Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu..
~~~
Engghh…
Aku terbangun dengan perasaan yang tidak nyaman. Kepalaku pusing dan perutku terasa mual. Aku duduk dan terdiam saat rasa mual itu semakin menjadi-jadi. Aku memegang perutku dan berusaha untuk mencapai kamar mandi. Napasku terengah-engah saat mengeluarkan isi perutku yang semuanya hanyalah cairan.
Setelah merasa lega dan membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi menghampiri ponselku yang tergeletak di sofa kamar. Aku mulai mengecek satu per satu notifikasi dimana aku berharap kalau salah satunya dari Cassian. Namun nihil.
Aku menghembuskan napas lelah. Sejak kejadian malam itu, Cassian menghindariku. Dia memilih tidak sarapan dan pulang larut malam demi tidak berinteraksi denganku. Dan sudah hampir dua minggu ini dia tidak pulang. Awalnya dia hanya mengatakan kalau akan keluar kota dan tidak mengatakan alasan serta waktu kepulangannya. Membuatku frustasi karena merindukannya.
Trttt…
Sofia is Calling…
Sofia, manajer Dreamweaver Interiors, sebuah tim jasa yang dibentuk oleh Aveline dan teman-temannya untuk para client yang membutuhkan jasa interior design.
“Iya, Sof. Kenapa?”
“Inget proyek Pawsome, gak?”
Aku mengangguk, “Yang distributor pet supplies, yang lagi dikerjain sama Fredi, kan?”
“Yup,”
“Kenapa? Bukannya desainnya udah acc, yah?”
“Gak semuanya. Desain buat ruangan CEO udah dua kali ditolak. Kalau sampe desain ketiga ini gak sesuai sama selera mereka, mereka ngancem bakal batalin kerja sama. Padahal semua supplies udah dipesan, Ave. gimana dong!!”
Aku berpikir sejenak. “Tenang, Sof. Biar gue ketemu dulu sama CEO nya Pawsome buat bicarain desain yang dia suka.”
“Okedeh, Ave. Kita ketemu langsung aja disana. Nanti gue yang bawain bahannya.”
“Oke see u, Sof.”
Tuuttt…
Setelah Sofia menutup telfonnya, sekali lagi aku mengecek notifikasi yang aku harap berasal dari Cassian. Namun, lagi-lagi aku mendesah pelan saat tidak mendapati apa pun.
Aku kemudian bergegas bersiap untuk menuju lokasi Pawsome dan melewatkan sarapanku karena aku hampir terlambat.
Sesampainya di Gedung perkantoran yang umumnya disewakan para startup pemula, aku turun dari taksi online yang kupesan karena kondisi tubuhku yang sangat mudah sekali Lelah akhir-akhir ini. Aku menemukan Sofia yang menungguku di Lobby Gedung.
“Hey, Sof. Udah lama nunggu?”
Sofia menggeleng, “Gue baru aja datang. Naik yuk!”
Aku mengangguk dan berjalan beriringan dengan Sofia untuk memasuk lift. Sesampainya di lantai lima, dimana kantor sementara Pawsome berada, kami menghampiri front desk dan menyatakan maksud kedatangan kami.
"Mbak, kami dari Dreamweaver Interiors mau ketemu dengan Bu Sarah," ujar Sofia dengan ramah pada pegawai yang berjaga di front desk.
Pegawai tersebut tersenyum dan mengangguk, "Baik, Bu. Mari saya antar."
Aku dan Sofia mengikuti pegawai tersebut melewati lorong-lorong yang luas hingga tiba di ruang tunggu. Kami disuruh menunggu hingga tak lama kemudian bu Sarah menghampiri kami.
“Mbak Sofia, desainnya sudah jadi?” Tanya bu Sarah terlihat heran. Mungkin dia mengira kalau kami bisa menyelesaikan revisi desain secepat itu.
Sofia menggeleng, “Maaf, bu, kalau kami mengganggu saat ini. Kami hanya ingin mendata ulang tentang desain yang diinginkan CEO Pawsome ini. Karena mungkin kami ada kesalahan pada desain yang lalu.”
Bu Sarah mengangguk paham, “Baiklah kalau begitu. Kalau boleh tau desainer yang kemarin tidak hadir?”
“Desainer yang kemarin sedang ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Perkenalkan saya Aveline, desainer yang membantu proyek ini.” Ujar Aveline sambil mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
Bu Sarah menjabat tangan Aveline sambil tersenyum ramah, “Baiklah. Kalian butuh apa?”
Aku mengambil Tablet yang dipegang oleh Sofia. “Karena data kami menunjukkan bahwa CEO menginginkan desain ruangannya yang mirip dengan konsep ruangan yang ada sekarang, kami ingin bertemu dengan CEO Pawsome sekaligus melihat ruangannya. Apakah itu bisa diatur?”
“Kalau ruangannya bisa. Tapi CEO Pawsome tidak di tempat sekarang.” Ujar Bu Sarah.
Aku tersenyum ramah, “Tidak masalah, Bu Sarah. Kami tetap bisa melihat ruangannya dan memulai peninjauan awal. Setelah itu, kami dapat mengatur pertemuan dengan CEO Pawsome untuk membahas lebih lanjut detail desainnya.”
“Baik, mari saya antar.”
Kami mengikuti Bu Sarah keluar dari ruang tunggu dan menuju ke ruangan CEO Pawsome. Saat pintu ruangan terbuka, aku dan Sofia memasuki ruangan yang luas dengan warna abu-abu yang mendominasi. Ruangan tersebut dihiasi dengan perabotan modern dan desain yang elegan. Modern Masculine adalah istilah yang tepat untuk konsep ruangan ini.
Aku menyelidiki setiap sudut ruangan, mengamati layout dan potensi desain yang bisa diaplikasikan. Sofia sibuk mencatat setiap detail yang penting. Ada yang aneh saat aku membandingkan ruangan ini dengan desain milik Fredi. Semuanya pas jika disesuaikan dengan ruangan CEO di Gedung baru.
“Kenapa, Ave?” Tanya Sofia saat melihatku yang bingung.
“Gue bingung, Sof. Konsep ruangan ini sudah pas banget dengan desain punyanya Fredi. Apalagi kalau disesuaian sama ruangan CEO Pawsome di Gedung baru.”
Sofia menatapku dengan heran, “Kayaknya lo memang perlu ketemu langsung deh sama CEO nya.”
Aku mengangguk membenarkan, “Maaf, bu Sarah. Tapi saya butuh untuk ketemu langsung dengan CEO Pawsome,”
Bu sarah berpikir sejenak, “Kalian bisa membuat janji dengan sekertarisnya,”
Aku mengangguk, “Baiklah, bu Sarah. Bisa tunjukkan dimana ruangan sekertarisnya?”
Bu Sarah menggeleng, “Bukan disini. Tapi sekertaris CEO Rinaldi Corp.”
“Hah?”
“Jadi Pawsome ini anak perusahaan Rinaldi Corp., bu?” Tanya Sofia mewakiliku.
Bu Sarah kembali menggeleng, “Pawsome ini berdiri sendiri, mbak Sofia. CEO kami hanya menjadi CEO sementara di Rinaldi Corp.”
“Siapa nama CEO Pawsome, bu?” Tanyaku. Aku tahu jawabannya. Pasti bu Sarah akan menjawab kalau CEO Pawsome adalah Cassian, suamiku. Karena siapa lagi CEO Rinaldi Corp. kalau bukan dia?
“Pak Cassian. Cassian Ardentio Wijaya.”
Yah. Satu lagi fakta tentang suamiku…
“Apa ibu punya kontak sekertarisnya? Kami harus secepatnya bertemu supaya desainnya bisa segera dirampungkan.” Ujar Sofia.
“Maaf. Saya sama sekali tidak punya kontak sekertarisnya.” Ujar Bu Sarah penuh penyesalan.
“Kalau boleh tau, kapan pak Cassian kesini, bu?” Tanyaku.
“Setiap pagi hingga pukul sepuluh, pak Cassian akan berkunjung kesini.”
“Setiap pagi? Termasuk pagi ini?” Tanyaku yang mulai tidak nyaman.
Bu Sarah mengangguk, “Iya. Mungkin kalau mbak Aveline dan mbak Sofia lebih awal, bisa ketemu dengan pak Cassian tadi.”
Aku shock. Apa ini? Cassian memberitahuku kalau dia akan keluar kota. Tapi masih menyempatkan dirinya datang kesini tanpa pulang lebih dulu? Atau dia memang sengaja tidak ingin bertemu denganku?
Aku mengambil ponselku dan memesan taksi online. “Baiklah kalau begitu, bu Sarah. Saya akan ketemu langsung dengan pak Cassian di Rinaldi Corp.” Ujarku sambil bersalaman dengan bu Sarah. Sedangkan Sofia hanya mengikutiku dengan bingung.
“Lo mau ke Rinaldi Corp. sekarang?” Tanya Sofia saat kami keluar dari kantor Pawsome dan menuju lobby Gedung ini.
Aku mengangguk. Sesekali mengecek posisi taksi onlineku. “Biar gue sendiri yang kesana. Lo balik kantor aja.” Ujarku saat melihat taksi onlineku sudah tiba. “Tablet ini gue bawa, yah,” Sofia mengangguk.
Di dalam taksi online aku memikirkan Cassian. Cassian yang menghindariku. Dia yang beralasan keluar kota karena tidak ingin bertemu denganku. Cassian yang sudah merencanakan akan mundur dari jabatannya di Rinaldi Corp. karena bu Sarah yang mengatakan kalau Cassian mengakui dirinya sebagai CEO sementara.
Tapi.. aku tidak akan membiarkan itu. Karena kalau Cassian yang mundur dari CEO Rinaldi Corp., berarti dia juga akan menceraikanku.
Aku menghempaskan pintu taksi online yang kutumpangi saat sudah berada di lobby Gedung Rinaldi Corp. Dengan berapi-api, aku menaiki lift dan menekan akses untuk ke lantai paling atas Gedung ini. Tak banyak yang mengenalku disini karena aku yang sangat malas untuk berkunjung maupun mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh Rinaldi Corp. Mungkin hanya pejabat perusahaan yang masih mengingatku yang sewaktu kecil sering dibawa Papa Vincent kesini.
Aku menyelusuri koridor lantai ini yang kosong dan menemukan pintu yang bertuliskan CEO. Tak banyak yang berubah dari kantor ini. Mungkin hanya cat yang selalu diperbarui agar selalu tampak baru.
Aku mengetuk pintu dihadapanku dan membukanya saat ada persetujuan dari dalam. Masih dengan kekesalan yang memuncak, aku masuk dan membanting pintu ruangan itu. Kelakuanku membuat orang-orang yang berada di sana terkejut. Cassian dan seorang pria yang aku yakini itu adalah asistennya.
Namun bagai disiram air dingin, kekesalanku luruh begitu saja saat melihatnya. Rasa rindu memenuhi hatiku. Jantungku berdegup kencang. Badanku gemetaran.
“Kak I…” Aku ingin mengucapkan sesuatu namun tubuhku lemas. Pandanganku menggelap. Dan...
Brukk…
Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya.. ~~~ “Saya tidak bisa pastikan, pak. Sebaiknya cek ke dokter kandungan langsung,” Aku terbangun saat mendengar suara-suara disekitarku. Aku perlahan membuka mata dan menemukan seorang Wanita yang menggunakan jas dokter, sedang duduk di sampingku. Melihatku bangun, dia kemudian membantuku duduk. “Bagaimana perasaan ibu sekarang?” Tanya Wanita itu. “Hanya pusing saja,” Ujarku lemah dan sedikit tersenyum. “Terimakasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?” Ujar sebuah suara berat yang berada di belakangku. Aku berbalik dan mendongak menatap orang yang sangat aku rindukan. Dia menyadari tatapanku dan duduk di sampingku tepat semua karyawannya meninggalkan kami berdua di ruangan ini. “Sepertinya kamu hamil,” Ujarnya tidak mau menatapku. “Hamil?” Gumamku pada diri sendiri. Pantas saja akhir-akhir ini aku sering merasa mual dan lemas. Ternyata ada keajaiban yang sedang terjadi di dalam tubuhku. Ak
Cassian : "Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh.." ~~~ "Mana cucuku?" Ujar Papa Vincent antusias saat tiba di rumah. Mama Natalia yang melihat kelakuan Papa Vincent hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi tingkah Papa Vincent. Aku terkekeh melihat itu. Aku dan Cassian saat ini tengah berdiri di pintu depan untuk menyambut kedua orang tuaku. Setelah perdebatanku dan Cassian tadi malam, orang tua kami satu persatu mulai menelfonku dengan antusias. Dan berjanji akan mengunjungiku dan Cassian. And here we are... Orang tuaku sampai menyempatkan waktunya sepagi ini untuk mengunjungi rumah kami. Sedangkan ibu Diana, mertuaku itu juga sama antusiasnya. Dia saat ini juga menuju kemari bersama orang suruhan Cassian yang menjemputnya. Kami memang berbeda kota. Karena dia yang menemani Adelia, adik Cassian, yang sedang berkuliah. “Masih bentuk kecebong kali, Pa.” Ujar Aurora yang menyusul di belakang Mama Natalia dan Papa Vincent. Papa Vincent mendelik menatap Aurora. “Enak aja cucu Pap
Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.." ~~~ “Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Ujar suara tajam di belakangku. Aku menatap Cassian lewat cermin. “Maksudnya?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti maksudnya. Cassian terkekeh sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tau rencana kamu itu.” Aku berbalik menghadapnya dan menatapnya. “Aku gak ada rencana apa pun.” Cassian menatapku dengan tajam. “Kamu selalu tau cara untuk kendalikan situasi sesuai mau kamu. Pasti sekarang ini kamu lagi mikirin rencana supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?” Aku merasa tertohok mendengar kata-kata Cassian. Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba menahan emosi yang mulai meledak. “Kamu salah paham.” Cassian mendekatkan wajahnya ke telingaku dengan nada merendahkan, “Kamu pikir aku bodoh? Kamu tau kalau dengan kehamilanmu, aku akan merasa bertanggung jawab dan ragu buat ninggalin kamu. Trus kamu nyuruh ibu buat tinggal disini supaya kita selalu keliatan harmoni
Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ... ~~~ Rafael menatapku dengan mulut terbuka. Terlihat keterkejutan di wajahnya. “Cassian suami lo?” Aku mengangguk. Heran dengan reaksinya. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Aku mengangguk ragu. “Ya. Kenapa?” “Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Ujarnya kembali mengenang masa lalu. Aku tertawa mendengar komentar Rafael. Memang dulu bisa dibilang aku hidup hemat. Bukannya Papa Vincent tidak menafkahiku, tapi aku berusaha menabung karena aku tau kalau Papa Vincent tidak akan memberikanku modal untuk membangun usaha jasaku. Kalau ada pertanyaan yang bilang, berarti aku juga bisa bisnis? Jawabannya ya. Tapi itu bukan minatku. Aku ingin mendesain tanpa mau dipusingkan dengan urusan bisnis. Lagipula Dreamweaver Interiors juga punya Sofia, kan, sebagai manajer. Dia mulai bergabung saat Dreamweaver Interiors sudah menerima jasa selama dua tahun
Aveline mengerti profesionalitas itu seperti apa. Tapi membiarkannya menunggu dan tidak diberi kepastian, bukannya keterlaluan? ~~~ Aku meringis kecil dan menyapa ibu mertuaku. “Pagi, bu..” Ibu Diana berbalik dan tersenyum hangat. “Pagi, Ave. sini sarapan, sayang.” Ujarnya sambil memberikanku jus yang dibuatnya tadi. Aku menerima itu. “Makasih, bu. Ehm maaf aku bangunnya kesiangan.” Ibu mertuaku mengangguk dengan senyum hangat. "Tidak apa-apa, sayang. Kamu lagi hamil. Jadi harus banyak istirahat.” Aku tersenyum mengangguk, merasa senang dengan pengertian ibu mertuaku. “Kak Ian udah berangkat?” Ibu Diana meletakkan salad dan nasi ayam goreng dihadapanku. Dia mengangguk kemudian duduk dihadapanku. “Iya udah dari tadi.” Aku mengangguk dan menatap makanan dihadapanku. Entah kenapa melihat penampakan salad membuatku mual. Tapi aku berusaha untuk menghargai apa yang disajikan oleh Ibu Diana untukku. Nasi ayam gorengku sudah habis setengahnya saat Ibu Diana menegurku. “Saladnya dimak
Aveline mengalami ngidam di tengah malam dan ketahuan ibu mertuanya keluar rumah sendiri.. ~~~ “Halo, bu.” Ibu mertuaku menelfon saat aku mencoba mengalihkan rasa kecewaku dengan desain di tanganku. “Kamu jangan lupa makan siang, yah. Tadi sarapannya dikit karena muntah-muntah, kan.” Ujarnya diseberang sana dengan perhatian. Aku terharu. “Iya, bu.” “Ibu udah telfon Cassian juga tadi. Suruh dia ingetin kamu makan.” Aku tersenyum. “Iya, bu. Ini lagi nungguin Kak Ian buat makan siang bareng.” Bohongku. “Yaudah kalau gitu. Ibu cuma mau bilang itu aja.” “Iya, bu. Makasih banget.” “Iya,” Tuut Aku memandang ponselku dengan mata berkaca-kaca. Tidak pernah habis rasa syukurku bisa memiliki mertua yang sangat sayang padaku. Sayangnya, kedua anaknya membenciku. Cassian dan Adelia. Aku menghela napas panjang untuk mengurangi kesesakan di dadaku. Aku mulai kembali fokus pada desain untuk ruangan Cassian, dengan mulai menandai poin penting pada desain ruangannya ini. Aku berusaha memband
Cassian merasa aneh, apa dia merasa bersalah? ~~~ “Trus Ian? Kenapa gak bangunin dia kalau memang gak enak bangunin, ibu?” Aku menggigit bibirku, berusaha untuk berpikir cepat atas pertanyaan ibu mertuaku. Pasalnya aku sudah berjanji tidak akan merepotkan Cassian selama masa kehamilanku. Dan itu berlaku pada kasus malam ini. “Kak Ian capek banget keliatannya, bu. Aku gak tega bangunin.” Ibu Diana duduk tepat di hadapanku, di meja makan. “Ave, Ian suami kamu. Kamu itu tanggung jawab dia. Dia juga punya kewajiban buat penuhi keinginan kamu pas kamu lagi ngidam.” Aku hanya menunduk, merasa tidak nyaman saat mendengar omelan dari ibu mertuaku. “Nanti ibu bilangin Ian. Masa istrinya di biarin berkeliaran di luar larut malam begini.” “Jangan, bu.” Ujarku cepat. Aku tidak mau dianggap pengadu oleh Cassian. Persepsinya tentangku sudah buruk. Aku tidak mau menambah daftar keburukan lagi di matanya. Tidak saat aku tetap ingin membuatnya tidak menceraikanku. “Loh, kenapa?” Ibu Diana meng
Cassian tidak menyangka kalau Aveline sebegitu memperhatikannya.. ~~~ Cassian merasa sedikit kaget ketika dia terbangun dan menemukan wajah Aveline begitu dekat dengannya. Dia heran bagaimana bisa Aveline tidur dengan posisi duduk semalaman seperti itu. Tapi dia ingat kalau Wanita itu sudah tertidur di tempat tidurnya tepat saat dia masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Lalu mengapa dia justru berada di dekatnya? Cassian dengan cepat kembali memejamkan matanya saat merasakan Aveline akan bangun. Dia tidak tau harus merespon apa di saat posisi mereka seperti ini. Aveline perlahan membuka matanya dan tersenyum saat mendapati wajah Cassian begitu dekat dengannya. Dia terdiam sambil mengamati wajah tampan suaminya itu. Cup Aveline mengecup ringan kening Cassian dan mencoba untuk melepaskan tangannya yang masih terjepit dalam dekapan Cassian. Dia bergerak perlahan, berusaha agar tidak membuat Cassian terbangun. Aveline beranjak dari tempat duduknya. Namun, rasa pegal di punggungny
Musik mengalun lembut di aula besar Rinaldi Corp, tempat pesta perkenalan Aveline sebagai pewaris resmi keluarga berlangsung. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memancarkan kilauan yang memukau setiap tamu yang hadir.Para tamu berpakaian anggun dan bercakap-cakap dengan elegan, menikmati suasana malam yang mewah dan eksklusif. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Aveline terlihat anggun dan menggemaskan secara bersamaan dengan perut buncitnya, berdiri di samping Cassian dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya yang halus berusaha tetap tenang, tetapi jari-jarinya sesekali meremas gaun biru elegannya. Matanya sesekali melirik ke arah kerumunan, mencari titik fokus untuk mengurangi rasa tak nyaman berada di lautan manusia di ruangan tertutup ini. Setiap senyum yang ia berikan terasa dipa
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah