Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya..
~~~
“Saya tidak bisa pastikan, pak. Sebaiknya cek ke dokter kandungan langsung,”
Aku terbangun saat mendengar suara-suara disekitarku. Aku perlahan membuka mata dan menemukan seorang Wanita yang menggunakan jas dokter, sedang duduk di sampingku. Melihatku bangun, dia kemudian membantuku duduk.
“Bagaimana perasaan ibu sekarang?” Tanya Wanita itu.
“Hanya pusing saja,” Ujarku lemah dan sedikit tersenyum.
“Terimakasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?” Ujar sebuah suara berat yang berada di belakangku.
Aku berbalik dan mendongak menatap orang yang sangat aku rindukan. Dia menyadari tatapanku dan duduk di sampingku tepat semua karyawannya meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
“Sepertinya kamu hamil,” Ujarnya tidak mau menatapku.
“Hamil?” Gumamku pada diri sendiri. Pantas saja akhir-akhir ini aku sering merasa mual dan lemas. Ternyata ada keajaiban yang sedang terjadi di dalam tubuhku. Aku mengelus perutku dengan perasaan bahagia.
Senyumku memudar saat melihat Cassian terdiam dengan ekspresi tegang. “Kayaknya hanya aku yang bahagia saat ini,” Ujarku kecewa saat melihat reaksi Cassian.
“Aku paham kalau kamu tidak menginginkan ini. Tapi tenang aja, aku gak akan nyusahin kamu,” Ujarku sambil berusaha berdiri.
“Mau kemana?” Tanyanya.
“Ke klinik. Mau cek kondisi anakku.” Ujarku dingin. Aku berjalan menuju pintu dan berbalik sedikit menghadapnya. “Ohiya, sebaiknya kak Ian pulang nanti. Kontrak pernikahan kita perlu diperbarui.”
Aku meninggalkannya dengan perasaan kecewa yang mendalam. Tapi aku paham kalau aku yang memulai semua ini. Ini risiko yang harus aku hadapi.
~~~
Aku duduk tidak tenang di ruang keluarga rumah kami. Mataku sedari tadi tidak berhenti menatap jam dinding. Aku khawatir kalau malam ini Cassian tidak pulang lagi.
Aku mengelus lembut perutku untuk menenangkan diri. Sepulang dari Rinaldi Corp., aku menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah klinik untuk memastikan apakah benar aku hamil atau tidak. Dan jawaban dari dokter membuatku sangat bahagia. Aku tengah hamil dan usianya sudah empat minggu.
Aku menghentikan kegiatanku saat mendengar deru mesin mobil Cassian. Seperti biasa, aku berjalan menuju pintu untuk menyambutnya.
Aku menyalami tangan Cassian, merasakan kebahagian memenuhi hatiku saat tangan kami bersatu. Aku sangat merindukan momen ini. Aku mendongak tanpa melepaskan genggaman tanganku. Mata kami bertemu, dan sejenak, waktu terasa berhenti. Aku bisa melihat kelelahan di matanya. Dan kelembutan? Aku tidak salah lihat kan?
Cassian memutuskan pandangan dan melepaskan pegangan tanganku. “Aku mau mandi setelah itu kita bicara di ruang kerjaku.”
Aku menatap Cassian yang berlalu. Sambil menghela napas, aku mengambil surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa aku hamil dan sebuah kontrak pernikahan. Kontrak kedua yang sudah aku buat setelah dari klinik.
Aku menunggu Cassian di ruang kerjanya seperti yang dimintanya tadi sembari bermain ponsel. Aku berencana memberitahukan kabar bahagia ini kepada keluarga kami dengan cara mengirimkan mereka semua foto usg dari janinku. Tak ada balasan dari mereka. Mungkin karena mereka sedang beristirahat.
Cklekk..
Aku menoleh begitu mendengar pintu terbuka menampilkan Cassian yang tampak segar dan tampan dengan kaos rumahannya. Masih dengan wajah datarnya, dia duduk di meja kerjanya membuatku berdiri dan menghampirinya.
“Aku rasa kita gak perlu memperbarui kontrak,” Ujarnya dengan tenang saat aku telah duduk dihadapannya.
“Hah?” Ujarku terperangah. Aku harus memastikan kembali apa yang dikatakannya.
“Pernikahan kita hanya untuk satu tahun. Dan itu berakhir dalam tiga bulan mendatang,” Jelasnya.
“Dan anak aku statusnya jadi gak jelas?” Ujarku berapi-api.
“Kamu belum tentu hamil, Ave.” Terang Cassian.
Aku memberikan surat keterangan dari klinik yang menyatakan aku hamil dengan keras di hadapan Cassian. “Aku hamil dan itu buktinya,” Bahkan foto USG pun kuberikan.
Cassian terdiam. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya. “Kejadian ini karena ulah kamu sendiri,” Ujarnya dengan datar.
Aku semakin panas. Amarahku semakin memuncak. “No. ini solusi yang kamu minta. Anak ini akan menjadi penerus Rinaldi Corp. Dia yang bakal buat kamu bebas,” Ujarku dengan nada tegas.
“Aku gak mau tau. Kontrak kita harus diperpanjang. Anak aku harus punya akta lahir lengkap. Kamu harus setuju atau lupain semua tentang kontrak pernikahan,” Ujarku dingin.
Aku tidak akan mundur. Aku tidak akan melepas Cassian tanpa berusaha lebih keras lagi. Aku tidak akan membiarkan anak aku tumbuh tanpa ayah. Setidaknya, aku bisa mengikat Cassian lebih lama lagi dan berharap kalau anak kami inilah yang akan meluluhkan hatinya.
Cassian menghela napas lelah. “Oke. Maumu apa sekarang?”
Aku memberikan kontrak pernikahan yang baru pada Cassian. "Aku mau ngajuin kontrak kedua untuk pernikahan kita, sebelum kita cerai," ujarku dengan nada yang lebih tenang.
Jujur, aku membuat kontrak kedua ini agak rumit. Meskipun aku mengatakan kalau aku tidak akan menyusahkannya, namun aku juga harus terus menjaga intensitas pertemuan dan kebersamaan kami. Semua ini kulakukan agar aku bisa membangun kenangan yang aku harap tidak akan mudah dilupakannya.
Aku mengajukan tiga syarat:
Pertama, pernikahan tidak akan berakhir sebelum Aveline melahirkan.
Kedua, Cassian dan Aveline sebagai pasangan suami istri harus tidur di ranjang yang sama.
Ketiga, Cassian sebagai suami harus mengajak Aveline sebagai istri kencan dan menghabiskan waktu berdua setiap weekend.
Cassian mengambil dan meneliti kontrak itu, “Syarat macam apa ini? aku gak mau.” Ujarnya sambil menjauhkan kontrak itu.
“Kita gak lagi negosiasi, Kak Ian.” Ujarku tenang sambil bersidekap.
“Kamu salah, Ave. Kamu harusnya diskusi dulu, baru buat syarat-syarat ini.”
“Aku udah berniat diskusikan ini. Tapi kamu yang gak mau ngeliat aku,” Ujarku tenang.
Aku mengingat kembali saat keesokan harinya setelah kejadian itu, aku memang ingin mendiskusikan mengenai hal ini. Tapi saat dia terus menghindariku, membuatku mengambil keputusan sendiri apalagi saat ini aku tengah mengandung.
Cassian terdiam sejenak. Tangannya dengan pelan menyeret kembali kertas itu kehadapannya. “Aku tetap gak mau kita tidur seranjang.”
“Kalau satu kamar?”
Cassian menggeleng. Aku pasrah saja karena memiliki rencana lain.
“Okelah. Tapi kita ganti dengan kita harus nunjukin kemesraan kita dihadapan orang tua. Gimana?” Tawarku.
Cassian berpikir sejenak dan mengangguk.
Aku bersorak senang dalam hati. Tanpa menyembunyikan senyum lebarku, aku mengambil kontrak itu dan memperbaikinya. Setelah selesai, aku bertanda tangan tepat di atas namaku dan menyerahkannya pada Cassian untuk ditandatangani.
“Makasih, Kak Ian. Aku janji gak bakal nyusahin kamu selama pernikahan kita. Kecuali itu yang udah sama-sama kita setujui.” Ujarku sambil tersenyum senang.
Aku hanya tidak mau kalau Cassian menganggapku pengganggu dan merepotkan. Itu bisa membuat kenangan yang akan aku buat dengannya akan tercemar. Oleh karenanya, aku berusaha sebisa mungkin melakukannya sendiri. Karena aku sudah terbiasa.
Aku mencium pipinya sebagai tanda terima kasih dan meninggalkannya yang membeku akibat perbuatanku. Aku mengacuhkannya dan mengabaikan rasa maluku karena terlalu senang. Setelah keluar dari ruang kerja Cassian dan menutup pintunya, aku menghubungi seseorang yang dapat melancarkan rencana selanjutnya.
Karena misi pertamaku BERHASIL.
Dan selanjutnya, misi kedua..
Tidur sekamar dengan Cassian..
Cassian : "Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh.." ~~~ "Mana cucuku?" Ujar Papa Vincent antusias saat tiba di rumah. Mama Natalia yang melihat kelakuan Papa Vincent hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi tingkah Papa Vincent. Aku terkekeh melihat itu. Aku dan Cassian saat ini tengah berdiri di pintu depan untuk menyambut kedua orang tuaku. Setelah perdebatanku dan Cassian tadi malam, orang tua kami satu persatu mulai menelfonku dengan antusias. Dan berjanji akan mengunjungiku dan Cassian. And here we are... Orang tuaku sampai menyempatkan waktunya sepagi ini untuk mengunjungi rumah kami. Sedangkan ibu Diana, mertuaku itu juga sama antusiasnya. Dia saat ini juga menuju kemari bersama orang suruhan Cassian yang menjemputnya. Kami memang berbeda kota. Karena dia yang menemani Adelia, adik Cassian, yang sedang berkuliah. “Masih bentuk kecebong kali, Pa.” Ujar Aurora yang menyusul di belakang Mama Natalia dan Papa Vincent. Papa Vincent mendelik menatap Aurora. “Enak aja cucu Pap
Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.." ~~~ “Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Ujar suara tajam di belakangku. Aku menatap Cassian lewat cermin. “Maksudnya?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti maksudnya. Cassian terkekeh sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tau rencana kamu itu.” Aku berbalik menghadapnya dan menatapnya. “Aku gak ada rencana apa pun.” Cassian menatapku dengan tajam. “Kamu selalu tau cara untuk kendalikan situasi sesuai mau kamu. Pasti sekarang ini kamu lagi mikirin rencana supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?” Aku merasa tertohok mendengar kata-kata Cassian. Aku mengepalkan tangan di samping tubuh, mencoba menahan emosi yang mulai meledak. “Kamu salah paham.” Cassian mendekatkan wajahnya ke telingaku dengan nada merendahkan, “Kamu pikir aku bodoh? Kamu tau kalau dengan kehamilanmu, aku akan merasa bertanggung jawab dan ragu buat ninggalin kamu. Trus kamu nyuruh ibu buat tinggal disini supaya kita selalu keliatan harmoni
Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ... ~~~ Rafael menatapku dengan mulut terbuka. Terlihat keterkejutan di wajahnya. “Cassian suami lo?” Aku mengangguk. Heran dengan reaksinya. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Aku mengangguk ragu. “Ya. Kenapa?” “Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Ujarnya kembali mengenang masa lalu. Aku tertawa mendengar komentar Rafael. Memang dulu bisa dibilang aku hidup hemat. Bukannya Papa Vincent tidak menafkahiku, tapi aku berusaha menabung karena aku tau kalau Papa Vincent tidak akan memberikanku modal untuk membangun usaha jasaku. Kalau ada pertanyaan yang bilang, berarti aku juga bisa bisnis? Jawabannya ya. Tapi itu bukan minatku. Aku ingin mendesain tanpa mau dipusingkan dengan urusan bisnis. Lagipula Dreamweaver Interiors juga punya Sofia, kan, sebagai manajer. Dia mulai bergabung saat Dreamweaver Interiors sudah menerima jasa selama dua tahun
Aveline mengerti profesionalitas itu seperti apa. Tapi membiarkannya menunggu dan tidak diberi kepastian, bukannya keterlaluan? ~~~ Aku meringis kecil dan menyapa ibu mertuaku. “Pagi, bu..” Ibu Diana berbalik dan tersenyum hangat. “Pagi, Ave. sini sarapan, sayang.” Ujarnya sambil memberikanku jus yang dibuatnya tadi. Aku menerima itu. “Makasih, bu. Ehm maaf aku bangunnya kesiangan.” Ibu mertuaku mengangguk dengan senyum hangat. "Tidak apa-apa, sayang. Kamu lagi hamil. Jadi harus banyak istirahat.” Aku tersenyum mengangguk, merasa senang dengan pengertian ibu mertuaku. “Kak Ian udah berangkat?” Ibu Diana meletakkan salad dan nasi ayam goreng dihadapanku. Dia mengangguk kemudian duduk dihadapanku. “Iya udah dari tadi.” Aku mengangguk dan menatap makanan dihadapanku. Entah kenapa melihat penampakan salad membuatku mual. Tapi aku berusaha untuk menghargai apa yang disajikan oleh Ibu Diana untukku. Nasi ayam gorengku sudah habis setengahnya saat Ibu Diana menegurku. “Saladnya dimak
Aveline mengalami ngidam di tengah malam dan ketahuan ibu mertuanya keluar rumah sendiri.. ~~~ “Halo, bu.” Ibu mertuaku menelfon saat aku mencoba mengalihkan rasa kecewaku dengan desain di tanganku. “Kamu jangan lupa makan siang, yah. Tadi sarapannya dikit karena muntah-muntah, kan.” Ujarnya diseberang sana dengan perhatian. Aku terharu. “Iya, bu.” “Ibu udah telfon Cassian juga tadi. Suruh dia ingetin kamu makan.” Aku tersenyum. “Iya, bu. Ini lagi nungguin Kak Ian buat makan siang bareng.” Bohongku. “Yaudah kalau gitu. Ibu cuma mau bilang itu aja.” “Iya, bu. Makasih banget.” “Iya,” Tuut Aku memandang ponselku dengan mata berkaca-kaca. Tidak pernah habis rasa syukurku bisa memiliki mertua yang sangat sayang padaku. Sayangnya, kedua anaknya membenciku. Cassian dan Adelia. Aku menghela napas panjang untuk mengurangi kesesakan di dadaku. Aku mulai kembali fokus pada desain untuk ruangan Cassian, dengan mulai menandai poin penting pada desain ruangannya ini. Aku berusaha memband
Cassian merasa aneh, apa dia merasa bersalah? ~~~ “Trus Ian? Kenapa gak bangunin dia kalau memang gak enak bangunin, ibu?” Aku menggigit bibirku, berusaha untuk berpikir cepat atas pertanyaan ibu mertuaku. Pasalnya aku sudah berjanji tidak akan merepotkan Cassian selama masa kehamilanku. Dan itu berlaku pada kasus malam ini. “Kak Ian capek banget keliatannya, bu. Aku gak tega bangunin.” Ibu Diana duduk tepat di hadapanku, di meja makan. “Ave, Ian suami kamu. Kamu itu tanggung jawab dia. Dia juga punya kewajiban buat penuhi keinginan kamu pas kamu lagi ngidam.” Aku hanya menunduk, merasa tidak nyaman saat mendengar omelan dari ibu mertuaku. “Nanti ibu bilangin Ian. Masa istrinya di biarin berkeliaran di luar larut malam begini.” “Jangan, bu.” Ujarku cepat. Aku tidak mau dianggap pengadu oleh Cassian. Persepsinya tentangku sudah buruk. Aku tidak mau menambah daftar keburukan lagi di matanya. Tidak saat aku tetap ingin membuatnya tidak menceraikanku. “Loh, kenapa?” Ibu Diana meng
Cassian tidak menyangka kalau Aveline sebegitu memperhatikannya.. ~~~ Cassian merasa sedikit kaget ketika dia terbangun dan menemukan wajah Aveline begitu dekat dengannya. Dia heran bagaimana bisa Aveline tidur dengan posisi duduk semalaman seperti itu. Tapi dia ingat kalau Wanita itu sudah tertidur di tempat tidurnya tepat saat dia masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Lalu mengapa dia justru berada di dekatnya? Cassian dengan cepat kembali memejamkan matanya saat merasakan Aveline akan bangun. Dia tidak tau harus merespon apa di saat posisi mereka seperti ini. Aveline perlahan membuka matanya dan tersenyum saat mendapati wajah Cassian begitu dekat dengannya. Dia terdiam sambil mengamati wajah tampan suaminya itu. Cup Aveline mengecup ringan kening Cassian dan mencoba untuk melepaskan tangannya yang masih terjepit dalam dekapan Cassian. Dia bergerak perlahan, berusaha agar tidak membuat Cassian terbangun. Aveline beranjak dari tempat duduknya. Namun, rasa pegal di punggungny
Sungguh sial, Aveline harus bertemu kembali dengan orang gila yang terobsesi padanya.. ~~~ “Bisa saya lihat?” Ujar Cassian kemudian. Sofia dan Fredi mengangguk. Fredi kemudian menyerahkan tabletnya yang menampilkan konsep desain ruangan Cassian. “Untuk konsepnya, kami tetap mengaplikasikan modern masculine, namun kami akan fokus mengurangi furniture agar lebih luas. Kami juga akan memasang cermin besar disini.” Tunjuk Fredi pada sisi samping meja kerja Cassian. “Jadi ketika orang masuk, ruangannya tidak kelihatan sempit..” Cassian mengangguk paham. Dia menyukai desain itu. “Kami juga ingin mengusulkan untuk merubah jendela di ruangan bapak dengan jendela besar.” Ujar Fredi, meminta persetujuan Cassian. Cassian mengangguk puas. “Saya serahkan semuanya pada kalian.” Sofia tersenyum senang. “Jadi bagaimana dengan desainnya, Pak?” “Saya suka sekali. Terimakasih.” Sofia dan Fredi hampir bersorak, namun mereka menahannya. “Desain ini karya Aveline, Pak, desainer kami yang lain.” U
Musik mengalun lembut di aula besar Rinaldi Corp, tempat pesta perkenalan Aveline sebagai pewaris resmi keluarga berlangsung. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memancarkan kilauan yang memukau setiap tamu yang hadir.Para tamu berpakaian anggun dan bercakap-cakap dengan elegan, menikmati suasana malam yang mewah dan eksklusif. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Aveline terlihat anggun dan menggemaskan secara bersamaan dengan perut buncitnya, berdiri di samping Cassian dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya yang halus berusaha tetap tenang, tetapi jari-jarinya sesekali meremas gaun biru elegannya. Matanya sesekali melirik ke arah kerumunan, mencari titik fokus untuk mengurangi rasa tak nyaman berada di lautan manusia di ruangan tertutup ini. Setiap senyum yang ia berikan terasa dipa
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah