mengatakan pada Papa Vincent kalau Cassian sendiri yang tidak berniat untuk mempertahankan pernikahan ini.
“Papa gak mau tau. Kamu harus berhasil membuat Cassian jatuh cinta sama kamu.” Suara Papa Vincent terdengar dingin membuatku terkesiap. “Setidaknya ini kontribusi kamu ke perusahaan karena dulu menolak untuk mengambil jurusan manajemen.” Ujarnya tajam.
Aku sangat paham dengan karakter Papa Vincent yang ini. Tapi entah mengapa selalu saja membuatku sakit. Untuk pertama kalinya saat aku memutuskan sesuatu yang ditentang Papa Vincent adalah saat aku memilih jurusan saat kuliah tujuh tahun yang lalu. Dimana Papa Vincent menyuruhku untuk mengambil jurusan manajemen, namun aku diam-diam mengambil jurusan Arsitektur dengan peminatan Desain Interior. Sehingga saat Papa Vincent mengetahuinya, dia marah besar. Alhasih, Papa Vincent sampai saat ini masih mendendam dan memojokkanku agar aku mau menikah dengan Cassian.
Mama Natalia yang mendengar perkataan Papa Vincent padaku, dengan segera melerai dan menenangkanku. Namun aku memilih pamit untuk menjernihkan pikiranku yang tadinya sudah pusing namun kini semakin sakit saat mendengar perkataan Papa Vincent.
Aku duduk di bangku taman depan Rumah Sakit dengan pikiran yang memenuhi kepalaku. Butuh waktu beberapa menit aku berpikir dan menetralkan perasaanku.
‘Papa benar. Aku harus berpikir dari sudut pandangnya. Siapa yang akan meneruskan perusahaan saat aku dan Aurora, anaknya sendiri menolak untuk itu?’ Pikirku sambil tersenyum tipis.
Dengan pemiikiran itu, aku bertekad untuk berjuang agar pernikahanku dan Cassian tidak akan berakhir. Misiku saat ini adalah untuk menaklukan hati Cassian. Lagian, Cassian sendiri yang memberikan waktu satu tahun, kan?
Anak? Hamil? Hemm... ~~~ Tiit tiit … Aku meraba nakas tempat tidur disampingku untuk mematikan alarm di ponselku. Setelah mematikannya, aku bangun dari tidurku sambil merentangkan tangan yang terasa pegal. Aku menguap beberapa kali dan menengok sisi lain dari tempat tidur di kamarku dan Cassian yang kosong. Itu artinya, Cassian tidak tidur lagi di kamar ini. Aku terdiam menatap sisi Kasur yang tampak rapi itu. Karena menyadari waktu yang semakin berjalan, aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di kamar ini untuk membersihkan diri dan menyiapkan air hangat. Aku juga menyiapkan pakaian kerja untuk suamiku yang kuletakkan di atas tempat tidur. Setelahnya, aku mengetuk pintu kamar di sebelah kanan kamar kami. Dimana Cassian sering tidur. Sambil mengetuk, aku juga memanggilnya dengan suara yang agak keras. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka menampilkan Cassian dengan penampilan baru tidurnya yang sexy membuatku sekali lagi tertegun. Rambut hitamnya yang acak-acakan, mata
Cassian punya solusi dan Aveline juga punya.. ~~~ “Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?” Tanya Papa Vincent yang duduk dihadapanku, di sofa ruang keluarga. Belum selesai pesta ulang tahun Stella, Papa Vincent langsung menyuruhku untuk ikut pulang dengannya. Bukan untuk bertamu, melainkan untuk diinterogasi seperti saat ini. “Maksudnya, Pa?” Tanyaku bingung, tidak paham kemana arah pertanyaan Papa Vincent. Papa Vincent menatapku dengan pandangan serius, “Apa kalian sudah melakukan ‘itu’?” Tanya Papa Vincent dengan menggerakkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk tanda peace. Wajahku memerah saat mendengar pertanyaan yang langsung mengarah ke hal yang sangat pribadi tersebut. Aku merasa canggung dan tidak nyaman menjawab pertanyaan Papa Vincent yang begitu terbuka. “Ngapain Papa nanya begituan?” Jawabku dengan gugup. Papa Vincent melipat tangannya dan bersandar di sofa ruang keluarga ini. “Yah, karena kamu belum hamil sampai sekarang, yang mana usia pernikahan k
Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu.. ~~~ Engghh… Aku terbangun dengan perasaan yang tidak nyaman. Kepalaku pusing dan perutku terasa mual. Aku duduk dan terdiam saat rasa mual itu semakin menjadi-jadi. Aku memegang perutku dan berusaha untuk mencapai kamar mandi. Napasku terengah-engah saat mengeluarkan isi perutku yang semuanya hanyalah cairan. Setelah merasa lega dan membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi menghampiri ponselku yang tergeletak di sofa kamar. Aku mulai mengecek satu per satu notifikasi dimana aku berharap kalau salah satunya dari Cassian. Namun nihil. Aku menghembuskan napas lelah. Sejak kejadian malam itu, Cassian menghindariku. Dia memilih tidak sarapan dan pulang larut malam demi tidak berinteraksi denganku. Dan sudah hampir dua minggu ini dia tidak pulang. Awalnya dia hanya mengatakan kalau akan keluar kota dan tidak mengatakan alasan serta waktu kepulangannya. Membuatku frustasi karena me
Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya.. ~~~ “Saya tidak bisa pastikan, pak. Sebaiknya cek ke dokter kandungan langsung,” Aku terbangun saat mendengar suara-suara disekitarku. Aku perlahan membuka mata dan menemukan seorang Wanita yang menggunakan jas dokter, sedang duduk di sampingku. Melihatku bangun, dia kemudian membantuku duduk. “Bagaimana perasaan ibu sekarang?” Tanya Wanita itu. “Hanya pusing saja,” Ujarku lemah dan sedikit tersenyum. “Terimakasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?” Ujar sebuah suara berat yang berada di belakangku. Aku berbalik dan mendongak menatap orang yang sangat aku rindukan. Dia menyadari tatapanku dan duduk di sampingku tepat semua karyawannya meninggalkan kami berdua di ruangan ini. “Sepertinya kamu hamil,” Ujarnya tidak mau menatapku. “Hamil?” Gumamku pada diri sendiri. Pantas saja akhir-akhir ini aku sering merasa mual dan lemas. Ternyata ada keajaiban yang sedang terjadi di dalam tubuhku. Ak
Cassian : "Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh.." ~~~ "Mana cucuku?" Ujar Papa Vincent antusias saat tiba di rumah. Mama Natalia yang melihat kelakuan Papa Vincent hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi tingkah Papa Vincent. Aku terkekeh melihat itu. Aku dan Cassian saat ini tengah berdiri di pintu depan untuk menyambut kedua orang tuaku. Setelah perdebatanku dan Cassian tadi malam, orang tua kami satu persatu mulai menelfonku dengan antusias. Dan berjanji akan mengunjungiku dan Cassian. And here we are... Orang tuaku sampai menyempatkan waktunya sepagi ini untuk mengunjungi rumah kami. Sedangkan ibu Diana, mertuaku itu juga sama antusiasnya. Dia saat ini juga menuju kemari bersama orang suruhan Cassian yang menjemputnya. Kami memang berbeda kota. Karena dia yang menemani Adelia, adik Cassian, yang sedang berkuliah. “Masih bentuk kecebong kali, Pa.” Ujar Aurora yang menyusul di belakang Mama Natalia dan Papa Vincent. Papa Vincent mendelik menatap Aurora. “Enak aja cucu Pap
Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.." ~~~ “Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Ujar suara tajam di belakangku. Aku menatap Cassian lewat cermin. “Maksudnya?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti maksudnya. Cassian terkekeh sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tau rencana kamu itu.” Aku berbalik menghadapnya dan menatapnya. “Aku gak ada rencana apa pun.” Cassian menatapku dengan tajam. “Kamu selalu tau cara untuk kendalikan situasi sesuai mau kamu. Pasti sekarang ini kamu lagi mikirin rencana supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?” Aku merasa tertohok mendengar kata-kata Cassian. Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba menahan emosi yang mulai meledak. “Kamu salah paham.” Cassian mendekatkan wajahnya ke telingaku dengan nada merendahkan, “Kamu pikir aku bodoh? Kamu tau kalau dengan kehamilanmu, aku akan merasa bertanggung jawab dan ragu buat ninggalin kamu. Trus kamu nyuruh ibu buat tinggal disini supaya kita selalu keliatan harmoni
Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ... ~~~ Rafael menatapku dengan mulut terbuka. Terlihat keterkejutan di wajahnya. “Cassian suami lo?” Aku mengangguk. Heran dengan reaksinya. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Aku mengangguk ragu. “Ya. Kenapa?” “Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Ujarnya kembali mengenang masa lalu. Aku tertawa mendengar komentar Rafael. Memang dulu bisa dibilang aku hidup hemat. Bukannya Papa Vincent tidak menafkahiku, tapi aku berusaha menabung karena aku tau kalau Papa Vincent tidak akan memberikanku modal untuk membangun usaha jasaku. Kalau ada pertanyaan yang bilang, berarti aku juga bisa bisnis? Jawabannya ya. Tapi itu bukan minatku. Aku ingin mendesain tanpa mau dipusingkan dengan urusan bisnis. Lagipula Dreamweaver Interiors juga punya Sofia, kan, sebagai manajer. Dia mulai bergabung saat Dreamweaver Interiors sudah menerima jasa selama dua tahun
Aveline mengerti profesionalitas itu seperti apa. Tapi membiarkannya menunggu dan tidak diberi kepastian, bukannya keterlaluan? ~~~ Aku meringis kecil dan menyapa ibu mertuaku. “Pagi, bu..” Ibu Diana berbalik dan tersenyum hangat. “Pagi, Ave. sini sarapan, sayang.” Ujarnya sambil memberikanku jus yang dibuatnya tadi. Aku menerima itu. “Makasih, bu. Ehm maaf aku bangunnya kesiangan.” Ibu mertuaku mengangguk dengan senyum hangat. "Tidak apa-apa, sayang. Kamu lagi hamil. Jadi harus banyak istirahat.” Aku tersenyum mengangguk, merasa senang dengan pengertian ibu mertuaku. “Kak Ian udah berangkat?” Ibu Diana meletakkan salad dan nasi ayam goreng dihadapanku. Dia mengangguk kemudian duduk dihadapanku. “Iya udah dari tadi.” Aku mengangguk dan menatap makanan dihadapanku. Entah kenapa melihat penampakan salad membuatku mual. Tapi aku berusaha untuk menghargai apa yang disajikan oleh Ibu Diana untukku. Nasi ayam gorengku sudah habis setengahnya saat Ibu Diana menegurku. “Saladnya dimak
Musik mengalun lembut di aula besar Rinaldi Corp, tempat pesta perkenalan Aveline sebagai pewaris resmi keluarga berlangsung. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memancarkan kilauan yang memukau setiap tamu yang hadir.Para tamu berpakaian anggun dan bercakap-cakap dengan elegan, menikmati suasana malam yang mewah dan eksklusif. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Aveline terlihat anggun dan menggemaskan secara bersamaan dengan perut buncitnya, berdiri di samping Cassian dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya yang halus berusaha tetap tenang, tetapi jari-jarinya sesekali meremas gaun biru elegannya. Matanya sesekali melirik ke arah kerumunan, mencari titik fokus untuk mengurangi rasa tak nyaman berada di lautan manusia di ruangan tertutup ini. Setiap senyum yang ia berikan terasa dipa
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah